8 September 2011
Darwin mengatakan bahwa semua tumbuhan
berbunga berasal dari tumbuhan tidak berbunga dan manusia berasal dari
kera, walaupun seperti yang ia duga, gagasan ini belum bisa dibuktikan
karena sampai detik ini belum ditemukan fosil transisi (missing link)
antara tumbuhan tidak berbunga-tumbuhan bunga dan antara kera berjalan
tegak dan manusia. Tapi karena teori evolusi sudah terlanjur menjadi
ideologi di kalangan akademisi dan ilmuwan, semua bukti yang tidak
sesuai menjadi tidak ilmiah dan bukan sebuah ilmu pengetahuan. Jadi
jangan marah jika Mocopat tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan.
Uniformitarianisme
menyatakan bahwa alam semesta (Bumi, bintang, dan triliunan galaksi
beserta keharmonisan gaya gravitasi antar mereka) terbentuk lewat proses
teratur, gradual, regular, matematis, dan dalam tempo yang sangat lama,
entah diawali dengan Big Bang-nya Einstein atau memang sudah ada dengan
sendirinya, seperti yang ingin dibuktikan Stephen Hawking. Namun,
ternyata banyak sekali ketidak teraturan dan bencana-bencana selestial
yang ikut membentuk tatanan alam semesta sampai saat ini.
Immanuel
Velikovsky, seorang fisikawan dan psikoanalis Yahudi Rusia, misalnya,
pada 1950an mengemukakan gagasan bahwa Bumi menjadi seperti ini bukan
karena proses teratur dan panjang dari evolusi, melainkan melewati
berbagai bentuk bencana besar yang sebenarnya sudah tercatat dalam
mitos-mitos, legenda dan cerita di semua kebudayaan tua di Bumi (ia
menyebut Israel, India, Yunani salah satunya). Pendiri Hebrew University
of Jerusalem ini mengemukakan dalam buku best-sellingnya “Worlds of
Collision” bahwa keadaan alam semesta saat ini sangat dipengaruhi oleh
gaya elektromagnetik yang mengganggu kestabilan gaya gravitasi. Gaya
elektromagnetik tersebut tercipta dari berbagai ledakan-ledakan bintang
(supernova) dan tabrakan galaksi yang memang sering terjadi di alam
semesta.
Velikovsky, yang juga teman Einstein, mengatakan
bahwa Bumi pernah mengalami bencana alam dengan skala yang sangat hebat.
Ini dibuktikan dengan kepunahan berbagai spesies hewan secara
tiba-tiba, bukan dalam waktu yang lama seperti kata Darwin. Ia
mengatakan, peradaban yang ditemukan di gua-gua bukanlah peradaban
manusia primitif, melainkan karena mereka mengungsi dari bencana global
yang saat itu terjadi. Contoh lain, banjir bandang di era Nabi Nuh yang
dicatat dalam sejarah berbagai bangsa, terjadi bukan akibat mencairnya
es di kutub, namun akibat paparan radiasi dari ledakan bintang/planet
(supernova) yang dekat dengan Bumi kita, yang memicu tsunami besar dan
ledakan ribuan gunung api yang menyapu dan menenggelamkan berbagai
peradaban manusia, serta merubah wajah bumi secara signifikan.
Velikovsky
juga mengatakan bahwa planet Venus (yang orbitnya berlawanan dengan
planet lain, yang materi penyusunnya paling berbeda dengan planet lain,
dan yang ternyata memiliki jejak ekor yang panjangnya 45 juta kilometer
yang terekam dari Satelit SOHO pada 1997) dahulunya adalah sebuah komet
raksasa yang selalu menghantui nenek moyang kita (sehingga disimbolkan
sebagai Dewi atau Bintang Berambut Panjang dalam mitologi Yunani, dan
Naga yang menelan Bumi dalam budaya Cina). “Komet” Venus pernah
menciptakan radiasi luar biasa di Bumi dan menyebabkan Eksodus
besar-besaran umat manusia pada 1500 tahun sebelum masehi seperti di
catat dalam Injil. Bencana global ini lumayan sering terjadi, dan
menjadi sebab terpisahnya kepulauan Inggris dari benua Eropa yang
terjadi baru 6000 tahun yang lalu.
