8 September 2011
Darwin mengatakan bahwa semua tumbuhan
berbunga berasal dari tumbuhan tidak berbunga dan manusia berasal dari
kera, walaupun seperti yang ia duga, gagasan ini belum bisa dibuktikan
karena sampai detik ini belum ditemukan fosil transisi (missing link)
antara tumbuhan tidak berbunga-tumbuhan bunga dan antara kera berjalan
tegak dan manusia. Tapi karena teori evolusi sudah terlanjur menjadi
ideologi di kalangan akademisi dan ilmuwan, semua bukti yang tidak
sesuai menjadi tidak ilmiah dan bukan sebuah ilmu pengetahuan. Jadi
jangan marah jika Mocopat tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
Uniformitarianisme
menyatakan bahwa alam semesta (Bumi, bintang, dan triliunan galaksi
beserta keharmonisan gaya gravitasi antar mereka) terbentuk lewat proses
teratur, gradual, regular, matematis, dan dalam tempo yang sangat lama,
entah diawali dengan Big Bang-nya Einstein atau memang sudah ada dengan
sendirinya, seperti yang ingin dibuktikan Stephen Hawking. Namun,
ternyata banyak sekali ketidak teraturan dan bencana-bencana selestial
yang ikut membentuk tatanan alam semesta sampai saat ini.
Immanuel
Velikovsky, seorang fisikawan dan psikoanalis Yahudi Rusia, misalnya,
pada 1950an mengemukakan gagasan bahwa Bumi menjadi seperti ini bukan
karena proses teratur dan panjang dari evolusi, melainkan melewati
berbagai bentuk bencana besar yang sebenarnya sudah tercatat dalam
mitos-mitos, legenda dan cerita di semua kebudayaan tua di Bumi (ia
menyebut Israel, India, Yunani salah satunya). Pendiri Hebrew University
of Jerusalem ini mengemukakan dalam buku best-sellingnya “Worlds of
Collision” bahwa keadaan alam semesta saat ini sangat dipengaruhi oleh
gaya elektromagnetik yang mengganggu kestabilan gaya gravitasi. Gaya
elektromagnetik tersebut tercipta dari berbagai ledakan-ledakan bintang
(supernova) dan tabrakan galaksi yang memang sering terjadi di alam
semesta.
Velikovsky, yang juga teman Einstein, mengatakan
bahwa Bumi pernah mengalami bencana alam dengan skala yang sangat hebat.
Ini dibuktikan dengan kepunahan berbagai spesies hewan secara
tiba-tiba, bukan dalam waktu yang lama seperti kata Darwin. Ia
mengatakan, peradaban yang ditemukan di gua-gua bukanlah peradaban
manusia primitif, melainkan karena mereka mengungsi dari bencana global
yang saat itu terjadi. Contoh lain, banjir bandang di era Nabi Nuh yang
dicatat dalam sejarah berbagai bangsa, terjadi bukan akibat mencairnya
es di kutub, namun akibat paparan radiasi dari ledakan bintang/planet
(supernova) yang dekat dengan Bumi kita, yang memicu tsunami besar dan
ledakan ribuan gunung api yang menyapu dan menenggelamkan berbagai
peradaban manusia, serta merubah wajah bumi secara signifikan.
Velikovsky
juga mengatakan bahwa planet Venus (yang orbitnya berlawanan dengan
planet lain, yang materi penyusunnya paling berbeda dengan planet lain,
dan yang ternyata memiliki jejak ekor yang panjangnya 45 juta kilometer
yang terekam dari Satelit SOHO pada 1997) dahulunya adalah sebuah komet
raksasa yang selalu menghantui nenek moyang kita (sehingga disimbolkan
sebagai Dewi atau Bintang Berambut Panjang dalam mitologi Yunani, dan
Naga yang menelan Bumi dalam budaya Cina). “Komet” Venus pernah
menciptakan radiasi luar biasa di Bumi dan menyebabkan Eksodus
besar-besaran umat manusia pada 1500 tahun sebelum masehi seperti di
catat dalam Injil. Bencana global ini lumayan sering terjadi, dan
menjadi sebab terpisahnya kepulauan Inggris dari benua Eropa yang
terjadi baru 6000 tahun yang lalu.
Dalam buku “Earth Under
Fire,” Dr. Paul LaViolette juga mengemukakan bukti bahwa debu kosmik
dengan konsentrasi tinggi (Iridium) yang ditemukan dibawah lapisan es di
Greenland merupakan materi yang sangat langka di Bumi, namun sangat
banyak di luar angkasa. Ternyata, Iridium ini berasal dari supernova
yang terjadi 11 ribu tahun yang lalu dan mengakibatkan bumi menyala
karena terpapar radiasi, gunung-gunung berapi bermunculan, tsunami maha
dahsyat menyapu Atlantis, dan kerak bumi bergeser membentuk benua-benua
baru. Debu-debu bintang ini juga terperangkap oleh gravitasi dan
sekarang menjadi materi pada cincin planet Saturnus.
Supernova-supernova
yang sering terjadi mungkin tidak terlalu memberikan pengaruh di level
alam semesta (beberapa minggu yang lalu NASA mempublikasikan gambar
tabrakan galaksi yang jaraknya triliuan triliunan triliunan tahun cahaya
dari Bumi). Namun, ia akan memberikan efek luar biasa pada
planet-planet dan tata surya didekatnya, karena serpihan-serpihan
bintang yang beterbangan dan radiasi akibat ledakan tersebut mampu
mengganggu gaya gravitasi antar planet dan antar bintang, merubah kutup
planet-planet, atau bahkan ikut menghancurkan planet-planet kecil di
sekelilingnya.
Kosmologi Aristoteles yang dibangun selama
beberapa millennium “runtuh” dan terlupakan oleh munculnya teori evolusi
di tahun 1800an. Walau teori evolusi telah menjadi ideologi di kalangan
akademis, pertanyaannya seharusnya, “Kita harus meneliti alam ini
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita [Darwin cs.] mau.” Celakanya,
bagaimana jika keadaan Bumi yang masih adem ayem selama beberapa ribu
tahun terakhir ini ternyata cuma keberuntungan belaka, karena
bintang-bintang di dekat kita belum meledak?
