28-29 Juni 09
Akhir abad 11, Paus Urban menyerukan Perang Salib untuk
membebaskan Kota Suci Yerusalem dari kaum Muslim. Perang tersebut menggabungkan
semangat ziarah ke Tanah Suci dan persatuan Barat (Eropa) sebagai penguasa
dunia baru saat itu serta perluasan kekuasaan Gereja Kristen Barat ke segala
penjuru Eropa dan Timur Dekat.
Tentara Salip Pertama berhasil menaklukkan Yerusalem pada
tahun 1099. Sebelumnya, terdapat gelombang kecil tentara Salip yang pernah
berusaha menuju Timur (Yerusalem), namun gagal karena mereka dibantai di
Konstantinopel oleh pasukan Turki. Sehingga cerita kekalahan yang memalukan ini
dihapus dalam sejarah, atau paling tidak, mereka disebut sebagai segerombolan
“pasukan petani yang tidak terorganisir.”
Propaganda ziarah ke Tanah Suci di Barat berhasil menyatukan
seluruh Eropa dibawah kendali Gereja Kristen Roma, dan juga berhasil menyatukan
kaum Kristen yang sebelumnya terpecah belah oleh perang antar ras Eropa
sendiri. Perang Salib dan perjalanan ke Timur menjadi pelampiasan kaum barbar
Barat agar mereka tidak saling serang sendiri. Tidak dipungkiri pula, motif
Perang Salib juga diarahkan untuk menaklukkan Byzantium (Yunani) dibawah kendali Paus.
Berabad-abad, Barat cemburu pada kebudayaan tinggi Yunani, dan tidak jarang,
Barat menyebut orang Yunani sebagai “banci pemalas.” Demikian pula, kaum Yunani
menyebut Barat (Romawi) sebagai bangsa barbar terbelakang yang tak berbudaya.
Tentara Salib pertama yang mencapai Yerusalem adalah sepasukan
besar yang terdiri atas kaum Frank, kaum barbar Barat yang terkenal kejam,
pemberani dan beberapa suku yang masih kanibal. Perjalanan berat ke Timur yang
dilakukan Tentara Salib ini sungguh sangat mengharukan. Motif awal dari
pemimpin-pemimpin pasukan adalah motif sekuler untuk memperluas kekuasaan dan
gengsi pribadi. Namun di perjalanan mereka mendapat tantangan berat, karena
mereka harus bisa bertahan di rimba dunia Muslim dengan persediaan makanan yang
semakin menipis. Sebagian besar pasukan dan peziarah meninggal karena penyakit,
kelaparan dan kelelahan selama pertempuran sepanjang jalan. Tidak sedikit dari
mereka yang memilih kabur dan menjadi desertir. Oleh karena itu, mereka
kemudian membangun mental religius bahwa perjalanan dan penaklukan ini tidak
mungkin terlaksana tanpa ada campur tangan Tuhan. Mereka menjadi tentara Tuhan,
terutama setelah mereka menemukan petujuk-petunjuk gaib yang membantu mereka
menaklukkan kerajaan Islam di sepanjang perjalanan. Dan akhirnya, sejumlah
besar lainnya (50 ribu orang) berhasil masuk dan menaklukkan Yerusalem.
Yerusalem akhirnya jatuh, namun dengan konsekuensi yang
mengerikan. 40 ribu kaum Muslim dan Yahudi di Yerusalem (dan berbagai kelompok
Kristen Timur yang di cap bid’ah di sekitarnya) dibantai habis oleh Tentara
Salib dalam dua hari, yang lain terpaksa melarikan diri. Salah satu catatan
terkenal dan mengerikan tentang pembantaian di Yerusalem, yang ditulis oleh
salah satu panglima tentara Salib, Raymund dari Aguiles, menyatakan:
“Jika kukatakan yang sebenarnya, pasti itu melampaui
kemampuan kalian untuk mempercayainya. Jadi cukuplah kukatakan bahwa paling
tidak, di Kuil Sulaiman dan berandanya, pasukan kami menungangi kuda yang
bergerak diantara genangan darah setinggi lutut dan tali kekang kuda mereka.”
