Nyasar di Hollywood
Kebanyakan dari kita saat ini sedang nyasar di Hollywood. Padahal Hollywood itu luar negeri.
Thursday, December 8, 2011
Evolusi atau Bencana?
Darwin mengatakan bahwa semua tumbuhan berbunga berasal dari tumbuhan tidak berbunga dan manusia berasal dari kera, walaupun seperti yang ia duga, gagasan ini belum bisa dibuktikan karena sampai detik ini belum ditemukan fosil transisi (missing link) antara tumbuhan tidak berbunga-tumbuhan bunga dan antara kera berjalan tegak dan manusia. Tapi karena teori evolusi sudah terlanjur menjadi ideologi di kalangan akademisi dan ilmuwan, semua bukti yang tidak sesuai menjadi tidak ilmiah dan bukan sebuah ilmu pengetahuan. Jadi jangan marah jika Mocopat tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
Uniformitarianisme menyatakan bahwa alam semesta (Bumi, bintang, dan triliunan galaksi beserta keharmonisan gaya gravitasi antar mereka) terbentuk lewat proses teratur, gradual, regular, matematis, dan dalam tempo yang sangat lama, entah diawali dengan Big Bang-nya Einstein atau memang sudah ada dengan sendirinya, seperti yang ingin dibuktikan Stephen Hawking. Namun, ternyata banyak sekali ketidak teraturan dan bencana-bencana selestial yang ikut membentuk tatanan alam semesta sampai saat ini.
Immanuel Velikovsky, seorang fisikawan dan psikoanalis Yahudi Rusia, misalnya, pada 1950an mengemukakan gagasan bahwa Bumi menjadi seperti ini bukan karena proses teratur dan panjang dari evolusi, melainkan melewati berbagai bentuk bencana besar yang sebenarnya sudah tercatat dalam mitos-mitos, legenda dan cerita di semua kebudayaan tua di Bumi (ia menyebut Israel, India, Yunani salah satunya). Pendiri Hebrew University of Jerusalem ini mengemukakan dalam buku best-sellingnya “Worlds of Collision” bahwa keadaan alam semesta saat ini sangat dipengaruhi oleh gaya elektromagnetik yang mengganggu kestabilan gaya gravitasi. Gaya elektromagnetik tersebut tercipta dari berbagai ledakan-ledakan bintang (supernova) dan tabrakan galaksi yang memang sering terjadi di alam semesta.
Velikovsky, yang juga teman Einstein, mengatakan bahwa Bumi pernah mengalami bencana alam dengan skala yang sangat hebat. Ini dibuktikan dengan kepunahan berbagai spesies hewan secara tiba-tiba, bukan dalam waktu yang lama seperti kata Darwin. Ia mengatakan, peradaban yang ditemukan di gua-gua bukanlah peradaban manusia primitif, melainkan karena mereka mengungsi dari bencana global yang saat itu terjadi. Contoh lain, banjir bandang di era Nabi Nuh yang dicatat dalam sejarah berbagai bangsa, terjadi bukan akibat mencairnya es di kutub, namun akibat paparan radiasi dari ledakan bintang/planet (supernova) yang dekat dengan Bumi kita, yang memicu tsunami besar dan ledakan ribuan gunung api yang menyapu dan menenggelamkan berbagai peradaban manusia, serta merubah wajah bumi secara signifikan.
Velikovsky juga mengatakan bahwa planet Venus (yang orbitnya berlawanan dengan planet lain, yang materi penyusunnya paling berbeda dengan planet lain, dan yang ternyata memiliki jejak ekor yang panjangnya 45 juta kilometer yang terekam dari Satelit SOHO pada 1997) dahulunya adalah sebuah komet raksasa yang selalu menghantui nenek moyang kita (sehingga disimbolkan sebagai Dewi atau Bintang Berambut Panjang dalam mitologi Yunani, dan Naga yang menelan Bumi dalam budaya Cina). “Komet” Venus pernah menciptakan radiasi luar biasa di Bumi dan menyebabkan Eksodus besar-besaran umat manusia pada 1500 tahun sebelum masehi seperti di catat dalam Injil. Bencana global ini lumayan sering terjadi, dan menjadi sebab terpisahnya kepulauan Inggris dari benua Eropa yang terjadi baru 6000 tahun yang lalu.
Dalam buku “Earth Under Fire,” Dr. Paul LaViolette juga mengemukakan bukti bahwa debu kosmik dengan konsentrasi tinggi (Iridium) yang ditemukan dibawah lapisan es di Greenland merupakan materi yang sangat langka di Bumi, namun sangat banyak di luar angkasa. Ternyata, Iridium ini berasal dari supernova yang terjadi 11 ribu tahun yang lalu dan mengakibatkan bumi menyala karena terpapar radiasi, gunung-gunung berapi bermunculan, tsunami maha dahsyat menyapu Atlantis, dan kerak bumi bergeser membentuk benua-benua baru. Debu-debu bintang ini juga terperangkap oleh gravitasi dan sekarang menjadi materi pada cincin planet Saturnus.
Supernova-supernova yang sering terjadi mungkin tidak terlalu memberikan pengaruh di level alam semesta (beberapa minggu yang lalu NASA mempublikasikan gambar tabrakan galaksi yang jaraknya triliuan triliunan triliunan tahun cahaya dari Bumi). Namun, ia akan memberikan efek luar biasa pada planet-planet dan tata surya didekatnya, karena serpihan-serpihan bintang yang beterbangan dan radiasi akibat ledakan tersebut mampu mengganggu gaya gravitasi antar planet dan antar bintang, merubah kutup planet-planet, atau bahkan ikut menghancurkan planet-planet kecil di sekelilingnya.
Kosmologi Aristoteles yang dibangun selama beberapa millennium “runtuh” dan terlupakan oleh munculnya teori evolusi di tahun 1800an. Walau teori evolusi telah menjadi ideologi di kalangan akademis, pertanyaannya seharusnya, “Kita harus meneliti alam ini sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita [Darwin cs.] mau.” Celakanya, bagaimana jika keadaan Bumi yang masih adem ayem selama beberapa ribu tahun terakhir ini ternyata cuma keberuntungan belaka, karena bintang-bintang di dekat kita belum meledak?