Sumber: Douglas Kenyon (Ed.), “Forbidden History,” 2005
Kebanyakan dari kita saat ini sedang nyasar di Hollywood. Padahal Hollywood itu luar negeri.
Thursday, December 8, 2011
Secular Professionalism
17 Juli 2011
Don Vito Corleone dalam The Godfather adalah sosok yang sangat setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bisnisnya. Sebagai kepala keluarga, cintanya kepada anak-anaknya begitu besar, terutama kepada Michael Corleone, dan ia selalu siap melindungi keluarganya dari serangan musuh-musuhnya. Ia adalah sosok yang penyayang dan religius di satu sisi. Namun di sisi lain, Don Corleone tetaplah seorang bos mafia yang sangat ditakuti, kejam dan berpengaruh, yang tak segan-segan membunuh, menerkam lawan-lawan bisnisnya dan siapa saja yang menghalangi jalannya. Nyawa manusia tidak terlalu berharga demi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Tak terhitung nyawa yang telah melayang, entah dari pengikutnya maupun musuh-musuhnya.
Belajar dari trilogi The Godfather tersebut, rasa-rasanya dualisme sosok Don Corleone mudah sekali kita temukan dimana-mana, terutama di dunia kerja, bisnis, politik, dan pendidikan. Di satu sisi, seorang koruptor kelas kakap yang sering muncul di layar televisi bisa jadi seorang ibu/ayah yang baik hati, penyayang, tanggung jawab dan religius di lingkungan keluarganya. Namanya bisa saja Muhammad ini atau Robertus itu. Seorang professor atau rektor terkenal yang menolak anak-anak kere masuk ke universitasnya bisa jadi seorang yang sangat diagungkan oleh keluarga, sangat dicintai anak-anak dan tetangganya, dan seorang haji mabrur. Seorang presiden atau petinggi parpol yang menikmati fasilitas hidup super mewah dengan uang rakyat dan uang Amerika bisa jadi seorang simbol, ikon panutan dalam keluarga besarnya. Atau mungkin seorang wakil presiden, atau seorang ekonom yang mendahulukan kepentingan para investor, banker, pemilik saham, korporasi asing, dan yang selalu sibuk dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, dan tidak tahu kalau tetangganya memeras darah setiap hari demi menyekolahkan anaknya, bisa jadi seorang yang begitu romantis dan dicintai oleh istri dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang seharian sibuk bersaing, berkompetisi, berperang dengan pegawai lainnya, santet sana santet sini demi karir dan kemajuan perusahaan tambang batu baranya, akan pulang membawa sejuta harapan bagi anak-istrinya. Ia akan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka, seperti Don Vito, bekerja keras secara professional dan “rasional” demi keluarganya.
Dalam galaksi kapitalisme ini, profesionalisme dan rasionalisme adalah dua keyakinan yang wajib dianut oleh setiap warga negara; profesional berarti bekerja keras dan mendahulukan kepentingan dan kemajuan perusahaan atau partai, bagaimana memberikan servis terbaik di depan direktur dan manajer, lewat manipulasi-manipulasi penampilan dan kerja keras. Sedangkan rasional berarti berusaha memaksimalkan profit dengan cost yang seminimum mungkin, lewat tempo yang sesingkat mungkin. Profesionalisme wajib menampakkan, mengolah dan memaksimalkan sisi manusia kita yang artifisial. Hati, solidaritas, kasih sayang, ketulusan, cinta, dharma, akhlak, budi, kejujuran, serta agama dan Tuhan mohon ditinggal di rumah.
Secular professionalism [yo ben, iki teoriku dhewe] ini adalah poros dari roda kapitalisme dan demokrasi secara keseluruhan. Tanpa itu, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mungkin berjalan. Sedangkan prinsip yang berperan sebagai kemudi adalah “rasionalitas” itu tadi, ditambah prinsip haus pujian-takut mati. Padahal yang harus dipertanyakan adalah “rational in relation to what?” Apakah global warming, eksploitasi hutan berlebihan, polusi, perang rebutan minyak, dan semua akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan demokrasi-kapitalisme tersebut rasional? Belum akibat lain: kekejaman, kebingungan, degradasi moral, pornografi dll. Mungkin rasional dalam lingkup yang sempit.
Seorang direktur korporasi besar yang memeras tenaga para buruh outsourcingnya bisa jadi seorang yang paling baik yang pernah anda kenal secara personal, kata eyang Chomsky. Atau seorang bupati atau lurah koruptor mungkin saja adalah seorang yang paling penyayang dalam keluarga. Namun di lingkup institusi, perusahaan, bisnis, dan politik, mereka bisa jadi seorang yang kejam dan keras seperti Don Corleone si bos mafia. Masih mending jadi Don Corleone, karena mafia yang sejati adalah para politisi dan pemimpin kita, karena demi mempertahankan rasionalitas yang ia anut, 200 juta rakyat bisa sengsara mendadak, bahkan mati tanpa jejak.
Tidak hanya dalam demokrasi-kapitalisme secara umum, dalam sistem politik dan pemerintahan lainnya, seperti komunisme Soviet, fasisme Israel dan Nazi, dan kerajaan Saudi Arabia atau bahkan Vatikan, profesionalisme sekuler bisa jadi menjadi praktik dan roda sistem mereka masing-masing. Mereka bisa jadi seorang Komunis, Yahudi, Islam atau Katholik yang sangat religious dan total di lingkup spiritual, namun di lingkup bisnis dan keuangan, mereka bisa jadi seorang sekuler sejati: maksimalkan profit dengan modal sekecil-kecilnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Israel, Arab Saudi dan Vatikan malah agak mencolok karena mereka sama-sama punya duit banyak lewat bisnis yang menurut standar MUI agak abu-abu.
