Friday, June 19, 2009

Barat vs. Islam

18 juni 09


Islam adalah fenomena mengerikan bagi Barat. Sejarawan, Karen Armstrong, mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang tidak dipahami Barat sampai saat ini. Kesan Islam di Barat yang tercermin dari pemberitaan-pemberitaan media di sana berakar pada prasangka-prasangka yang tertanam sejak masa pra-Perang Salip. Prasangka-prasangka tersebut menghujam dalam benak orang Barat hingga saat ini sehingga pemahaman terhadap Islam sangat sulit dicapai bagi mereka. Celakanya, banyak massyarakat “Timur” yang sudah “modern” mengadopsi prasangka-prasangka tersebut sehingga menjadi kerangka berpikir untuk kemudian menilai Islam, agama mereka sendiri.

Edward Said, filsuf Kristen Amerika kelahiran Palestina, mengatakan:

“Para akademisi yang mengambil spesialisasi tentang keislaman pun pada umumnya memperlakukan agama ini dan berbagai kebudayaannya berdasarkan khayalan atau berdasarkan kerangka ideologis yang telah ditentukan yang syarat dengan kemarahan dan prasangka, bahkan kadang-kadang dengan muak. Karena inilah, pemahaman terhadap Islam sangat sulit dicapai.” (Said, “Covering Islam,” hal. 8)

Said menambahkan, Barat sebagai simbol modernitas mereduksi Islam menjadi karakteristik-karakteristik yang sama, walaupun penampilan Islam sendiri sering kontradiktif dan pengalamannya lebih kaya dibandingkan Barat. Itulah mengapa konflik saat ini lebih cenderung dinamakan konflik “Barat vs Islam” bukan “Kristen vs Islam,” karena “Barat lebih besar dan melebihi panggung Kristen, agama utamanya” (hal. 12). Islam kemudian dipandang sebagai symbol keprimitifan dan kemunduran yang masih saja berkutat dengan agama, tanpa menilik sisi keragaman budaya, bahasa dan kekayaan sejarahnya.

Oleh karena itu, istilah “Islam” menjadi terdengar sederhana dan mudah dirujuk bagi orang Barat dan pengikutnya di Timur (termasuk orang Islam sendiri), seperti halnya orang awam merujuk istilah “demokrasi” dan konsep “Trinitas” dalam Kristen. Dengan bantuan media, Islam direduksi menjadi “terorisme,” “kekerasan,” “anti-demokrasi,” ,”kediktatoran,” “anti-kesetaraan,” dan sebagainya sebagaimana Barat abad pertengahan memunculkan prasangka Islam sebagai “agama pedang.” Tidak mengherankan, mahasiswa-mahasiswa dan sarjana-sarjana Islam yang berpendidikan Barat saat ini akan merasa ketakutan dengan istilah “Islam” sendiri. Disatu sisi Islam adalah identitasnya, tapi disisi lain ia disangkal dengan dalih modernitas dan semangat pencerahan dan rasionalitas Barat.

Karakteristik-karakteristik dan prasangka-prasangka kuno tersebut mendapatkan momen untuk dimunculkan kembali pada tahun 1974, saat harga minyak di OPEC naik tajam (hingga lebih dari USD 100 per barrel pada kurs saat itu). Barat khawatir Islam yang “primitif" ini akan menguasai dunia dengan mempermainkan harga minyak. Kita ketahui sebagian besar cadangan minyak dunia ada di area sekitar Teluk Persia dan semuanya dikuasai negara Islam. Barat takut industrinya akan hancur karena ketergantungannya dengan minyak “Islam.”

Oleh karena itu, Barat terpaksa berusaha memasukkan “Islam” dalam kajian-kajian akademik di universitas-universitas di segala penjuru dunia Barat. Bukan untuk memahami Islam secara utuh, namun untuk mengantisipasi rivalitas dunia muslim dalam kancah dunia, dan untuk menghegemoni Dunia Islam dengan pengetahuan yang serba Barat, bahkan pengetahuan tentang Islam sendiri. Sehingga, Barat memiliki agen intelektual di Barat sendiri dan di Timur yang siap menerima dan menyebarkan karakteristik simplistik “Islam” yang secara tidak langsung memperlama hegemoni Barat sendiri.