Sumber: Douglas Kenyon (Ed.), “Forbidden History,” 2005
Secular Professionalism
Don Vito Corleone dalam The Godfather adalah sosok yang sangat setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bisnisnya. Sebagai kepala keluarga, cintanya kepada anak-anaknya begitu besar, terutama kepada Michael Corleone, dan ia selalu siap melindungi keluarganya dari serangan musuh-musuhnya. Ia adalah sosok yang penyayang dan religius di satu sisi. Namun di sisi lain, Don Corleone tetaplah seorang bos mafia yang sangat ditakuti, kejam dan berpengaruh, yang tak segan-segan membunuh, menerkam lawan-lawan bisnisnya dan siapa saja yang menghalangi jalannya. Nyawa manusia tidak terlalu berharga demi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Tak terhitung nyawa yang telah melayang, entah dari pengikutnya maupun musuh-musuhnya.
Belajar dari trilogi The Godfather tersebut, rasa-rasanya dualisme sosok Don Corleone mudah sekali kita temukan dimana-mana, terutama di dunia kerja, bisnis, politik, dan pendidikan. Di satu sisi, seorang koruptor kelas kakap yang sering muncul di layar televisi bisa jadi seorang ibu/ayah yang baik hati, penyayang, tanggung jawab dan religius di lingkungan keluarganya. Namanya bisa saja Muhammad ini atau Robertus itu. Seorang professor atau rektor terkenal yang menolak anak-anak kere masuk ke universitasnya bisa jadi seorang yang sangat diagungkan oleh keluarga, sangat dicintai anak-anak dan tetangganya, dan seorang haji mabrur. Seorang presiden atau petinggi parpol yang menikmati fasilitas hidup super mewah dengan uang rakyat dan uang Amerika bisa jadi seorang simbol, ikon panutan dalam keluarga besarnya. Atau mungkin seorang wakil presiden, atau seorang ekonom yang mendahulukan kepentingan para investor, banker, pemilik saham, korporasi asing, dan yang selalu sibuk dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, dan tidak tahu kalau tetangganya memeras darah setiap hari demi menyekolahkan anaknya, bisa jadi seorang yang begitu romantis dan dicintai oleh istri dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang seharian sibuk bersaing, berkompetisi, berperang dengan pegawai lainnya, santet sana santet sini demi karir dan kemajuan perusahaan tambang batu baranya, akan pulang membawa sejuta harapan bagi anak-istrinya. Ia akan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka, seperti Don Vito, bekerja keras secara professional dan “rasional” demi keluarganya.
Dalam galaksi kapitalisme ini, profesionalisme dan rasionalisme adalah dua keyakinan yang wajib dianut oleh setiap warga negara; profesional berarti bekerja keras dan mendahulukan kepentingan dan kemajuan perusahaan atau partai, bagaimana memberikan servis terbaik di depan direktur dan manajer, lewat manipulasi-manipulasi penampilan dan kerja keras. Sedangkan rasional berarti berusaha memaksimalkan profit dengan cost yang seminimum mungkin, lewat tempo yang sesingkat mungkin. Profesionalisme wajib menampakkan, mengolah dan memaksimalkan sisi manusia kita yang artifisial. Hati, solidaritas, kasih sayang, ketulusan, cinta, dharma, akhlak, budi, kejujuran, serta agama dan Tuhan mohon ditinggal di rumah.
Secular professionalism [yo ben, iki teoriku dhewe] ini adalah poros dari roda kapitalisme dan demokrasi secara keseluruhan. Tanpa itu, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mungkin berjalan. Sedangkan prinsip yang berperan sebagai kemudi adalah “rasionalitas” itu tadi, ditambah prinsip haus pujian-takut mati. Padahal yang harus dipertanyakan adalah “rational in relation to what?” Apakah global warming, eksploitasi hutan berlebihan, polusi, perang rebutan minyak, dan semua akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan demokrasi-kapitalisme tersebut rasional? Belum akibat lain: kekejaman, kebingungan, degradasi moral, pornografi dll. Mungkin rasional dalam lingkup yang sempit.
Seorang direktur korporasi besar yang memeras tenaga para buruh outsourcingnya bisa jadi seorang yang paling baik yang pernah anda kenal secara personal, kata eyang Chomsky. Atau seorang bupati atau lurah koruptor mungkin saja adalah seorang yang paling penyayang dalam keluarga. Namun di lingkup institusi, perusahaan, bisnis, dan politik, mereka bisa jadi seorang yang kejam dan keras seperti Don Corleone si bos mafia. Masih mending jadi Don Corleone, karena mafia yang sejati adalah para politisi dan pemimpin kita, karena demi mempertahankan rasionalitas yang ia anut, 200 juta rakyat bisa sengsara mendadak, bahkan mati tanpa jejak.
Tidak hanya dalam demokrasi-kapitalisme secara umum, dalam sistem politik dan pemerintahan lainnya, seperti komunisme Soviet, fasisme Israel dan Nazi, dan kerajaan Saudi Arabia atau bahkan Vatikan, profesionalisme sekuler bisa jadi menjadi praktik dan roda sistem mereka masing-masing. Mereka bisa jadi seorang Komunis, Yahudi, Islam atau Katholik yang sangat religious dan total di lingkup spiritual, namun di lingkup bisnis dan keuangan, mereka bisa jadi seorang sekuler sejati: maksimalkan profit dengan modal sekecil-kecilnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Israel, Arab Saudi dan Vatikan malah agak mencolok karena mereka sama-sama punya duit banyak lewat bisnis yang menurut standar MUI agak abu-abu.
Solusi yang ditawarkan untuk meringankan problem peradaban ini mungkin agak kolot, old-school dan tidak seksi. Semua ketidak masuk akalan ini terjadi karena tindakan manusia belum dipantulkan pada dimensi yang lebih luas, misalnya, baik-buruk, halal-haram, manusia-Tuhan, atau mungkin dunia-akhirat, menurut Cak Nun. Rasio kita terlalu sempit dan dipaksa-paksakan, dan hati dimati-matikan, sehingga manusia sering bingung. Dan ketika kebingungannya memuncak, manusia memunculkan teori absurditas, karena sudah mentok pemahamannya. Semuanya jadi absurd dan membingungkan, dan di sisi lain, tidak berubah lebih baik.