Solusi yang ditawarkan untuk meringankan problem peradaban ini mungkin agak kolot, old-school dan tidak seksi. Semua ketidak masuk akalan ini terjadi karena tindakan manusia belum dipantulkan pada dimensi yang lebih luas, misalnya, baik-buruk, halal-haram, manusia-Tuhan, atau mungkin dunia-akhirat, menurut Cak Nun. Rasio kita terlalu sempit dan dipaksa-paksakan, dan hati dimati-matikan, sehingga manusia sering bingung. Dan ketika kebingungannya memuncak, manusia memunculkan teori absurditas, karena sudah mentok pemahamannya. Semuanya jadi absurd dan membingungkan, dan di sisi lain, tidak berubah lebih baik.
Profesionalisme sekuler lumayan berbahaya karena selalu megancam keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan bumi, dan manusia dengan jin dan malaikat. Ia menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus karena selalu menciptakan musuh. Beranikah kita membayangkan keharmonisan, cinta kasih, ketulusan kita kepada keluarga dan orang tua kita, menular ke bank-bank, perusahaan-perusahaan, pabrik, kantor, dan istana negara tempat kita bekerja? Kalau tidak, siap-siap saja bertemu dan menjadi keturunan dari Don Vito, Don Michael, Don Vincent Corleone atau Don SBY dan Don Budiono, dan mewarisi kebingungan-kebingungan mereka?
Muhamad Kebo
Don Vito Corleone dalam The Godfather adalah sosok yang sangat setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bisnisnya. Sebagai kepala keluarga, cintanya kepada anak-anaknya begitu besar, terutama kepada Michael Corleone, dan ia selalu siap melindungi keluarganya dari serangan musuh-musuhnya. Ia adalah sosok yang penyayang dan religius di satu sisi. Namun di sisi lain, Don Corleone tetaplah seorang bos mafia yang sangat ditakuti, kejam dan berpengaruh, yang tak segan-segan membunuh, menerkam lawan-lawan bisnisnya dan siapa saja yang menghalangi jalannya. Nyawa manusia tidak terlalu berharga demi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Tak terhitung nyawa yang telah melayang, entah dari pengikutnya maupun musuh-musuhnya.
Belajar dari trilogi The Godfather tersebut, rasa-rasanya dualisme sosok Don Corleone mudah sekali kita temukan dimana-mana, terutama di dunia kerja, bisnis, politik, dan pendidikan. Di satu sisi, seorang koruptor kelas kakap yang sering muncul di layar televisi bisa jadi seorang ibu/ayah yang baik hati, penyayang, tanggung jawab dan religius di lingkungan keluarganya. Namanya bisa saja Muhammad ini atau Robertus itu. Seorang professor atau rektor terkenal yang menolak anak-anak kere masuk ke universitasnya bisa jadi seorang yang sangat diagungkan oleh keluarga, sangat dicintai anak-anak dan tetangganya, dan seorang haji mabrur. Seorang presiden atau petinggi parpol yang menikmati fasilitas hidup super mewah dengan uang rakyat dan uang Amerika bisa jadi seorang simbol, ikon panutan dalam keluarga besarnya. Atau mungkin seorang wakil presiden, atau seorang ekonom yang mendahulukan kepentingan para investor, banker, pemilik saham, korporasi asing, dan yang selalu sibuk dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, dan tidak tahu kalau tetangganya memeras darah setiap hari demi menyekolahkan anaknya, bisa jadi seorang yang begitu romantis dan dicintai oleh istri dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang seharian sibuk bersaing, berkompetisi, berperang dengan pegawai lainnya, santet sana santet sini demi karir dan kemajuan perusahaan tambang batu baranya, akan pulang membawa sejuta harapan bagi anak-istrinya. Ia akan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka, seperti Don Vito, bekerja keras secara professional dan “rasional” demi keluarganya.
Dalam galaksi kapitalisme ini, profesionalisme dan rasionalisme adalah dua keyakinan yang wajib dianut oleh setiap warga negara; profesional berarti bekerja keras dan mendahulukan kepentingan dan kemajuan perusahaan atau partai, bagaimana memberikan servis terbaik di depan direktur dan manajer, lewat manipulasi-manipulasi penampilan dan kerja keras. Sedangkan rasional berarti berusaha memaksimalkan profit dengan cost yang seminimum mungkin, lewat tempo yang sesingkat mungkin. Profesionalisme wajib menampakkan, mengolah dan memaksimalkan sisi manusia kita yang artifisial. Hati, solidaritas, kasih sayang, ketulusan, cinta, dharma, akhlak, budi, kejujuran, serta agama dan Tuhan mohon ditinggal di rumah.
Secular professionalism [yo ben, iki teoriku dhewe] ini adalah poros dari roda kapitalisme dan demokrasi secara keseluruhan. Tanpa itu, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mungkin berjalan. Sedangkan prinsip yang berperan sebagai kemudi adalah “rasionalitas” itu tadi, ditambah prinsip haus pujian-takut mati. Padahal yang harus dipertanyakan adalah “rational in relation to what?” Apakah global warming, eksploitasi hutan berlebihan, polusi, perang rebutan minyak, dan semua akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan demokrasi-kapitalisme tersebut rasional? Belum akibat lain: kekejaman, kebingungan, degradasi moral, pornografi dll. Mungkin rasional dalam lingkup yang sempit.
Seorang direktur korporasi besar yang memeras tenaga para buruh outsourcingnya bisa jadi seorang yang paling baik yang pernah anda kenal secara personal, kata eyang Chomsky. Atau seorang bupati atau lurah koruptor mungkin saja adalah seorang yang paling penyayang dalam keluarga. Namun di lingkup institusi, perusahaan, bisnis, dan politik, mereka bisa jadi seorang yang kejam dan keras seperti Don Corleone si bos mafia. Masih mending jadi Don Corleone, karena mafia yang sejati adalah para politisi dan pemimpin kita, karena demi mempertahankan rasionalitas yang ia anut, 200 juta rakyat bisa sengsara mendadak, bahkan mati tanpa jejak.