Dalam buku “Earth Under
Fire,” Dr. Paul LaViolette juga mengemukakan bukti bahwa debu kosmik
dengan konsentrasi tinggi (Iridium) yang ditemukan dibawah lapisan es di
Greenland merupakan materi yang sangat langka di Bumi, namun sangat
banyak di luar angkasa. Ternyata, Iridium ini berasal dari supernova
yang terjadi 11 ribu tahun yang lalu dan mengakibatkan bumi menyala
karena terpapar radiasi, gunung-gunung berapi bermunculan, tsunami maha
dahsyat menyapu Atlantis, dan kerak bumi bergeser membentuk benua-benua
baru. Debu-debu bintang ini juga terperangkap oleh gravitasi dan
sekarang menjadi materi pada cincin planet Saturnus.
Supernova-supernova
yang sering terjadi mungkin tidak terlalu memberikan pengaruh di level
alam semesta (beberapa minggu yang lalu NASA mempublikasikan gambar
tabrakan galaksi yang jaraknya triliuan triliunan triliunan tahun cahaya
dari Bumi). Namun, ia akan memberikan efek luar biasa pada
planet-planet dan tata surya didekatnya, karena serpihan-serpihan
bintang yang beterbangan dan radiasi akibat ledakan tersebut mampu
mengganggu gaya gravitasi antar planet dan antar bintang, merubah kutup
planet-planet, atau bahkan ikut menghancurkan planet-planet kecil di
sekelilingnya.
Kosmologi Aristoteles yang dibangun selama
beberapa millennium “runtuh” dan terlupakan oleh munculnya teori evolusi
di tahun 1800an. Walau teori evolusi telah menjadi ideologi di kalangan
akademis, pertanyaannya seharusnya, “Kita harus meneliti alam ini
sebagaimana adanya, bukan sebagaimana kita [Darwin cs.] mau.” Celakanya,
bagaimana jika keadaan Bumi yang masih adem ayem selama beberapa ribu
tahun terakhir ini ternyata cuma keberuntungan belaka, karena
bintang-bintang di dekat kita belum meledak?
Sumber: Douglas Kenyon (Ed.), “Forbidden History,” 2005
Kebanyakan dari kita saat ini sedang nyasar di Hollywood. Padahal Hollywood itu luar negeri.
Thursday, December 8, 2011
Secular Professionalism
17 Juli 2011
Don Vito Corleone dalam The Godfather adalah sosok yang sangat setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bisnisnya. Sebagai kepala keluarga, cintanya kepada anak-anaknya begitu besar, terutama kepada Michael Corleone, dan ia selalu siap melindungi keluarganya dari serangan musuh-musuhnya. Ia adalah sosok yang penyayang dan religius di satu sisi. Namun di sisi lain, Don Corleone tetaplah seorang bos mafia yang sangat ditakuti, kejam dan berpengaruh, yang tak segan-segan membunuh, menerkam lawan-lawan bisnisnya dan siapa saja yang menghalangi jalannya. Nyawa manusia tidak terlalu berharga demi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Tak terhitung nyawa yang telah melayang, entah dari pengikutnya maupun musuh-musuhnya.