Profesionalisme sekuler lumayan berbahaya karena selalu megancam keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan bumi, dan manusia dengan jin dan malaikat. Ia menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus karena selalu menciptakan musuh. Beranikah kita membayangkan keharmonisan, cinta kasih, ketulusan kita kepada keluarga dan orang tua kita, menular ke bank-bank, perusahaan-perusahaan, pabrik, kantor, dan istana negara tempat kita bekerja? Kalau tidak, siap-siap saja bertemu dan menjadi keturunan dari Don Vito, Don Michael, Don Vincent Corleone atau Don SBY dan Don Budiono, dan mewarisi kebingungan-kebingungan mereka?
Muhamad Kebo
Sunday, June 19, 2011
SBY, Galileo dan Tuyul
Thursday, March 24, 2011
Haus Pujian dan Takut Mati
Tapi sudah menjadi keniscayaan sejarah, jadi tidak bisa disalahkan. Manusia semakin kehilangan kemanusiannya, dan ia menjadi sangat tergantung pada kitab-kitab pedoman itu: teknologi, fashion, teori-teori, dan tentu saja kitab suci. Manusia kebingungan karena kehilangan pegangan, kehilangan akar, kehilangan roh. Jadi kelakuan mereka semakin aneh. Semakin aneh semakin dirayakan. Buku novel psikologi populer anak muda jadi laris karena ia menuntut kita untuk menjadi aneh, tapi aneh yang kolektif. Carrefour menurut saya sangat aneh. Mc.Donald lebih aneh lagi, seaneh komunisme. Anehnya lagi, mereka menyebut manusia yang tidak seperti mereka sebagai manusia aneh. Aneh bukan?
Barat kebingungan, kering, labil karena mereka terlalu materialistis. Sebagai pelampiasan, mereka punya hobi membunuh. Indonesia juga bingung, sampai milih pemimpin saja selalu atasannya Ulil. Bahkan saking bingungnya, di Surabaya ada les sholat khusuk, yang biayanya 1,5 juta rupiah. Kiai-kiai semakin laris jualan omongan. Mario Teguh makin laris karena orang Indonesia semakin tidak teguh dan bijaksana [dalam membahagiakan atasan]. Kebingungan-kebingungan kita harus dikompensasi dengan uang. Ini murni prinsip kapitalisme, menurut saya. Prinsip kapitalisme lainnya adalah haus pujian dan takut mati.
"My roots are my destiny," kata Nelson Mandela. "My roots are skillfully-manipulated public subservience," kata SBY lewat mimpi saya tadi malam. Kita semakin kehilangan akar kepribadian dan jati diri. Sekarang kita terlalu malu untuk menengok keJawaan, keSundaan, keBetawian, keAsiaan kita, dll. Buktinya, apakah Anda tahu siapa nama kakek buyut Anda yang nomer 5 dan darimana beliau berasal? Manusia terlalu banyak tertawa sehingga ia tidak tahu mengapa ia bisa mampir ke dunia. Manusia sekarang adalah pisang goreng. Tak punya nilai intrinsik.
Tapi kita harus optimis. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar di masa lampau, dan sudah saatnya ia harus sadar dan belajar sejarah Majapahit, Sriwijaya, Sukarno, supaya punya pegangan untuk memimpin dunia yang akan segera berubah secara drastis. "Orang tidak suka belajar sejarah karena sejarah mengajarimu terlalu banyak hal," kata Chomsky, presiden anarkis Amerika. Wong mengajari banyak hal kok malah tidak dipelajari, kata saya. Sudah saatnya kita minimal bangga jadi bagian dari bangsa yang pernah dan akan berjaya. Sukur-sukur siap-siap. Bangsa Indonesia tidak akan hancur, negaranya pasti hancur, kata Cak Nun lagi. Anda boleh setuju.
Kuncinya satu: hormati gurumu sayangi teman. Dengan menghormati Guru, kita tidak kehilangan akar dan jati diri kita, karena Guru kita adalah Raden Wijaya, Gadjah Mada, Hayam Wuruk, Sunan Kalijaga, Kebo Kenongo, Sukarno, Tan Malaka, Gus Dur. Dengan menyayangi teman, kita belajar toleransi, karena teman kita berjumlah 200 suku bangsa dengan 300 bahasa dan 5 agama. Eh, 5000 agama ding. Dengan begitu kita akan menjadi bangsa yang budiman.
Sunday, January 23, 2011
Perang Salib dan Sentimen Islam-Kristen
Monday, September 27, 2010
Chomsky dan Argumen Israel Lobby
Muhamad Hidayat
26 September 2010
Walaupun Chomsky telah menjadi salah satu rujukan penting bagi saya dalam memahami dunia kasat mata, ada dua pendapat dia yang membuat saya bingung, karena dua-duanya aneh, dan bahkan kurang “populer” di kalangan para intelektual progresif. Pertama tentang pandangan dia terhadap aksi terorisme 11 September 2001, yang terkesan pragmatis dan banyak merujuk pada laporan resmi pemerintah AS. Kedua, tentang pandangan dia tentang Israel Lobby, sebuah gagasan yang dipopulerkan oleh Prof. John Meirsheimer dan Stephen M. Walt di tahun 2007, lewat bukunya yang sangat populer, Israel Lobby and the US Foreign Policy. Sekarang kita ngomong yang ke dua dulu.
Lewat buku Israel Lobby, Meirsheimer dan Walt berpendapat bahwa hampir seluruh kebijakan luar negeri Amerika yang menyangkut perang Irak, perang Afghanistan dan terutama konflik Israel-Palestina, serta kebijakan strategis lainnya di Timur Tengah adalah produk dari lobi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pro-Israel di Washington. Dalam pandangan ini, kebijakan luar negeri Amerika yang menyangkut Timur Tengah telah dibajak oleh organisasi-organisasi Lobi Israel yang menguasai Konggres, untuk memenuhi kepentingan Israel sendiri. Singkatnya, Israel dalam pandangan ini lebih merupakan beban bagi Amerika karena Amerika sedang tidak menjalankan perang untuk dirinya sendiri. Lewat organisasi lobi yang sangat kuat inilah Israel mendapat bantuan 3 miliar dolar per tahun dari Amerika serta dukungan tanpa syarat atas semua kelakuan Israel. Argumen ini sekarang sangat populer di kalangan media independent dan alternatif.
