(18 Juni 2011)
(Refleksi pribadi yang penuh subjektifitas, kejanggalan,
ambiguitas, non-akademik, non-EYD, non-demokratis, non-post etc., akibat
kekerdilan mental, spiritual, intelektual)
Pendidikan formal adalah sarana indoktrinasi dan hegemoni semua
pemerintah atau penguasa dalam usahanya untuk melangsungkan dan
menyelenggarakan sistem (entah kapitalisme, sosialisme, komunisme, atau
fasisme). Tidak ada pendidikan yang tidak ideologis. Kurikulum menjadi alat
sensor mental, spiritual, intelektual, untuk memagari dan menjamin ketidaktumbuhan
pandangan-pandangan “kritis” alamiah manusia. Setelah era Pencerahan Barat
(karena pada masa kegelapan Barat, Islam sudah melalui masa pencerahan) dan rasionalitas
Descartes, ilmu pengetahuan mensyaratkan rasionalisme dalam setiap cabang ilmu.
Hanya yang masuk akal dan bisa dibuktikan (disepakati bersama) dapat masuk ke
ranah keilmuan. Lainnya, masuk dalam kategori teologi.
Ketika ilmu pasti dari masa ke masa semakin maju karena
pembuktian secara empiris semakin bersesuaian dengan teori-teori, tidak
demikian dengan ilmu sosial (ilmu politik, pemerintahan, sejarah, psikologi
dll.). Ilmu sosial, yang mencoba meraba dan merumuskan kecenderungan-kecenderungan
perilaku manusia dalam kurun sejarah, tidak semakin berkembang menuju suatu
titik yang bisa disepakati bersama demi kebaikan manusia, malahan eksesnya
semakin merugikan; memecah-belah. Ideologi satu bisa berbenturan dengan ideologi
lainnya. Dan ketika sekelompok manusia mencoba memberikan alternatif, entah itu
namanya Green ini atau Green itu, atau post-ini, post-itu, mereka bisa jadi menciptakan
kutup-kutup baru yang siap meledak dan menghamburkan energi-energi destruktif
yang tidak menyelamatkan manusia. Itulah mengapa masuk akal saja tidak cukup.
Manusia, tidak seperti makhluk lainnya, dianugerahi senjata
yang luar biasa: akal. Dengan akal itulah manusia seharusnya mampu sedikit demi
sedikit mengurai simpul-simpul rahasia alam, manusia dan kemanusiaannya. Dengan
akal dan rasio, manusia seharusnya mampu memilih mana yang baik bagi diri dan
peradabannya. Dengan akal itulah manusia mampu mengakali.
Di ranah ilmu pasti (matematika, fisika, kimia, astronomi,
dll.), hasil olah pikiran manusia mampu kita cerna dan rasakan kemanfaatannya
secara langsung: pesawat terbang, pesawat televisi, pesawat telepon, pesawat
tempur. Dalam ilmu pasti ini pula, akal benar-benar distimulasi, didorong, dan
didesak untuk terus-menerus kritis, karena tujuannya adalah menemukan sebuah
teori universal yang mampu menjelaskan seluruh rahasia alam. Ilmuwan-ilmuwan dituntut
untuk selalu memperbaharui teori dan penemuannya. Teori Aristoteles dan Ptolemeus
tentang bumi sebagai pusat tata surya diperbaharui dengan teori Copernicus yang
menyatakan bahwa Matahari adalah pusat tata surya kita. Teori Copernicus diolah
kembali oleh Kepler dan Galieo yang menyebutkan bahwa orbit Bumi bukanlah
berbentuk lingkaran penuh seperti kata Copernicus, melainkan elips. Teori Kepler
dan Galileo tersebut kembali disempurnakan oleh Newton yang menyebutkan bahwa setiap
benda berada dalam keadaan statis kecuali ada gaya yang bekerja padanya, atau
yang terkenal dengan gaya gravitasi. Masih lagi, teori Newton diperbaharui lagi
dengan teori Relativitas Einstein yang menolak teori Newton yang hanya benar
ketika orang yang melakukan pengukuran berdiri pada kondisi statis, tidak
bergerak pada suatu koordinat ruang yang tetap. Einstein menganggap bahwa
kondisi statis itu tidak dimungkinkan karena alam semesta dan galaksi
senantiasa bergerak mengembang, dan oleh karena itu hasil pengukuran satu
pengamat dengan yang lainnya pasti berbeda atau relatif. Setiap orang memiliki
konsep ruang-waktu sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Relatif. Dan hebatnya,
pencarian ini belum berakhir.