Belajar dari trilogi The Godfather tersebut, rasa-rasanya dualisme sosok Don Corleone mudah sekali kita temukan dimana-mana, terutama di dunia kerja, bisnis, politik, dan pendidikan. Di satu sisi, seorang koruptor kelas kakap yang sering muncul di layar televisi bisa jadi seorang ibu/ayah yang baik hati, penyayang, tanggung jawab dan religius di lingkungan keluarganya. Namanya bisa saja Muhammad ini atau Robertus itu. Seorang professor atau rektor terkenal yang menolak anak-anak kere masuk ke universitasnya bisa jadi seorang yang sangat diagungkan oleh keluarga, sangat dicintai anak-anak dan tetangganya, dan seorang haji mabrur. Seorang presiden atau petinggi parpol yang menikmati fasilitas hidup super mewah dengan uang rakyat dan uang Amerika bisa jadi seorang simbol, ikon panutan dalam keluarga besarnya. Atau mungkin seorang wakil presiden, atau seorang ekonom yang mendahulukan kepentingan para investor, banker, pemilik saham, korporasi asing, dan yang selalu sibuk dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, dan tidak tahu kalau tetangganya memeras darah setiap hari demi menyekolahkan anaknya, bisa jadi seorang yang begitu romantis dan dicintai oleh istri dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang seharian sibuk bersaing, berkompetisi, berperang dengan pegawai lainnya, santet sana santet sini demi karir dan kemajuan perusahaan tambang batu baranya, akan pulang membawa sejuta harapan bagi anak-istrinya. Ia akan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka, seperti Don Vito, bekerja keras secara professional dan “rasional” demi keluarganya.
Dalam galaksi kapitalisme ini, profesionalisme dan rasionalisme adalah dua keyakinan yang wajib dianut oleh setiap warga negara; profesional berarti bekerja keras dan mendahulukan kepentingan dan kemajuan perusahaan atau partai, bagaimana memberikan servis terbaik di depan direktur dan manajer, lewat manipulasi-manipulasi penampilan dan kerja keras. Sedangkan rasional berarti berusaha memaksimalkan profit dengan cost yang seminimum mungkin, lewat tempo yang sesingkat mungkin. Profesionalisme wajib menampakkan, mengolah dan memaksimalkan sisi manusia kita yang artifisial. Hati, solidaritas, kasih sayang, ketulusan, cinta, dharma, akhlak, budi, kejujuran, serta agama dan Tuhan mohon ditinggal di rumah.
Secular professionalism [yo ben, iki teoriku dhewe] ini adalah poros dari roda kapitalisme dan demokrasi secara keseluruhan. Tanpa itu, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mungkin berjalan. Sedangkan prinsip yang berperan sebagai kemudi adalah “rasionalitas” itu tadi, ditambah prinsip haus pujian-takut mati. Padahal yang harus dipertanyakan adalah “rational in relation to what?” Apakah global warming, eksploitasi hutan berlebihan, polusi, perang rebutan minyak, dan semua akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan demokrasi-kapitalisme tersebut rasional? Belum akibat lain: kekejaman, kebingungan, degradasi moral, pornografi dll. Mungkin rasional dalam lingkup yang sempit.
Seorang direktur korporasi besar yang memeras tenaga para buruh outsourcingnya bisa jadi seorang yang paling baik yang pernah anda kenal secara personal, kata eyang Chomsky. Atau seorang bupati atau lurah koruptor mungkin saja adalah seorang yang paling penyayang dalam keluarga. Namun di lingkup institusi, perusahaan, bisnis, dan politik, mereka bisa jadi seorang yang kejam dan keras seperti Don Corleone si bos mafia. Masih mending jadi Don Corleone, karena mafia yang sejati adalah para politisi dan pemimpin kita, karena demi mempertahankan rasionalitas yang ia anut, 200 juta rakyat bisa sengsara mendadak, bahkan mati tanpa jejak.
Tidak hanya dalam demokrasi-kapitalisme secara umum, dalam sistem politik dan pemerintahan lainnya, seperti komunisme Soviet, fasisme Israel dan Nazi, dan kerajaan Saudi Arabia atau bahkan Vatikan, profesionalisme sekuler bisa jadi menjadi praktik dan roda sistem mereka masing-masing. Mereka bisa jadi seorang Komunis, Yahudi, Islam atau Katholik yang sangat religious dan total di lingkup spiritual, namun di lingkup bisnis dan keuangan, mereka bisa jadi seorang sekuler sejati: maksimalkan profit dengan modal sekecil-kecilnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Israel, Arab Saudi dan Vatikan malah agak mencolok karena mereka sama-sama punya duit banyak lewat bisnis yang menurut standar MUI agak abu-abu.