Chomsky, sebaliknya, menganggap remeh argumen Lobi Israel ini. Bukan berarti menyalahkannya, karena memang benar terdapat lobi-lobi Israel yang sangat kuat yang memiliki dana besar untuk mempengaruhi hasil pemilihan presiden dan anggota Konggres. Lobi-lobi ini juga menguasai berbagai media utama di Amerika sehingga mempengaruhi pemberitaan mereka agar selalu bernuansa pro-Israel[1]. Namun, menurut Chomsky, argumen Lobi Israel ini tidak cukup untuk menjelaskan level bantuan moral, material (militer) dan diplomatik Amerika terhadap Israel. Singkatnya lobi-lobi Israel di Pentagon cuma bagian kecil saja dari jalinan yang lebih kompleks dan historis antara Amerika dan Israel.
Lewat buku Fateful Triangle[2], yang oleh Edward Said dalam kata pengantarnya disebut sebagai karya “paling ambisius dalam memahami konflik antara Zionisme dan Palestina yang melibatkan Amerika,” Chomsky memaparkan fakta-fakta akademis yang merujuk pada argumen bahwa perselingkuhan incest antara Amerika-Israel bukan semata-mata ulah Lobi Israel, namun telah tumbuh lama dan berkembang dalam budaya populer-liberal Amerika yang dimulai sejak pra-Perang Dingin, bukan semata-mata oleh alasan ideologis yang terutama diusung oleh kalangan konservatif Zionis di Amerika. Jadi, menurut Chomsky, sentimen pro-Israel telah mendarah daging dalam budaya akademis Amerika, tidak hanya dalam kalangan kanan, tapi bahkan kalangan kiri yang paling liberal pun banyak yang pro-Israel.
Kalau Meirsheimer dan Walt berpendapat bahwa Israel lebih menjadi “beban strategis” Amerika di Timur Tengah, karena Israel merusak hubungan Amerika dengan Dunia Islam, Chomsky berpendapat bahwa Israel memang diperlukan bagi Amerika, terutama untuk menjadi “polisi” di Timur Tengah agar segala ancaman terhadap dominasi minyak Amerika tidak terancam, dan untuk menjaga agar negara Timur Tengah dan sekitarnya tidak keracunan nasionalisme sekuler-independen. Tidak seperti buku Israel Lobby, buku Fateful Triangle kaya dan padat akan catatan-catatan sejarah sejak Perang Dunia untuk mendukung argument yang dikemukakan.
Israel menjadi penting bagi Amerika untuk menjaga kekayaan Arab agar tidak jatuh ke tangan Eropa dan Jepang. Nah di sinilah letak kecerdasan argumen Chomsky. Dalam literatur umum banyak dikemukakan bahwa intervensi Amerika ke Timur Tengah, termasuk akhirnya mensuport Israel, adalah untuk menjauhkan Uni Soviet dari Timur Tengah. Propaganda ini disebarkan oleh Amerika untuk mendapatkan dukungan publik pada masa Perang Dingin. Namun sebaliknya, ancaman utama yang dihadapi Amerika di Timur Tengah datang dari Eropa dan Jepang, bukan Uni Soviet. Amerika takut kalau Inggris, yang baru saja kehilangan titel negara adi daya, Perancis dan Jepang menguasai perdagangan minyak Arab dan akhirnya lari dari cengkeraman dan ketergantungan terhadap Amerika. Bukan minyaknya yang penting, tapi akses terhadap minyak dan distribusinya yang menentukan monopoli Amerika. Sedangkan Uni Soviet memang tidak terlalu tertarik dengan Timur Tengah. Walau sempat memiliki “sekutu” di Mesir lewat presiden Nasser dan di Siria, Uni Soviet belakangan terbukti tidak peduli dengan mereka. Bahkan saat perang Israel melawan Mesir, Sirian dan Yordania tahun 1967, ketiga negara Arab itu dibiarkan dihancurkan oleh Israel[3].
Israel adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang pro-Barat saat itu, sehingga ia menjadi penting dalam lingkup kepentingan geo-strategis Amerika di sana, karena ketakutan utama Amerika adalah nasionalisme independen negara-negara minyak (yang saat ini ditunjukkan oleh Iran dan Venezuela). Israel akhirnya juga banyak membantu Amerika dalam mensterilkan Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin dari nasionalisme. Israel menjadi penting karena ia memberikan banyak bantuan militer, pelatihan dan teknis kepada diktator-diktator di kawasan-kawasan itu. Sebut saja Idi Amin dari Uganda, Haile Selassie dari Ethiopia, Mobutu Sese Seko dari Zaire, dan hampir seluruh diktator di Afrika dan Amerika Latin saat itu[4]. Ini juga yang kemungkinan menjadi dasar gerakan solidaritas Palestina di berbagai negara Amerika Latin, setelah diktator-diktator mereka tumbang.
Argumen Chomsky inilah yang menjadi sebab bahwa ia lebih melihat berbagai perang dan konflik di Timur Tengah secara pragmatis dan realistis, bukan berakar pada peperangan ideologis Zionisme dan kelompok konservatif Kristen Amerika melawan Islam, walaupun argument ideologis tersebut juga memaparkan berbagai fakta-fakta pendukung juga. Nah di sinilah dilemma terjadi, karena kedua argumen hampir sama kuat. Namun, yang ditakutkan semua kalangan dari berbagai konflik di Timur Tengah sampai saat ini tetap sama: terorisme yang merajalela dan perang nuklir.
------------
[1] Di antara media-media utama tersebut adalah New York Times, Fox News dll.
[2] Buku setebal 578 halaman ini (Updated Edition 1999), seperti halnya banyak buku Chomsky lainnya memberikan banyak sekali catatan kaki dan referensi yang komprehensif.
[3] Kemenangan strategis atas Eropa dan Jepang inilah yang menjadi penanda bahwa Amerika akan menjadi negara adi kuasa yang baru.
[4] Dalam kesempatan lain, Chomsky juga menyebutkan kalau Israel juga berperan dalam membantu Suharto menginvasi Timor Timur tahun 1975 dengan membantu helicopter dan peralatan perang yang langsung dikirim oleh Israel.