Tidak hanya dalam demokrasi-kapitalisme secara umum, dalam sistem politik dan pemerintahan lainnya, seperti komunisme Soviet, fasisme Israel dan Nazi, dan kerajaan Saudi Arabia atau bahkan Vatikan, profesionalisme sekuler bisa jadi menjadi praktik dan roda sistem mereka masing-masing. Mereka bisa jadi seorang Komunis, Yahudi, Islam atau Katholik yang sangat religious dan total di lingkup spiritual, namun di lingkup bisnis dan keuangan, mereka bisa jadi seorang sekuler sejati: maksimalkan profit dengan modal sekecil-kecilnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Israel, Arab Saudi dan Vatikan malah agak mencolok karena mereka sama-sama punya duit banyak lewat bisnis yang menurut standar MUI agak abu-abu.
Solusi yang ditawarkan untuk meringankan problem peradaban ini mungkin agak kolot, old-school dan tidak seksi. Semua ketidak masuk akalan ini terjadi karena tindakan manusia belum dipantulkan pada dimensi yang lebih luas, misalnya, baik-buruk, halal-haram, manusia-Tuhan, atau mungkin dunia-akhirat, menurut Cak Nun. Rasio kita terlalu sempit dan dipaksa-paksakan, dan hati dimati-matikan, sehingga manusia sering bingung. Dan ketika kebingungannya memuncak, manusia memunculkan teori absurditas, karena sudah mentok pemahamannya. Semuanya jadi absurd dan membingungkan, dan di sisi lain, tidak berubah lebih baik.
Profesionalisme sekuler lumayan berbahaya karena selalu megancam keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan bumi, dan manusia dengan jin dan malaikat. Ia menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus karena selalu menciptakan musuh. Beranikah kita membayangkan keharmonisan, cinta kasih, ketulusan kita kepada keluarga dan orang tua kita, menular ke bank-bank, perusahaan-perusahaan, pabrik, kantor, dan istana negara tempat kita bekerja? Kalau tidak, siap-siap saja bertemu dan menjadi keturunan dari Don Vito, Don Michael, Don Vincent Corleone atau Don SBY dan Don Budiono, dan mewarisi kebingungan-kebingungan mereka?
Muhamad Kebo
Sunday, June 19, 2011
SBY, Galileo dan Tuyul
(18 Juni 2011)
(Refleksi pribadi yang penuh subjektifitas, kejanggalan,
ambiguitas, non-akademik, non-EYD, non-demokratis, non-post etc., akibat
kekerdilan mental, spiritual, intelektual)
Pendidikan formal adalah sarana indoktrinasi dan hegemoni semua
pemerintah atau penguasa dalam usahanya untuk melangsungkan dan
menyelenggarakan sistem (entah kapitalisme, sosialisme, komunisme, atau
fasisme). Tidak ada pendidikan yang tidak ideologis. Kurikulum menjadi alat
sensor mental, spiritual, intelektual, untuk memagari dan menjamin ketidaktumbuhan
pandangan-pandangan “kritis” alamiah manusia. Setelah era Pencerahan Barat
(karena pada masa kegelapan Barat, Islam sudah melalui masa pencerahan) dan rasionalitas
Descartes, ilmu pengetahuan mensyaratkan rasionalisme dalam setiap cabang ilmu.
Hanya yang masuk akal dan bisa dibuktikan (disepakati bersama) dapat masuk ke
ranah keilmuan. Lainnya, masuk dalam kategori teologi.
Ketika ilmu pasti dari masa ke masa semakin maju karena
pembuktian secara empiris semakin bersesuaian dengan teori-teori, tidak
demikian dengan ilmu sosial (ilmu politik, pemerintahan, sejarah, psikologi
dll.). Ilmu sosial, yang mencoba meraba dan merumuskan kecenderungan-kecenderungan
perilaku manusia dalam kurun sejarah, tidak semakin berkembang menuju suatu
titik yang bisa disepakati bersama demi kebaikan manusia, malahan eksesnya
semakin merugikan; memecah-belah. Ideologi satu bisa berbenturan dengan ideologi
lainnya. Dan ketika sekelompok manusia mencoba memberikan alternatif, entah itu
namanya Green ini atau Green itu, atau post-ini, post-itu, mereka bisa jadi menciptakan
kutup-kutup baru yang siap meledak dan menghamburkan energi-energi destruktif
yang tidak menyelamatkan manusia. Itulah mengapa masuk akal saja tidak cukup.
Manusia, tidak seperti makhluk lainnya, dianugerahi senjata
yang luar biasa: akal. Dengan akal itulah manusia seharusnya mampu sedikit demi
sedikit mengurai simpul-simpul rahasia alam, manusia dan kemanusiaannya. Dengan
akal dan rasio, manusia seharusnya mampu memilih mana yang baik bagi diri dan
peradabannya. Dengan akal itulah manusia mampu mengakali.
Di ranah ilmu pasti (matematika, fisika, kimia, astronomi,
dll.), hasil olah pikiran manusia mampu kita cerna dan rasakan kemanfaatannya
secara langsung: pesawat terbang, pesawat televisi, pesawat telepon, pesawat
tempur. Dalam ilmu pasti ini pula, akal benar-benar distimulasi, didorong, dan
didesak untuk terus-menerus kritis, karena tujuannya adalah menemukan sebuah
teori universal yang mampu menjelaskan seluruh rahasia alam. Ilmuwan-ilmuwan dituntut
untuk selalu memperbaharui teori dan penemuannya. Teori Aristoteles dan Ptolemeus
tentang bumi sebagai pusat tata surya diperbaharui dengan teori Copernicus yang
menyatakan bahwa Matahari adalah pusat tata surya kita. Teori Copernicus diolah
kembali oleh Kepler dan Galieo yang menyebutkan bahwa orbit Bumi bukanlah
berbentuk lingkaran penuh seperti kata Copernicus, melainkan elips. Teori Kepler
dan Galileo tersebut kembali disempurnakan oleh Newton yang menyebutkan bahwa setiap
benda berada dalam keadaan statis kecuali ada gaya yang bekerja padanya, atau
yang terkenal dengan gaya gravitasi. Masih lagi, teori Newton diperbaharui lagi
dengan teori Relativitas Einstein yang menolak teori Newton yang hanya benar
ketika orang yang melakukan pengukuran berdiri pada kondisi statis, tidak
bergerak pada suatu koordinat ruang yang tetap. Einstein menganggap bahwa
kondisi statis itu tidak dimungkinkan karena alam semesta dan galaksi
senantiasa bergerak mengembang, dan oleh karena itu hasil pengukuran satu
pengamat dengan yang lainnya pasti berbeda atau relatif. Setiap orang memiliki
konsep ruang-waktu sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Relatif. Dan hebatnya,
pencarian ini belum berakhir.