(Perang Suci, hal. 290).
Tentu saja, Paus Urban kaget dan ngeri mendengar pembantaian
ini, dan meremehkan klaim kaum Frank bahwa mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang
membebaskan Kota Suci. Beliau tidak mengira bahwa seruan penaklukan Yerusalem
akan memunculkan akibat yang mengerikan. Dua minggu setelah penaklukkan
Yerusalem, Paus Urban wafat. Namun secara umum, penaklukan itu disambut hangat
oleh kaum Kristen Eropa dan Paus Paschal II. Penaklukan ini menandai munculnya
Barat sebagai kekuatan baru. Kebanggaan dan haru menyelimuti seantero Barat.
Bukan hanya mereka berhasil membebaskan Yerusalem, namun juga mereka berhasil
mengalahkan bangsa Arab dan Turki, yang memiliki kebudayaan yang lebih maju
dari mereka, yang dalam tataran tertentu membuat mereka bingung.
Di Timur, mereka membangun kerajaan Kristen baru dan
memperluas wilayah di sekitar Palestina dan Lebanon. Keberhasilan kaum Barat
ini sungguh menakjubkan. Mereka bisa bertahan hidup walaupun dikepung oleh
kerajaan-kerajaan Islam di sekelilingnya.
Namun konsekuensi ini harus dibayar mahal. Pembantaian ini
menandai sentimen permusuhan Kristen dan Islam sampai saat ini, sehingga
sejarawan Karen Armstrong menulis, “kenangan banjir darah ini akan menghalangi
persahabatan hakiki antar keduanya [Kristen dan Islam]” (hal. 292).
Walaupun kebudayaan Arab, Mesir dan Turki jauh lebih tinggi
dari peradaban kaum Frank (bahkan mereka belajar mandi dan menjaga kebersihan
secara baik setelah mereka berasimilasi dengan kebudayaan Palestina), kaum
Muslim Arab tidak serta-merta menyatakan perang terhadap kerajaan Kristen baru
di Palestina ini. Mereka belum berpikiran bahwa mereka akan memunculkan teologi
jihad melawan Pasukan Salib. Seperti halnya saat ini, kerajaan-kerajaan Islam
di Arab lebih asyik dalam permusuhan antara mereka sendiri. Mereka memilih menghindar dari peperangan dan
permasalahan serta memilih kemewahan dan kenyamanan tinggal di kerajaan mereka
sendiri, dari pada mengambil resiko untuk melawan Tentara Salib yang gagah
berani. Sehingga ketika banyak pengungsi Palestina kabur ke wilayah mereka,
cerita-cerita pembantaian yang dialami mereka hanya ditanggapi dengan remeh,
atau paling tidak, dengan ratapan dan doa bersama.
Seakan sejarah terulang, kejadian ini sangat mirip dengan
apa yang terjadi sekarang. Saat Palestina jatuh ke tangan Zionisme ekstrim
(karena sebelumnya ada dua Zionisme, Zionisme sekuler sosialisnya Ben Gurion
dan Zionisme ala Jabotinsky yang ekstrim, walau akhirnya keduanya tetap jadi religius
ekstrim karena sadar bahwa mereka cuma punya satu teman, Amerika) dan warganya
dibantai dan diusir dari tanahnya, Arab lebih memilih untuk menghindar, dan
cari aman. Bahkan mereka saling menolak menerima para pengungsi Palestina.
Mereka menghindar dan menjadikan warga pengungsi sebagai warga kelas dua dan
sebagai beban, baik beban materi karena harus memberi makan mereka, maupun
beban psikologis karena sebenarnya Arab sangat malu pada pengungsi tersebut.
Dulu dan sekarang Arab sangat susah untuk bersatu, dan itu dimanfaatkan dengan
baik oleh Tentara Salib saat itu, dan Israel saat ini.