Tersesat di Hollywood
(Catatan pribadi tentang buku Chris Hedges, “Empire of Illusion: The End of Literacy and The Triumph of Spectacle,” 2009)
Hampir semua yang hidup di alam dunia saat ini ingin dikenal, diakui, dicintai, dipuja dan dicemburui. Tidak manusia tidak hewan. Itulah mengapa ada selebritis, sapi metal dan cewek indo.
Saat ini, televisi telah menciptakan kultur selebritis. Kalau dalam kamus inggris, salah satu arti dari entri “celebrity,” selain “orang yang terkenal,” adalah “keadaan menjadi terkenal.” Jadi televisi dan dunia kamera telah menciptakan budaya keterkenalan. Sedangkan komputer dan internet telah menciptakan kultur konektivitas, budaya berhubungan, bercengkerama dan bersenggama online.
Kalau budaya selebritis—merayakan diri sendiri—digabung dengan budaya berhubungan, maka saat itulah manusia eksis, ada, dan paripurna—menurut aturan Hollywood. Lha menurut aturan Hollywood lagi, manusia normal harus berusaha untuk dikenal dan dihubungi. Ia harus “kelihatan.” Bagaimana biar terlihat? Para selebritis sudah memberikan contohnya, tinggal pilih yang bentuknya seperti apa yang mau ditiru, dari model pria sejati seperti Ariel, atau model yang mbanci, atau yang model ngiyai juga ada. Wanita juga bisa milih, mau yang model super-hot, pliket dan beraroma sambal seperti Aura Kasih, atau yang mlenis-urakan, simetris dan sak tekeman kayak Pevita Pearce. Kita menjadi nyata ketika kita terlihat, dan karena itulah Facebook dicipta. Selebihnya, manusia itu sekedar hantu. Sedangkan hantu adalah terror sejati manusia modern. Kenapa? Karena jarang kelihatan. Kelihatan sesekali pun cuma mringis, dan tidak manis-manis amat, terlepas bahwa si hantu ini ternyata bisa terbang.
Semua upaya diatas ditujukan agar manusia-manusia bukan hantu tersebut menjadi bahagia. Dan kebahagiaan, menurut aturan Hollywood lagi, bergantung pada bagaimana kita terlihat dan memperlihatkan diri kepada orang lain. Itulah mengapa ada dokter bedah plastik, guru fitness, perancang busana, desainer interior rumah, sampai konsultan jerawat. Supaya apa? Supaya kita mejadi “selebritis.” Kita membangun filem-filem dan sinetron kita sendiri agar kita dapat berperan seperti selebritis. Itulah mengapa “dunia ini panggung sandiwara.” Dan keadaan seperti ini tak mungkin berlangsung ketika para manusia-manusia tadi tidak mendapat dukungan moral. Jadi harus ada yang selalu mengingatkan mereka agar mereka terus menjadi “Manusia Super” dengan “Salam Dahsyat.”
Kalau jaman dulu, kerajaan lah yang mengatur tindak-tanduk sosial kita, sekarang televisi, bioskop, internet dan MP3 player yang menentukan eksistensi kita. Hedonisme, sex [and the city] dan uang adalah sila pertama Pancasila. Sedangkan sila kedua adalah Kemuliaan Yang Dipimpim Oleh Hikmat Kebijaksanaan Kekuasaan. Jadi kalau sudah cantik, gagah, seksi dan kaya, ya kalau bisa berkuasa.
Kalau di Amerika, 1% dari populasi Amerika menguasai kekayaan melebihi gabungan kekayaan dari 90% warga Amerika. Di Indonesia mungkin juga hampir sama. Dan manusia-manusia 1% tersebut adalah rujukan utama bagi manusia yang 90%. Yang 90% itu dibentengi oleh televisi supaya tetap fokus. Rakyat miskin itu tidak ada kalau kita tetap fokus. Malahan kita (manusia 90%) ditantang dan dicaci habis-habisan, oleh gaya hidup serba tank-top, serba c.i.n.t.a. dan serba keong racun. Kita harus percaya, bahwa kalau kita terus berusaha, kita akan mejadi seperti mereka. Manusia 1% tersebut menjadi cermin gaya hidup kita.
Kita ini, sayang sekali, terlalu banyak mengonsumsi kebohongan tiap hari. Kita terlalu banyak menelan janji bahwa kalau pakai baju merek ini, atau beli hape merek ini, atau suka musik ini, atau pilih presiden ini, kita akan dihargai, dicemburui, dan dicintai. Kultur selebritis ini mengajak kita untuk berpikir bahwa kita juga berpotensi menjadi selebriti. Ini disebut kultur narsisme, kata Christopher Lasch. Realitas adalah penghalang kesuksesan, bikin gak fokus. Realitas cuma bagi orang kalah. Sedangkan fantasi adalah segalanya. Jadi teruslah menelan fantasi dari televisi, dan lupakan realitas (yang dimaksud realitas itu ya bahwa ada banyak orang miskin, orang kelaparan, ada orang ditindas, ada anak kecil dijatuhi bom, ada orang jutaan mati ditembaki tapi tidak ada yang menghitung, dan lain-lain). Kultur ini mengajak kita menjadi diri sendiri dan melupakan orang lain, karena orang lain itu tidak rasional. Kita telan semua itu tiap hari, tiap saat, tapi kita jarang sekali ke WC, apalagi baca buku.
Televisi itu pornonya melebihi bokep yang paling liar sekalipun. Bokep tidak menyuruh kita supaya beli hape ini, mobil ini, motor ini, rokok itu, atau baju ini dan celana itu, karena dimana-mana bokep itu tidak pakai baju, seperti hewan. Lha kalau kandidat presiden yang dijual oleh televisi dan media? Gak bakalan ketahuan boroknya kecuali kita pakai kacamata tembus pandang. Lha kalau punya kacamata tembus pandang itu kita baru bisa tahu kalau, misalnya, presiden itu ternyata memakai popok dewasa buatan Amerika, karena dia mencretan. Misalnya lho ini. Makanya syair lagunya System of a Down itu berbunyi kalau TV itu “brainwashing,” dan “nonstop disco.” Jadi otak kita dilondri agar kita percaya kalau presiden itu tidak bisa mencret, walaupun baunya sampai kemana-mana. Dan kita juga disuruh berdisko, nyanyi pop sampai mampus.