Bagaimana dengan ilmu sosial?
Dilihat dari tren sejarah, seakan-akan akal manusia belum
dioptimalkan untuk mencerna dan merumuskan gejala-gejala sosial demi
kemaslahatan spesies manusia sendiri. Ketika para ilmuwan astrofisika mulai
menyempurnakan relativitas dengan mencari persesuaiannya dengan teori Quantum
Mekanik, ilmuwan-ilmuwan sosial, ulama-ulama sosial, raja sosial, politisi
sosial, mahasiswa sosial, dan Cinta Laura c.s. seakan-akan ngotot, ndeprok pada
posisi koordinat statisnya. Bunga rasionalitas yang merekah pada era awal Pencerahan
Barat seakan-akan semakin layu dan membusuk pada dimensi keilmuan sosial. Yang
komunis tidak rela komunisme hilang, yang kapitalis tidak rela kapitalisme runtuh,
fasisme masih saja mengintai di Israel, imperialisme dan kolonialisme semakin
menemukan bentuk kestabilan lewat cakar-cakar modal asing, oligarki tidak
kunjung terurai di semenanjung Arab. Perang dan pembunuhan masal dari masa ke
masa masih saja terjadi, dan bahkan semakin canggih. Demokrasi dengan keliaran
dan kebingungannya dianggap sebagai terminal terakhir pengolahan akal pikir
manusia secara sosial. Teori evolusi jelas tidak berlaku dalam konteks sosial
dan moral.
Manusia-manusia produk pendidikan yang tidak memupuk
kreativitas akal menjadi semakin kebingungan dalam menentukan pijakan dan
orientasinya. Pendidikan memaksakan kedisiplinan dan kompetisi karena keduanya
adalah cara yang paling efektif bagi penguasa untuk mengatur masyarakat dan
memutus kreativitas pemikiran. Ekses paling mengerikan dari seluruh proses
pendidikan ini adalah ketika manusia mampu menyensor dirinya sendiri. Wacana-wacana
kritis menjadi tabu untuk saling diperbincangkan, kekejaman-kekejaman menjadi umum
untuk terlewat begitu saja, sensitivitas dan solidaritas sesama manusia
mengering seiring ketidak-pedulian pada peperangan, pembunuhan, bencana dan
penderitaan orang lain. Semua mampu menyensor dirinya sendiri. Manusia-manusia
runtuh derajatnya menjadi sekedar zombi-zombi dan kuntilanak-kuntilanak yang menjadi
tentara pabrik dan gedung-gedung bertingkat.
Zombi-kuntilanak tersebut seolah-olah mengalami kemandegan
akal. Ia tidak mampu lagi memanifestasikan kodratnya sebagai manusia untuk mengolah
akal demi kelangsungan peradabannya sendiri. Karena tidak mampu lagi untuk mengolah
akal di ranah ilmu sosial, apalagi di ilmu pasti, mereka berbondong-bondong
hijrah ke ranah non-rasional, non-ilmiah, non-akademis, yang tidak membutuhkan
terlalu banyak olah pikiran, yang tidak melelahkan, yaitu ranah teologi. Itulah
mengapa iPhone, iPad, fashion, musik, budaya pop, pornografi, seks, korupsi dan
kombinasinya menjadi tuhan-tuhan baru yang laris. Persoalan memilih membeli
Blackberry bisa masuk ranah teologi karena kebanyakan tidak memerlukan upaya
kreatif dari otak dan akal kita. Agama menjadi sangat murah dan beraneka ragam,
dari Mc.Donald sampai payudara silikon. Manusia menjadi semakin tidak rasional
dan diselimuti takhayul-takhayul iPhone dan demokrasi. Singkatnya, manusia
semakin mendekati syirik.
Karena kebebalan ini semakin memuncak dan menghancurkan,
mari kita kembali pada rasionalitas dan fakta-fakta. Tidak ada salahnya kita
berkenalan dengan jin, setan, tuyul, dupa, sesaji, Muhammad, dan malaikat.
Sumber: Noam Chomsky, Chris Hedges, Muhammad Ainun Nadjib, Stephen Hawking
Thursday, March 24, 2011
Haus Pujian dan Takut Mati
Muhamad Kebo 23 Maret 2011
Kita hidup dalam budaya selebritis (celebrate berarti
merayakan). Wajah, bodi, kulit, rambut, lingerie, bahkan kelakuan dan cara
berpikir kita adalah cermin dari penampilan dan kelakuan para idola kita.
Manusia semakin bingung. Saking bingungnya, mereka mengimpor semuanya, dari KFC
sampai filsafat. Manusia semakin membutuhkan "kitab-kitab" pedoman,
seperti kata Cak Nun, presiden anarkis Indonesia. Padahal sebelum Nabi Musa
a.s. orang tidak butuh kitab dan agama. Cukup dengan hati.
Tapi sudah menjadi keniscayaan sejarah, jadi tidak bisa disalahkan. Manusia semakin kehilangan kemanusiannya, dan ia menjadi sangat tergantung pada kitab-kitab pedoman itu: teknologi, fashion, teori-teori, dan tentu saja kitab suci. Manusia kebingungan karena kehilangan pegangan, kehilangan akar, kehilangan roh. Jadi kelakuan mereka semakin aneh. Semakin aneh semakin dirayakan. Buku novel psikologi populer anak muda jadi laris karena ia menuntut kita untuk menjadi aneh, tapi aneh yang kolektif. Carrefour menurut saya sangat aneh. Mc.Donald lebih aneh lagi, seaneh komunisme. Anehnya lagi, mereka menyebut manusia yang tidak seperti mereka sebagai manusia aneh. Aneh bukan?