Bagaimana dengan ilmu sosial?
Dilihat dari tren sejarah, seakan-akan akal manusia belum
dioptimalkan untuk mencerna dan merumuskan gejala-gejala sosial demi
kemaslahatan spesies manusia sendiri. Ketika para ilmuwan astrofisika mulai
menyempurnakan relativitas dengan mencari persesuaiannya dengan teori Quantum
Mekanik, ilmuwan-ilmuwan sosial, ulama-ulama sosial, raja sosial, politisi
sosial, mahasiswa sosial, dan Cinta Laura c.s. seakan-akan ngotot, ndeprok pada
posisi koordinat statisnya. Bunga rasionalitas yang merekah pada era awal Pencerahan
Barat seakan-akan semakin layu dan membusuk pada dimensi keilmuan sosial. Yang
komunis tidak rela komunisme hilang, yang kapitalis tidak rela kapitalisme runtuh,
fasisme masih saja mengintai di Israel, imperialisme dan kolonialisme semakin
menemukan bentuk kestabilan lewat cakar-cakar modal asing, oligarki tidak
kunjung terurai di semenanjung Arab. Perang dan pembunuhan masal dari masa ke
masa masih saja terjadi, dan bahkan semakin canggih. Demokrasi dengan keliaran
dan kebingungannya dianggap sebagai terminal terakhir pengolahan akal pikir
manusia secara sosial. Teori evolusi jelas tidak berlaku dalam konteks sosial
dan moral.
Manusia-manusia produk pendidikan yang tidak memupuk
kreativitas akal menjadi semakin kebingungan dalam menentukan pijakan dan
orientasinya. Pendidikan memaksakan kedisiplinan dan kompetisi karena keduanya
adalah cara yang paling efektif bagi penguasa untuk mengatur masyarakat dan
memutus kreativitas pemikiran. Ekses paling mengerikan dari seluruh proses
pendidikan ini adalah ketika manusia mampu menyensor dirinya sendiri. Wacana-wacana
kritis menjadi tabu untuk saling diperbincangkan, kekejaman-kekejaman menjadi umum
untuk terlewat begitu saja, sensitivitas dan solidaritas sesama manusia
mengering seiring ketidak-pedulian pada peperangan, pembunuhan, bencana dan
penderitaan orang lain. Semua mampu menyensor dirinya sendiri. Manusia-manusia
runtuh derajatnya menjadi sekedar zombi-zombi dan kuntilanak-kuntilanak yang menjadi
tentara pabrik dan gedung-gedung bertingkat.
Zombi-kuntilanak tersebut seolah-olah mengalami kemandegan
akal. Ia tidak mampu lagi memanifestasikan kodratnya sebagai manusia untuk mengolah
akal demi kelangsungan peradabannya sendiri. Karena tidak mampu lagi untuk mengolah
akal di ranah ilmu sosial, apalagi di ilmu pasti, mereka berbondong-bondong
hijrah ke ranah non-rasional, non-ilmiah, non-akademis, yang tidak membutuhkan
terlalu banyak olah pikiran, yang tidak melelahkan, yaitu ranah teologi. Itulah
mengapa iPhone, iPad, fashion, musik, budaya pop, pornografi, seks, korupsi dan
kombinasinya menjadi tuhan-tuhan baru yang laris. Persoalan memilih membeli
Blackberry bisa masuk ranah teologi karena kebanyakan tidak memerlukan upaya
kreatif dari otak dan akal kita. Agama menjadi sangat murah dan beraneka ragam,
dari Mc.Donald sampai payudara silikon. Manusia menjadi semakin tidak rasional
dan diselimuti takhayul-takhayul iPhone dan demokrasi. Singkatnya, manusia
semakin mendekati syirik.
Karena kebebalan ini semakin memuncak dan menghancurkan,
mari kita kembali pada rasionalitas dan fakta-fakta. Tidak ada salahnya kita
berkenalan dengan jin, setan, tuyul, dupa, sesaji, Muhammad, dan malaikat.
Sumber: Noam Chomsky, Chris Hedges, Muhammad Ainun Nadjib, Stephen Hawking