Tapi mungkin inilah bukti keagungan Tuhan. Makhluk-Nya itu warna-warni, macam-macam dan pokoknya komplit. Yang namanya “manusia” itu sekarang kebanyakan menjadi komoditas dalam budaya selebritis. Manusia itu derajatnya hanya setara dengan apem dan pisang aroma yang diperjual-belikan di pasar globalisasi. Manusia menjadi objek dan menjadi produk yang tak punya nilai intrinsik. Mereka berkompetisi menjadi “manusia” dengan melupakan, dan bahkan bertumpu pada penderitaan, kelemahan, dan penghinaan terhadap manusia lainnya.
Singkatnya, kita ini sedang “Tersesat di Hollywood,” meminjam judul lagu System of a Down kesukaan saya. Padahal tersesat itu tidak bisa pulang.
“Masalahnya Kita Tidak Mau Mengakui Kalau Terorisme Kita Adalah Terorisme (2)”
“Mengapa mereka membenci kita?” tanya George W. Bush dalam salah satu pidatonya menanggapi aksi terorisme 11 September 2001.
Sebenarnya pertanyaan itu sangat mudah dijawab. Jika para teroris yang kita bicarakan adalah kaum Muslim fundamentalis (karena ada teroris jenis lain. Bush juga menyebut kaum Katholik revolusioner Amerika Latin sebagai “ekstrimis Katholik,” sepadan dengan ekstrimis Islam, cuma mereka tidak asik diberitakan), tidak serta merta mereka akan benci begitu saja dengan kita, kemudian main bom sana sini, main tembak sana-sini. Kalau mereka teroris sejati, yang kerjaannya bunuh orang, ngapain mereka tidak membom pasar atau taman kanak-kanak, atau kebun binatang (kata Chomsky), yang jelas-jelas tanpa pengamanan yang berarti? Kan korbannya akan lebih banyak. Tapi mengapa mereka memilih menyerang JW Marriot atau polsek?
Yang salah kaprah adalah menilai terorisme berakar dari kejadian 11 September 2001. Padahal akarnya tunggang langgang sampai kemana-mana. Dan semua juga tahu kalau penyebabnya adalah: Amerika dan Israel masih saja menjajah Palestina, membunuh jutaan kaum Muslim di Irak, Afghanistan, mengusir mereka, mempermalukan harkat mereka sebagai manusia (coba bayangkan, tidak ada yang sudi menghitung korban sipil di Afghanistan, misalnya. Jumlahnya simpang siur. Amerika bilang 40 ribu, Information Clearing House bilang 5 juta. Padahal mereka kan juga manusia, bukan bebek).
Dan target para teroris juga tidak sembarangan, minimal yang oleh mereka dinilai sebagai salah satu institusi milik pemerintah yang dianggap rukun dengan yang Barat dan jahat itu tadi.
Lalu apa sebabnya terorisme selalu terjadi? Menurut Chomsky, “Masalahnya ada pada ketidak mauan kita untuk mengakui kalau terorisme kita adalah terorisme.” Yang dimaksud “terorisme kita” tentu terorisme Amerika dan Israel sebagai simbol Barat. Jadi pembantaian jutaan warga Irak, Afghanistan, pembantaian Gaza, Lebanon, Sudan dll tadi adalah bukan terorisme, tapi namanya “promosi demokrasi.” Kalau si Amerika dan Israel yang membunuh, ada 1001 macam alasan yang dijadikan pembenaran di PBB, tapi kalau si teroris yang membunuh, semua orang akan balapan mengecam.
Lalu mengapa pola pikir kita bisa jungkir balik tidak karuan seperti itu? Menurut Chomsky, dibutuhkan alat indoktrinasi dan cuci otak yang sangat canggih (namanya Media, Propaganda, dan Demokrasi), sehingga orang bisa menyensor dirinya sendiri. Maksud menyensor diri sendiri adalah, kita akan cenderung diam, dan kedengaran biasa saja ketika semua kejahatan dilakukan oleh Amerika dkk. Lalu kapan kita akan sadar? Ya nanti kalau salah satu keluarga kita sudah mati dibom Amerika atau Israel.
Lalu apa bedanya teroris dan para “promotor demokrasi”? Jawabannya juga mudah.
Kalau para teroris adalah orang-orang gunung yang tinggal di gua, yang berewokan tidak karuan, tidak pernah mandi, yang tahunya cuma teriak “Allahu akbar”, yang latihan perang pakai bambu runcing, atau AK-57, dan yang latihan menembak dengan target foto SBY. Yang buat bom rumahan yang isinya paku. Yang hobinya ngebom gedung-gedung atau orang-orang yang dianggap dekat dengan Amerika. Jumlah mereka relatif kecil dan dibenci semua pihak. Termasuk saya juga benci.
Nah, lalu seperti apa para promotor demokrasi yang baik itu? Yaitu mereka yang memiliki tank-tank, pesawat F-16 sampai F-22, Sukhoi dan yang memiliki senjata-senjata yang super canggih. Punya kapal induk, kapal selam dll. Punya nuklir. Punya industri senjata. Yang latihan menembak dengan target manusia-manusia beneran di Irak dan Palestina. Kadang-kadang targetnya anak-anak atau mbah-mbah. Orang semua itu. Yang punya kaki tangan yang namanya kaum intelektual.
Sama juga dulu jaman Julius Caesar. Julius kewalahan memburu para bajak laut yang juga disebut teroris. Tapi si bajak laut malah bilang, “Kalau penjahat kecil-kecilan seperti kami namanya bajak laut, kalau penjahat besar seperti Tuan namanya imperialis.”
Tapi ada satu persamaan mendasar diantara keduanya: sama-sama maniak gila. Dan saya bukan pendukung para teroris gila itu. Saya netral, senetral embun pagi dan makhluk luar angkasa.
Dan secara esensial, keduanya juga teroris. Satunya bernama “organisasi teroris,” satunya lagi bernama “negara teroris” (Kata Chomsky). Tapi yang satu tidak punya media, tidak punya DPR, dan Konstitusi sebagai pembenaran, yang satunya punya, sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik. Itu saja.