Barat kebingungan, kering, labil karena mereka terlalu materialistis. Sebagai pelampiasan, mereka punya hobi membunuh. Indonesia juga bingung, sampai milih pemimpin saja selalu atasannya Ulil. Bahkan saking bingungnya, di Surabaya ada les sholat khusuk, yang biayanya 1,5 juta rupiah. Kiai-kiai semakin laris jualan omongan. Mario Teguh makin laris karena orang Indonesia semakin tidak teguh dan bijaksana [dalam membahagiakan atasan]. Kebingungan-kebingungan kita harus dikompensasi dengan uang. Ini murni prinsip kapitalisme, menurut saya. Prinsip kapitalisme lainnya adalah haus pujian dan takut mati.
"My roots are my destiny," kata Nelson Mandela. "My roots are skillfully-manipulated public subservience," kata SBY lewat mimpi saya tadi malam. Kita semakin kehilangan akar kepribadian dan jati diri. Sekarang kita terlalu malu untuk menengok keJawaan, keSundaan, keBetawian, keAsiaan kita, dll. Buktinya, apakah Anda tahu siapa nama kakek buyut Anda yang nomer 5 dan darimana beliau berasal? Manusia terlalu banyak tertawa sehingga ia tidak tahu mengapa ia bisa mampir ke dunia. Manusia sekarang adalah pisang goreng. Tak punya nilai intrinsik.
Tapi kita harus optimis. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar di masa lampau, dan sudah saatnya ia harus sadar dan belajar sejarah Majapahit, Sriwijaya, Sukarno, supaya punya pegangan untuk memimpin dunia yang akan segera berubah secara drastis. "Orang tidak suka belajar sejarah karena sejarah mengajarimu terlalu banyak hal," kata Chomsky, presiden anarkis Amerika. Wong mengajari banyak hal kok malah tidak dipelajari, kata saya. Sudah saatnya kita minimal bangga jadi bagian dari bangsa yang pernah dan akan berjaya. Sukur-sukur siap-siap. Bangsa Indonesia tidak akan hancur, negaranya pasti hancur, kata Cak Nun lagi. Anda boleh setuju.
Kuncinya satu: hormati gurumu sayangi teman. Dengan menghormati Guru, kita tidak kehilangan akar dan jati diri kita, karena Guru kita adalah Raden Wijaya, Gadjah Mada, Hayam Wuruk, Sunan Kalijaga, Kebo Kenongo, Sukarno, Tan Malaka, Gus Dur. Dengan menyayangi teman, kita belajar toleransi, karena teman kita berjumlah 200 suku bangsa dengan 300 bahasa dan 5 agama. Eh, 5000 agama ding. Dengan begitu kita akan menjadi bangsa yang budiman.
Tapi sudah menjadi keniscayaan sejarah, jadi tidak bisa disalahkan. Manusia semakin kehilangan kemanusiannya, dan ia menjadi sangat tergantung pada kitab-kitab pedoman itu: teknologi, fashion, teori-teori, dan tentu saja kitab suci. Manusia kebingungan karena kehilangan pegangan, kehilangan akar, kehilangan roh. Jadi kelakuan mereka semakin aneh. Semakin aneh semakin dirayakan. Buku novel psikologi populer anak muda jadi laris karena ia menuntut kita untuk menjadi aneh, tapi aneh yang kolektif. Carrefour menurut saya sangat aneh. Mc.Donald lebih aneh lagi, seaneh komunisme. Anehnya lagi, mereka menyebut manusia yang tidak seperti mereka sebagai manusia aneh. Aneh bukan?
Barat kebingungan, kering, labil karena mereka terlalu materialistis. Sebagai pelampiasan, mereka punya hobi membunuh. Indonesia juga bingung, sampai milih pemimpin saja selalu atasannya Ulil. Bahkan saking bingungnya, di Surabaya ada les sholat khusuk, yang biayanya 1,5 juta rupiah. Kiai-kiai semakin laris jualan omongan. Mario Teguh makin laris karena orang Indonesia semakin tidak teguh dan bijaksana [dalam membahagiakan atasan]. Kebingungan-kebingungan kita harus dikompensasi dengan uang. Ini murni prinsip kapitalisme, menurut saya. Prinsip kapitalisme lainnya adalah haus pujian dan takut mati.
"My roots are my destiny," kata Nelson Mandela. "My roots are skillfully-manipulated public subservience," kata SBY lewat mimpi saya tadi malam. Kita semakin kehilangan akar kepribadian dan jati diri. Sekarang kita terlalu malu untuk menengok keJawaan, keSundaan, keBetawian, keAsiaan kita, dll. Buktinya, apakah Anda tahu siapa nama kakek buyut Anda yang nomer 5 dan darimana beliau berasal? Manusia terlalu banyak tertawa sehingga ia tidak tahu mengapa ia bisa mampir ke dunia. Manusia sekarang adalah pisang goreng. Tak punya nilai intrinsik.
Tapi kita harus optimis. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar di masa lampau, dan sudah saatnya ia harus sadar dan belajar sejarah Majapahit, Sriwijaya, Sukarno, supaya punya pegangan untuk memimpin dunia yang akan segera berubah secara drastis. "Orang tidak suka belajar sejarah karena sejarah mengajarimu terlalu banyak hal," kata Chomsky, presiden anarkis Amerika. Wong mengajari banyak hal kok malah tidak dipelajari, kata saya. Sudah saatnya kita minimal bangga jadi bagian dari bangsa yang pernah dan akan berjaya. Sukur-sukur siap-siap. Bangsa Indonesia tidak akan hancur, negaranya pasti hancur, kata Cak Nun lagi. Anda boleh setuju.
Kuncinya satu: hormati gurumu sayangi teman. Dengan menghormati Guru, kita tidak kehilangan akar dan jati diri kita, karena Guru kita adalah Raden Wijaya, Gadjah Mada, Hayam Wuruk, Sunan Kalijaga, Kebo Kenongo, Sukarno, Tan Malaka, Gus Dur. Dengan menyayangi teman, kita belajar toleransi, karena teman kita berjumlah 200 suku bangsa dengan 300 bahasa dan 5 agama. Eh, 5000 agama ding. Dengan begitu kita akan menjadi bangsa yang budiman.