Tapi ada satu perbedaan mendasar dari ketidakjeniusan Arab
ini. Dulu, saat Perang Salib dan Yerusalem jatuh, Arab menyia-nyiakan kesempatan
besar untuk bersatu dan melawan. Padahal kekuatan sumber daya mereka saat itu
jauh diatas kerajaan Kristen baru itu, yang secara geografis sudah terkepung
kerajaan Islam. Namun Arab saat ini,
disamping tidak bisa bersatu, kekuatan sumber daya dan peralatan perangnya
jelas kalah jauh dari Israel, yang mempunyai ratusan bom nuklir. Sungguh ironis
dan naïf.
Tidak seperti kerajaan Kristen Yerusalem saat itu, Israel
saat ini memiliki senjata nuklir, yang menjadi jaminan bagi suatu negara untuk
tidak mungkin diserang negara lain secara besar-besaran. Di “Dunia Islam” hanya
Pakistan yang memiliki senjata nuklir (50an buah). Sehingga seperti yang
dikatakan pejabat militer Israel, Iran sungguh bodoh jika tidak membangun
senjata nuklir, walau Israel sangat tidak menghendakinya[i].
Kembali ke era Perang Salib, ketidaktegasan raja-raja Arab
saat itu menimbulkan keprihatinan dari warganya. Sehingga ketika suatu wilayah
ada yang bisa menahan ekspansi atau bahkan mengalahkan Tentara Salib, mereka
dijadikan symbol kebangkitan dan perjuangan kembali kaum Muslim, walau terkesan
agak naïf. Namun titik balik terjadi pada tahun 1128 ketika Sultan Rum di Asia
Kecil menunjuk seorang komandan Turki, Imanuddin Zangi untuk memerangi pasukan
Salib. Walaupun Zangi, menurut Karen Armstrong, adalah seorang pribadi yang
tidak patut di contoh kerena ia pemabuk dan sadis seperti kebanyakan prajurit
lainnya, namun ia pemimpin pemberani dan independen. Walaupun sebenarnya ia
enggan bertempur melawan kaum Frank di Palestina, namun kemenangannya atas kota
Edessa, kota yang sebelumnya ditaklukkan kaum Frank, telah melambungkan
namanya. Pengungsi Palestina mulai membicarakan perebutan kembali Yerusalem. Di
samping itu juga, beban para khalifah di Dunia Muslim saat itu agak terobati,
karena mereka bisa lepas tanggung jawab dan lega karena tidak dituntut oleh
rakyatnya. Dengan serta merta, para khalifah memberikan gelar “pilar agama” dan
sebagainya kepada Zangi.
Pembunuhan terhadap Zangi oleh pelayannya sendiri di tahun 1146 menandai kebangkitan jihad di
Timur Dekat. Ia menjadi legenda yang sangat populer. Ia menjadi pelipur lara
bagi masyarakat Arab saat itu yang sudah malu, karena terhina dibantai dan
diusir dan karena pemimpin mereka tidak melakukan apa-apa.
Dahulu, dalam perjalanan yang berat menuju Timur, para orang
suci Kristen bermimpi bertemu para santo sehingga mereka menunjukkan jalan
kemenangan. Sebagai contoh, seorang pelayan, Peter, bermimpi bertemu St. Andrew
yang menunjukkan agar pasukan Salib menggali sebuah tombak suci kemenangan,
yang akhirnya dibawa oleh pasukan Salib sehingga berhasil menaklukkan Yerusalem.
Seperti disebutkan oleh sejarawan Islam terkenal abad 12, Izzuddin ibn
al-Atsir, salah seorang suci Muslim juga bermimpi bertemu almarhum Zangi dan
bertanya, “Bagaimanakah Allah memperlakukan kamu (di alam barzakh)?” kemudian
Zangi menjawab, “Allah telah mengampuniku, karena aku telah menaklukkan
Edessa.”
Semoga Tuhan juga mengampuni saya dan anda.
Muhamad Kebo Hidayat
Sumber utama: Karen
Armstrong, “Perang Suci,” Jakarta: Serambi, 2007. Bagian ii, bab 4 “1096-1146:
Perang Salib Menjadi Perang Suci dan Mengilhami Jihad Baru”, hal. 243-318