Nah, bagaimana kita bisa menghapuskan terorisme? Seperti menghapuskan jamur, harus dicabut sampai akarnya: penyelesaian konflik Israel-Palestina sesegera mungkin. Itulah mengapa konflik ini jadi sangat penting. Dan banyak aktivis internasional, dari Irlandia sampai Venezuela, mulai berusaha memberikan penyadaran akan gentingnya masalah ini bila dibiarkan berlarut-larut.
Tapi celakanya, Israel dan Amerika tidak sudi untuk berdamai, dan para teroris terlanjur patah hati. Ya biar Tuhan saja yang mendamaikannya. Dan saya yakin sebentar lagi pasti damai.
(anarchism)
Media Costs Our Lives
By Muhamad Hidayat, edited by Edward Tripp
25 July 2010
There are two rudimentary functions of the media: first, to indoctrinate “the elites” so that they know how to serve the ruler best; and second, to alienate the “non-elites” from public debates so that they don’t try to interfere with decision making-process in the government level. The non-elites are supposed to become lost and unaware that their voices don’t count and don’t matter much.
1. Media as Indoctrination Device for Elites
The elites here include those belonging to the “political class”—those whose voices in one way or another matter to the authority’s decision-making process. They are politicians, judges, prosecutors, members of parliament, ministers, and pretty much those who work for the government (Mrs. Michele Obama and Mrs. Ani Yudhoyono may join if they wish). “Businessmen class” also belongs to this cohort. They comprise powerful employers and big people involved in determining the company’s policies. Another crucial member of this group is the “intellectual class,” to which intellectuals and smart people in universities—professors, college students, researchers, whatever—belong. The last member of the political class includes journalists and those working for large, profit-driven, mainstream media. Those people altogether constitute the staunch supporters of Western “democracy,” meaning, democracy as determined by World Bank and the IMF, through which the US channels its hegemonic enterprise.
Elite segment of society suffers from the most intense media indoctrination and propaganda. They read big mainstream newspapers, journals, magazines and other elite media which are heavily subsidized by ads and corporations whose analyses and contents cannot be read and understood easily by laymen. The elites are too cool to mingle with common people. They admire complexity, and are too fastidious in everything, from food to music to cool philosophers to read. The more complex and intricate things going on, the better for them.
In America, they may read New York Times, or Wall Street Journal, or Washington Post. In Indonesia, they read Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post or Tempo. However, not the entire contents of mainstream media are propaganda, but language used and tones mostly are.
Why those cool people are the most indoctrinated? They are mutually hooked to each other. The president and members of parliament must be smart enough to satisfy rich and powerful businessmen (giant multinationals, primarily those coming from America and Europe), otherwise they would risk their reelection and the rich men would flee their country, lacking of investments. That is why free market exists. Poor people and local, small businessmen must be flogged with cut of subsidy, wage cuts and lay-offs, so that they won’t become too mawkish. Life is competition, and solidarity is irrational and excessive. So don’t ever disappoint the rich and powerful. The rich and the super-rich, on the other hand, must choose their presidents and friends in government with due care, or they would put their speculative investments at risk. Intellectuals don’t want to be outdone either; their duty is to maintain the continuity of this system until generations to come—in short, to inherit the system.
2. Media to alienate the non-elites from public debates.
The second function of the media is to alienate the common people from public debates, and keep them clueless of essential issues (although they may very much concern people’s lives). Let important matters be taken care of by “big guys in government.” Don’t let the people know that there is something going on.
People are wild, undomesticated, unmannered, and not well-behaved, and if they knew a little, they would rage uncontrollably. So there has to be media that keeps them mute. If smart people read New York Times or Kompas, those clouds should also be offered some “reading materials” to keep them busy and feel included. Then came the entertainment media: the gossips, soap operas, Disney, Animal Planet, cooking magazines, MTV, World Cup, etc. Don’t they need some hard news? Let’s give them reports on youth violence, or sex scandals, or “three-headed babies,” in Chomsky’s words. So they must be provided with some “not-really-serious” matters, and then be allowed to come to a voting box once in four or five years.
Sometimes there are some people who climb into success and make good careers. For instance, their children are managed to study in good schools, so they would receive good education and trainings and be aware of the etiquette in pleasing rulers and bosses of big corporations. But a great number of them must remain the same, so that corporations do not run out of consumers.
3. Product of Media
Like having transactions in market, the media also sells its product. What is the product and who is the buyer? The product of the media is the reader of that media, while the customer is the advertiser, or the business world, or corporations.
Look. Mainstream media is a parasitic institution. They got money from advertisers. And there has to be some “agreement” between the advertisers and the media. In other words, the interests of the media has to, one way or another, agree with the interests of business world. So if the business world favors free market, the media has to automatically picture free market positively and spread propaganda to advance free market principles.
In summary, the society, as the product of the media, are marketed and sold to the business world to become consumers. This analogy is more easily understood as far as entertainment media is concerned. But how about the elite media? Same thing. The elite people, readers of elite media, are sold to corporations, not merely as consumers, but as “special people” who would be in charge of taking over this somewhat complex system. The point is, the association among the elite political class is arranged very cleanly and automatically. But how come? Because they have all been “socialized” from kindergarten up to university, Chomsky concludes. So, how much do you cost now?
Sunday, July 4, 2010
Refleksi tentang demokrasi (bagian 3)
Hidayat, 4 Juli 2010
Jaman sekarang, demokrasi itu ibarat video porno. Laris manis, murah meriah, disukai semua kalangan, dari politisi sampai anak SMP. Apalagi kalau video pornonya diselenggarakan oleh pihak-pihak terkenal, yang memperoleh pencitraan yang cukup melimpah-ruah. Kalau sudah begitu, anak-anak SMP pun mulai berani menuntut kepada alam semesta perihal pendemokrasian dalam berporno dan bervideo.
Sebagai penggemar video, saya tetap tidak suka demokrasi. Ngomong soal demokrasi saat ini jelas salah kaprah—boso Jowone, kemproh—serta terdengar lucu dan konyol, apalagi kalau ngomongnya tanpa didahului sikat gigi. Demokrasi di negeri kita, yang ditandai dengan pemilihan ini itu secara langsung memang banyak memanen pujian dari negara-negara Barat, terutama Amirika. Tapi ya disitu kelirunya. Ketika kita sudah dipuji-puji mereka, berarti ada yang salah dengan kita. Kalau kita sekalian dibom gitu saja malah ketahuan siapa yang benar.