Solusi yang ditawarkan untuk meringankan problem peradaban ini mungkin agak kolot, old-school dan tidak seksi. Semua ketidak masuk akalan ini terjadi karena tindakan manusia belum dipantulkan pada dimensi yang lebih luas, misalnya, baik-buruk, halal-haram, manusia-Tuhan, atau mungkin dunia-akhirat, menurut Cak Nun. Rasio kita terlalu sempit dan dipaksa-paksakan, dan hati dimati-matikan, sehingga manusia sering bingung. Dan ketika kebingungannya memuncak, manusia memunculkan teori absurditas, karena sudah mentok pemahamannya. Semuanya jadi absurd dan membingungkan, dan di sisi lain, tidak berubah lebih baik.
Profesionalisme sekuler lumayan berbahaya karena selalu megancam keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan bumi, dan manusia dengan jin dan malaikat. Ia menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus karena selalu menciptakan musuh. Beranikah kita membayangkan keharmonisan, cinta kasih, ketulusan kita kepada keluarga dan orang tua kita, menular ke bank-bank, perusahaan-perusahaan, pabrik, kantor, dan istana negara tempat kita bekerja? Kalau tidak, siap-siap saja bertemu dan menjadi keturunan dari Don Vito, Don Michael, Don Vincent Corleone atau Don SBY dan Don Budiono, dan mewarisi kebingungan-kebingungan mereka?
Muhamad Kebo
Don Vito Corleone dalam The Godfather adalah sosok yang sangat setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bisnisnya. Sebagai kepala keluarga, cintanya kepada anak-anaknya begitu besar, terutama kepada Michael Corleone, dan ia selalu siap melindungi keluarganya dari serangan musuh-musuhnya. Ia adalah sosok yang penyayang dan religius di satu sisi. Namun di sisi lain, Don Corleone tetaplah seorang bos mafia yang sangat ditakuti, kejam dan berpengaruh, yang tak segan-segan membunuh, menerkam lawan-lawan bisnisnya dan siapa saja yang menghalangi jalannya. Nyawa manusia tidak terlalu berharga demi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Tak terhitung nyawa yang telah melayang, entah dari pengikutnya maupun musuh-musuhnya.
Belajar dari trilogi The Godfather tersebut, rasa-rasanya dualisme sosok Don Corleone mudah sekali kita temukan dimana-mana, terutama di dunia kerja, bisnis, politik, dan pendidikan. Di satu sisi, seorang koruptor kelas kakap yang sering muncul di layar televisi bisa jadi seorang ibu/ayah yang baik hati, penyayang, tanggung jawab dan religius di lingkungan keluarganya. Namanya bisa saja Muhammad ini atau Robertus itu. Seorang professor atau rektor terkenal yang menolak anak-anak kere masuk ke universitasnya bisa jadi seorang yang sangat diagungkan oleh keluarga, sangat dicintai anak-anak dan tetangganya, dan seorang haji mabrur. Seorang presiden atau petinggi parpol yang menikmati fasilitas hidup super mewah dengan uang rakyat dan uang Amerika bisa jadi seorang simbol, ikon panutan dalam keluarga besarnya. Atau mungkin seorang wakil presiden, atau seorang ekonom yang mendahulukan kepentingan para investor, banker, pemilik saham, korporasi asing, dan yang selalu sibuk dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, dan tidak tahu kalau tetangganya memeras darah setiap hari demi menyekolahkan anaknya, bisa jadi seorang yang begitu romantis dan dicintai oleh istri dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang seharian sibuk bersaing, berkompetisi, berperang dengan pegawai lainnya, santet sana santet sini demi karir dan kemajuan perusahaan tambang batu baranya, akan pulang membawa sejuta harapan bagi anak-istrinya. Ia akan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka, seperti Don Vito, bekerja keras secara professional dan “rasional” demi keluarganya.
Dalam galaksi kapitalisme ini, profesionalisme dan rasionalisme adalah dua keyakinan yang wajib dianut oleh setiap warga negara; profesional berarti bekerja keras dan mendahulukan kepentingan dan kemajuan perusahaan atau partai, bagaimana memberikan servis terbaik di depan direktur dan manajer, lewat manipulasi-manipulasi penampilan dan kerja keras. Sedangkan rasional berarti berusaha memaksimalkan profit dengan cost yang seminimum mungkin, lewat tempo yang sesingkat mungkin. Profesionalisme wajib menampakkan, mengolah dan memaksimalkan sisi manusia kita yang artifisial. Hati, solidaritas, kasih sayang, ketulusan, cinta, dharma, akhlak, budi, kejujuran, serta agama dan Tuhan mohon ditinggal di rumah.