Sunday, January 23, 2011
Perang Salib dan Sentimen Islam-Kristen
28-29 Juni 09
Akhir abad 11, Paus Urban menyerukan Perang Salib untuk
membebaskan Kota Suci Yerusalem dari kaum Muslim. Perang tersebut menggabungkan
semangat ziarah ke Tanah Suci dan persatuan Barat (Eropa) sebagai penguasa
dunia baru saat itu serta perluasan kekuasaan Gereja Kristen Barat ke segala
penjuru Eropa dan Timur Dekat.
Tentara Salip Pertama berhasil menaklukkan Yerusalem pada
tahun 1099. Sebelumnya, terdapat gelombang kecil tentara Salip yang pernah
berusaha menuju Timur (Yerusalem), namun gagal karena mereka dibantai di
Konstantinopel oleh pasukan Turki. Sehingga cerita kekalahan yang memalukan ini
dihapus dalam sejarah, atau paling tidak, mereka disebut sebagai segerombolan
“pasukan petani yang tidak terorganisir.”
Propaganda ziarah ke Tanah Suci di Barat berhasil menyatukan
seluruh Eropa dibawah kendali Gereja Kristen Roma, dan juga berhasil menyatukan
kaum Kristen yang sebelumnya terpecah belah oleh perang antar ras Eropa
sendiri. Perang Salib dan perjalanan ke Timur menjadi pelampiasan kaum barbar
Barat agar mereka tidak saling serang sendiri. Tidak dipungkiri pula, motif
Perang Salib juga diarahkan untuk menaklukkan Byzantium (Yunani) dibawah kendali Paus.
Berabad-abad, Barat cemburu pada kebudayaan tinggi Yunani, dan tidak jarang,
Barat menyebut orang Yunani sebagai “banci pemalas.” Demikian pula, kaum Yunani
menyebut Barat (Romawi) sebagai bangsa barbar terbelakang yang tak berbudaya.
Tentara Salib pertama yang mencapai Yerusalem adalah sepasukan
besar yang terdiri atas kaum Frank, kaum barbar Barat yang terkenal kejam,
pemberani dan beberapa suku yang masih kanibal. Perjalanan berat ke Timur yang
dilakukan Tentara Salib ini sungguh sangat mengharukan. Motif awal dari
pemimpin-pemimpin pasukan adalah motif sekuler untuk memperluas kekuasaan dan
gengsi pribadi. Namun di perjalanan mereka mendapat tantangan berat, karena
mereka harus bisa bertahan di rimba dunia Muslim dengan persediaan makanan yang
semakin menipis. Sebagian besar pasukan dan peziarah meninggal karena penyakit,
kelaparan dan kelelahan selama pertempuran sepanjang jalan. Tidak sedikit dari
mereka yang memilih kabur dan menjadi desertir. Oleh karena itu, mereka
kemudian membangun mental religius bahwa perjalanan dan penaklukan ini tidak
mungkin terlaksana tanpa ada campur tangan Tuhan. Mereka menjadi tentara Tuhan,
terutama setelah mereka menemukan petujuk-petunjuk gaib yang membantu mereka
menaklukkan kerajaan Islam di sepanjang perjalanan. Dan akhirnya, sejumlah
besar lainnya (50 ribu orang) berhasil masuk dan menaklukkan Yerusalem.
Yerusalem akhirnya jatuh, namun dengan konsekuensi yang
mengerikan. 40 ribu kaum Muslim dan Yahudi di Yerusalem (dan berbagai kelompok
Kristen Timur yang di cap bid’ah di sekitarnya) dibantai habis oleh Tentara
Salib dalam dua hari, yang lain terpaksa melarikan diri. Salah satu catatan
terkenal dan mengerikan tentang pembantaian di Yerusalem, yang ditulis oleh
salah satu panglima tentara Salib, Raymund dari Aguiles, menyatakan:
“Jika kukatakan yang sebenarnya, pasti itu melampaui
kemampuan kalian untuk mempercayainya. Jadi cukuplah kukatakan bahwa paling
tidak, di Kuil Sulaiman dan berandanya, pasukan kami menungangi kuda yang
bergerak diantara genangan darah setinggi lutut dan tali kekang kuda mereka.”
(Perang Suci, hal. 290).
Tentu saja, Paus Urban kaget dan ngeri mendengar pembantaian
ini, dan meremehkan klaim kaum Frank bahwa mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang
membebaskan Kota Suci. Beliau tidak mengira bahwa seruan penaklukan Yerusalem
akan memunculkan akibat yang mengerikan. Dua minggu setelah penaklukkan
Yerusalem, Paus Urban wafat. Namun secara umum, penaklukan itu disambut hangat
oleh kaum Kristen Eropa dan Paus Paschal II. Penaklukan ini menandai munculnya
Barat sebagai kekuatan baru. Kebanggaan dan haru menyelimuti seantero Barat.
Bukan hanya mereka berhasil membebaskan Yerusalem, namun juga mereka berhasil
mengalahkan bangsa Arab dan Turki, yang memiliki kebudayaan yang lebih maju
dari mereka, yang dalam tataran tertentu membuat mereka bingung.
Di Timur, mereka membangun kerajaan Kristen baru dan
memperluas wilayah di sekitar Palestina dan Lebanon. Keberhasilan kaum Barat
ini sungguh menakjubkan. Mereka bisa bertahan hidup walaupun dikepung oleh
kerajaan-kerajaan Islam di sekelilingnya.
Namun konsekuensi ini harus dibayar mahal. Pembantaian ini
menandai sentimen permusuhan Kristen dan Islam sampai saat ini, sehingga
sejarawan Karen Armstrong menulis, “kenangan banjir darah ini akan menghalangi
persahabatan hakiki antar keduanya [Kristen dan Islam]” (hal. 292).