Tetapi saya yakin para politisi, para bisnismen, dan para orang professor, dosen, mahasiswa dan rombongannya rajin menyikat gigi, jadi kalau ngomong demokrasi baunya jadi harum, seharum mempelai wanita. Demokrasi saat ini adalah industri pencitraan. Industri public relations, alias industri jual beli omongan-omongan kosong, semacam “Lanjutkan,” “Lebih cepat lebih baik,” dan “Pria punya selera.” Ngomong demokrasi tanpa ngomong media dan propaganda seperti orang tuli ngomong tentang Dewa 19.
Demokrasi bertumpu pada kesepakatan mayoritas masyarakat dalam pengambilan keputusan. Jadi misalnya 51% orang Indonesia milih SBY, maka itu demokrasi. Tapi kan demokrasi belum tentu demokratis. Demokratis itu kalau kita secara sadar memilih pilihan kita, memilih jalan hidup kita, memilih kekasih kita, memilih mau masuk UGM atau UMG, dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang akan kita hadapi. Persoalan memilih ini bukan sepele lho. Bahasa kerennya butuh “alat intelektual,” alias kecerdasan. Tapi orang Indonesia pada sadar po?
Si Edward Bernays, bapak public relations, pernah bilang—yang menurut saya agak vulgar—bahwa manipulasi atas opini dan perilaku masyarakat merupakan elemen PENTING dalam demokrasi. Mereka yang kerjaannya memanipulasi inilah yang sebenarnya menjalankan kekuasaan. Jadi bukan rakyat yang berkuasa. Kalau dalam bahasanya Walter Lippmann, ini disebut “manufacturing consent,” alias memproduksi kesepakatan. Dan proses memproduksi kesepakatan inilah esensi dari demokrasi. Gimana caranya biar masyarakat pada sepakat, pada seragam opini dan perilakunya, sehingga mudah digiring masuk jurang? Caranya ya lewat media. Media adalah alat yang sangat amat efektif untuk menjauhkan masyarakat dari perdebatan publik yang menyangkut hajat hidup mereka sendiri. Singkatnya, demokrasi jangan sampai dijalankan oleh rakyat. Rakyat tugasnya cuma nonton. Jangan ikutkan mereka, kecuali lima tahun sekali.
Nah, untuk menjalankan siasatnya, si gerombolan manipulator ini (politisi, akademisi dan bisnismen) membutuhkan sesuatu untuk menaunginya, namanya Negara. Negara ini harus seolah-olah demokratis. Negara, kata si James Madison, berfungsi untuk melindungi kaum minoritas yang anggun itu dari kebar-baran kaum mayoritas, atau rakyat. Rakyat itu gak punya kuasa sama sekali, yang berkuasa adalah “stock jobbers,” alias para investor, kata Madison. Negara demokrasi saat ini dikuasai oleh para gangster investor yang menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan mereka sendiri, kata Mbah Chomsky, yang mendapat pembenaran yuridis dan akademis dari kawan politisi dan akademisi mereka.
Begitu juga dengan ideologi pasar bebas yang harus dianut negara demokrasi. Seperti yang dikatakan Adam Smith, pasar bebas itu bisa sangat demokratis, karena prinsipnya adalah konsumen bebas memilih secara sadar barang-barang produksi yang dibutuhkannya. Tapi kan sekarang si Adam Smith itu kan ditelanjangi habis-habisan kemudian divideo dan dijual ke seluruh dunia oleh Barat. Sekarang konsumen jelas tidak ada yang sadar. Bahkan mereka dungunya keterlaluan. Mereka tertipu oleh iklan-iklan yang tidak merujuk ke substansi barang produksi yang ingin dijual. Kita disuruh nonton Piala Dunia saja senengnya bukan main, heboh, padahal kita tidak ikut main. Sambil nonton, kita disuruh bersorak-sorai, beli ini itu, ngefan ini itu, dan disuruh merokok. Tidak ada iklan yang benar-benar merepresentasikan secara adil tentang suatu produk. Kan gak ada iklan Coca-cola yang bilang kalau minuman ini dibuat oleh buruh Bangladesh yang diupah sangat rendah. Atau iklan rokok yang bilang kalau rokok lebih banyak membunuh daripada mariyuana. Semuanya adalah industri pencitraan. SBY juga dijual atau diciterakan seperti kehendak mereka yang mengusungnya.
Lalu bagaimana agar kita sadar? Kalau saya sih sudah sadhar dari dulu, karena lulusan Sanata Dharma. Lha yang lulusan UGM?
Menurut Chris Hedges, dunia kita terbelah menjadi dua. Dunia ilusi dan dunia realitas. Mereka yang terjebak dalam dunia ilusi adalah mereka yang terekspos oleh citra-citra atau gambar-gambar, dan secara bersamaan mengira kalau gambar-gambar tersebut adalah INFORMASI. Mereka mengira kalau filem Hollywood adalah informasi. Ciloko to? Mereka masuk dalam budaya gambar. Budaya gambar yang diwartakan oleh media ini semakin menjauhkan mereka dari dunia realitas, yang kata Hedges adalah dunia berbasis tulisan. Kenapa tulisan? Karena dunia tekstual setidaknya lebih mengasah kritisisme dan analisis independen. Mereka yang masih di dalam budaya tekstual lebih memiliki kemampuan intelektual dan analitis yang cukup untuk memilah-milah mana informasi yang ilusif dan mana yang fakta.
Yang bisa kita lakukan sebagai orang kecil ya cuma mulai belajar sadar (tapi gak perlu masuk Sanata Dharma), belajar membaca dan memilah informasi, dan akhirnya belajar mendidik orang lain. Ini juga gak sepele lho. Kata Chomsky, perubahan itu dimulai dari “popular education,” pendidikan masyarakat. Minimal kita bisa tahu kalau merokok itu merusak kesehatan.
Yah… itulah demokrasi. Dan itulah mengapa Israel juga menganggap diri mereka demokrasi.
Sumber:
Edward Bernays, “Propaganda,” 1928.
Noam Chomsky, “Understanding Power.” 2002.
Chris Hedges, “Empire of Illusion: the End of Literacy, the Triumph of Spectacle,” 2009.