Secular professionalism [yo ben, iki teoriku dhewe] ini adalah poros dari roda kapitalisme dan demokrasi secara keseluruhan. Tanpa itu, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mungkin berjalan. Sedangkan prinsip yang berperan sebagai kemudi adalah “rasionalitas” itu tadi, ditambah prinsip haus pujian-takut mati. Padahal yang harus dipertanyakan adalah “rational in relation to what?” Apakah global warming, eksploitasi hutan berlebihan, polusi, perang rebutan minyak, dan semua akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan demokrasi-kapitalisme tersebut rasional? Belum akibat lain: kekejaman, kebingungan, degradasi moral, pornografi dll. Mungkin rasional dalam lingkup yang sempit.
Seorang direktur korporasi besar yang memeras tenaga para buruh outsourcingnya bisa jadi seorang yang paling baik yang pernah anda kenal secara personal, kata eyang Chomsky. Atau seorang bupati atau lurah koruptor mungkin saja adalah seorang yang paling penyayang dalam keluarga. Namun di lingkup institusi, perusahaan, bisnis, dan politik, mereka bisa jadi seorang yang kejam dan keras seperti Don Corleone si bos mafia. Masih mending jadi Don Corleone, karena mafia yang sejati adalah para politisi dan pemimpin kita, karena demi mempertahankan rasionalitas yang ia anut, 200 juta rakyat bisa sengsara mendadak, bahkan mati tanpa jejak.
Tidak hanya dalam demokrasi-kapitalisme secara umum, dalam sistem politik dan pemerintahan lainnya, seperti komunisme Soviet, fasisme Israel dan Nazi, dan kerajaan Saudi Arabia atau bahkan Vatikan, profesionalisme sekuler bisa jadi menjadi praktik dan roda sistem mereka masing-masing. Mereka bisa jadi seorang Komunis, Yahudi, Islam atau Katholik yang sangat religious dan total di lingkup spiritual, namun di lingkup bisnis dan keuangan, mereka bisa jadi seorang sekuler sejati: maksimalkan profit dengan modal sekecil-kecilnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Israel, Arab Saudi dan Vatikan malah agak mencolok karena mereka sama-sama punya duit banyak lewat bisnis yang menurut standar MUI agak abu-abu.
Solusi yang ditawarkan untuk meringankan problem peradaban ini mungkin agak kolot, old-school dan tidak seksi. Semua ketidak masuk akalan ini terjadi karena tindakan manusia belum dipantulkan pada dimensi yang lebih luas, misalnya, baik-buruk, halal-haram, manusia-Tuhan, atau mungkin dunia-akhirat, menurut Cak Nun. Rasio kita terlalu sempit dan dipaksa-paksakan, dan hati dimati-matikan, sehingga manusia sering bingung. Dan ketika kebingungannya memuncak, manusia memunculkan teori absurditas, karena sudah mentok pemahamannya. Semuanya jadi absurd dan membingungkan, dan di sisi lain, tidak berubah lebih baik.
Profesionalisme sekuler lumayan berbahaya karena selalu megancam keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan bumi, dan manusia dengan jin dan malaikat. Ia menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus karena selalu menciptakan musuh. Beranikah kita membayangkan keharmonisan, cinta kasih, ketulusan kita kepada keluarga dan orang tua kita, menular ke bank-bank, perusahaan-perusahaan, pabrik, kantor, dan istana negara tempat kita bekerja? Kalau tidak, siap-siap saja bertemu dan menjadi keturunan dari Don Vito, Don Michael, Don Vincent Corleone atau Don SBY dan Don Budiono, dan mewarisi kebingungan-kebingungan mereka?
Muhamad Kebo
Subscribe to:
Posts (Atom)