Sehingga kesimpulannya, walaupaun prasangka-prasangka orang Barat Eropa terhadap Islam berawal pada masa-masa kejayaan Islam dan sebelum Perang Salip di abad 11, Dunia Islam secara politis diperhitungkan oleh Barat modern baru pada pertengahan tahun 70an abad 20. Masa ini, yang belum begitu lama, menandai munculnya kebijakan-kebijakan politik Barat (Amerika dan Eropa) terhadap Islam dan Dunia Islam.

Kajian-kajian Islam saat ini di Barat tentu sangat berguna bagi pemerintah Barat untuk membuat kebijakan politik terhadap Dunia Muslim, termasuk kebijakan untuk berperang. Pencitraan “Islam” oleh Barat disebarkan oleh media mainstream yang selalu berkiblat ke Barat. Salah satu media pencitraan “Islam” saat ini, dan sangat efektif dalam mempengaruhi pemikiran awam masyarakat, adalah film-film Hollywood. Hampir nihil, Islam dicitrakan secara positive dalam film-film keluaran Hollywood. Hollywood tidak jarang berafiliasi dengan Pentagon untuk membuat film-film perang yang keren yang menyudutkan Islam dan Dunia Muslim untuk membentuk perspektif yang harus negative atas Islam.

Sebagai contoh, film Hollywood yang belum terlalu lama, berjudul “Superbad,” yang didalamnya menyebutkan bahwa nama seorang karakter “McLovin” adalah nama yang “sangat aneh, seaneh nama ‘Muhammad’” (saya curiga nama karakter “McLovin” berkonotasi “making love” atau berhubungan sex). Atau film terkenal garapan Steven Spielberg berjudul “Munich” yang mengangkat wacana tentang Palestina hanya dalam dua setengah menit, dari durasi film 167 menit, seperti diberitakan oleh jurnalis Australia, John Pilger. Walaupun isu yang diangkat dalam film ini sangat kental dengan isu konflik Israel-Palestina, film “Munich” ini lebih mudah untuk di interpretasikan sebagai film yang dibiayai korporasi Barat untuk mendukung kebijakan Israel. Anda boleh kaget karena ada ratusan judul film Hollywood lain yang mencirtrakan Islam secara negative, dan itu bukan tidak disengaja.

Islam menjadi sangat mengerikan bagi Barat dan sebagian orang Timur sendiri. Bagi mereka yang berpandangan sekuler di Barat, menurut sejarawan dan analis politik, Tariq Ali, ada dua ancaman terbesar Barat yang bisa meruntuhkan eksistensi inti dari peradaban manusia: “Islam dan Konfusianisme”, yang bila diterjemahkan dalam bahasa mereka menjadi “minyak dan ekspor barang Cina” (Ali, “The Clash of Fundamentalisms,” hal. 273). Terlepas dari pandangan sekuler, politis dan realistis, ada motivasi religius yang mempekaya serta memperrumit konflik Barat vs Islam saat ini. Motivasi ini berasal dari prasangka-prasangka kuno yang berasal dari semangat religius tiga agama besar, Yahudi, Kristen, dan Islam. Motivasi religius yang lebih hebat dan seakan-akan natural ini, jika Tuhan mengijinkan, semoga bisa dibahas dalam tulisan selanjutnya.

Muhamad Hidayat

(seri tulisan dinas)

Sumber utama:

  1. Edward Said, “Covering Islam: Bias Liputan Barat Atas Dunia Islam.” Yogya: Ikon. 2002.

  2. Karen Armstrong, “Perang Suci: Dari Perang Salip Hingga Perang Teluk.” Jakarta: Serambi. 2007. Bagian 1, hal. 27-240.

  3. John Pilger, “Hollywood’s New Censors.” Dalam jurnal bulanan COLDTYPE edisi Maret 2009, dapat di download di www.coldtype.net

Sumber lanjutan:

  1. Tariq Ali, “The Clash of Fundamentalisms.” New York: Verso. 2002.

  2. Film dokumenter “Operation Hollywood”, dapat di lihat (atau di curi) di Google Video atau You Tube.

  3. Edward Said, “Orientalism.” New York: Vintage Books. 1979.

  4. Untuk anda yang beruntung bisa bahasa inggris silakan baca artikel dan analisis independen oleh analis terkemuka di www.informationclearinghouse.info dan lihat daftar film dokumenternya, atau subscribe / berlangganan untuk mendapatkan up-date berita alternative setiap hari, gratis. Bagi yang kebacut bisa bahasa Indonesia, silakan baca saya (www.enunggling.multiply.com atau www.altermedianet.blogspot.com ). Sama saja, hehe..