Walaupun kebudayaan Arab, Mesir dan Turki jauh lebih tinggi
dari peradaban kaum Frank (bahkan mereka belajar mandi dan menjaga kebersihan
secara baik setelah mereka berasimilasi dengan kebudayaan Palestina), kaum
Muslim Arab tidak serta-merta menyatakan perang terhadap kerajaan Kristen baru
di Palestina ini. Mereka belum berpikiran bahwa mereka akan memunculkan teologi
jihad melawan Pasukan Salib. Seperti halnya saat ini, kerajaan-kerajaan Islam
di Arab lebih asyik dalam permusuhan antara mereka sendiri. Mereka memilih menghindar dari peperangan dan
permasalahan serta memilih kemewahan dan kenyamanan tinggal di kerajaan mereka
sendiri, dari pada mengambil resiko untuk melawan Tentara Salib yang gagah
berani. Sehingga ketika banyak pengungsi Palestina kabur ke wilayah mereka,
cerita-cerita pembantaian yang dialami mereka hanya ditanggapi dengan remeh,
atau paling tidak, dengan ratapan dan doa bersama.
Seakan sejarah terulang, kejadian ini sangat mirip dengan
apa yang terjadi sekarang. Saat Palestina jatuh ke tangan Zionisme ekstrim
(karena sebelumnya ada dua Zionisme, Zionisme sekuler sosialisnya Ben Gurion
dan Zionisme ala Jabotinsky yang ekstrim, walau akhirnya keduanya tetap jadi religius
ekstrim karena sadar bahwa mereka cuma punya satu teman, Amerika) dan warganya
dibantai dan diusir dari tanahnya, Arab lebih memilih untuk menghindar, dan
cari aman. Bahkan mereka saling menolak menerima para pengungsi Palestina.
Mereka menghindar dan menjadikan warga pengungsi sebagai warga kelas dua dan
sebagai beban, baik beban materi karena harus memberi makan mereka, maupun
beban psikologis karena sebenarnya Arab sangat malu pada pengungsi tersebut.
Dulu dan sekarang Arab sangat susah untuk bersatu, dan itu dimanfaatkan dengan
baik oleh Tentara Salib saat itu, dan Israel saat ini.
Tapi ada satu perbedaan mendasar dari ketidakjeniusan Arab
ini. Dulu, saat Perang Salib dan Yerusalem jatuh, Arab menyia-nyiakan kesempatan
besar untuk bersatu dan melawan. Padahal kekuatan sumber daya mereka saat itu
jauh diatas kerajaan Kristen baru itu, yang secara geografis sudah terkepung
kerajaan Islam. Namun Arab saat ini,
disamping tidak bisa bersatu, kekuatan sumber daya dan peralatan perangnya
jelas kalah jauh dari Israel, yang mempunyai ratusan bom nuklir. Sungguh ironis
dan naïf.
Tidak seperti kerajaan Kristen Yerusalem saat itu, Israel
saat ini memiliki senjata nuklir, yang menjadi jaminan bagi suatu negara untuk
tidak mungkin diserang negara lain secara besar-besaran. Di “Dunia Islam” hanya
Pakistan yang memiliki senjata nuklir (50an buah). Sehingga seperti yang
dikatakan pejabat militer Israel, Iran sungguh bodoh jika tidak membangun
senjata nuklir, walau Israel sangat tidak menghendakinya[i].
Kembali ke era Perang Salib, ketidaktegasan raja-raja Arab
saat itu menimbulkan keprihatinan dari warganya. Sehingga ketika suatu wilayah
ada yang bisa menahan ekspansi atau bahkan mengalahkan Tentara Salib, mereka
dijadikan symbol kebangkitan dan perjuangan kembali kaum Muslim, walau terkesan
agak naïf. Namun titik balik terjadi pada tahun 1128 ketika Sultan Rum di Asia
Kecil menunjuk seorang komandan Turki, Imanuddin Zangi untuk memerangi pasukan
Salib. Walaupun Zangi, menurut Karen Armstrong, adalah seorang pribadi yang
tidak patut di contoh kerena ia pemabuk dan sadis seperti kebanyakan prajurit
lainnya, namun ia pemimpin pemberani dan independen. Walaupun sebenarnya ia
enggan bertempur melawan kaum Frank di Palestina, namun kemenangannya atas kota
Edessa, kota yang sebelumnya ditaklukkan kaum Frank, telah melambungkan
namanya. Pengungsi Palestina mulai membicarakan perebutan kembali Yerusalem. Di
samping itu juga, beban para khalifah di Dunia Muslim saat itu agak terobati,
karena mereka bisa lepas tanggung jawab dan lega karena tidak dituntut oleh
rakyatnya. Dengan serta merta, para khalifah memberikan gelar “pilar agama” dan
sebagainya kepada Zangi.
Pembunuhan terhadap Zangi oleh pelayannya sendiri di tahun 1146 menandai kebangkitan jihad di
Timur Dekat. Ia menjadi legenda yang sangat populer. Ia menjadi pelipur lara
bagi masyarakat Arab saat itu yang sudah malu, karena terhina dibantai dan
diusir dan karena pemimpin mereka tidak melakukan apa-apa.
Dahulu, dalam perjalanan yang berat menuju Timur, para orang
suci Kristen bermimpi bertemu para santo sehingga mereka menunjukkan jalan
kemenangan. Sebagai contoh, seorang pelayan, Peter, bermimpi bertemu St. Andrew
yang menunjukkan agar pasukan Salib menggali sebuah tombak suci kemenangan,
yang akhirnya dibawa oleh pasukan Salib sehingga berhasil menaklukkan Yerusalem.
Seperti disebutkan oleh sejarawan Islam terkenal abad 12, Izzuddin ibn
al-Atsir, salah seorang suci Muslim juga bermimpi bertemu almarhum Zangi dan
bertanya, “Bagaimanakah Allah memperlakukan kamu (di alam barzakh)?” kemudian
Zangi menjawab, “Allah telah mengampuniku, karena aku telah menaklukkan
Edessa.”
Semoga Tuhan juga mengampuni saya dan anda.
Muhamad Kebo Hidayat
Sumber utama: Karen
Armstrong, “Perang Suci,” Jakarta: Serambi, 2007. Bagian ii, bab 4 “1096-1146:
Perang Salib Menjadi Perang Suci dan Mengilhami Jihad Baru”, hal. 243-318
Subscribe to:
Posts (Atom)