Friday, June 19, 2009

Barat vs. Islam

18 juni 09


Islam adalah fenomena mengerikan bagi Barat. Sejarawan, Karen Armstrong, mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang tidak dipahami Barat sampai saat ini. Kesan Islam di Barat yang tercermin dari pemberitaan-pemberitaan media di sana berakar pada prasangka-prasangka yang tertanam sejak masa pra-Perang Salip. Prasangka-prasangka tersebut menghujam dalam benak orang Barat hingga saat ini sehingga pemahaman terhadap Islam sangat sulit dicapai bagi mereka. Celakanya, banyak massyarakat “Timur” yang sudah “modern” mengadopsi prasangka-prasangka tersebut sehingga menjadi kerangka berpikir untuk kemudian menilai Islam, agama mereka sendiri.

Edward Said, filsuf Kristen Amerika kelahiran Palestina, mengatakan:

“Para akademisi yang mengambil spesialisasi tentang keislaman pun pada umumnya memperlakukan agama ini dan berbagai kebudayaannya berdasarkan khayalan atau berdasarkan kerangka ideologis yang telah ditentukan yang syarat dengan kemarahan dan prasangka, bahkan kadang-kadang dengan muak. Karena inilah, pemahaman terhadap Islam sangat sulit dicapai.” (Said, “Covering Islam,” hal. 8)

Said menambahkan, Barat sebagai simbol modernitas mereduksi Islam menjadi karakteristik-karakteristik yang sama, walaupun penampilan Islam sendiri sering kontradiktif dan pengalamannya lebih kaya dibandingkan Barat. Itulah mengapa konflik saat ini lebih cenderung dinamakan konflik “Barat vs Islam” bukan “Kristen vs Islam,” karena “Barat lebih besar dan melebihi panggung Kristen, agama utamanya” (hal. 12). Islam kemudian dipandang sebagai symbol keprimitifan dan kemunduran yang masih saja berkutat dengan agama, tanpa menilik sisi keragaman budaya, bahasa dan kekayaan sejarahnya.

Oleh karena itu, istilah “Islam” menjadi terdengar sederhana dan mudah dirujuk bagi orang Barat dan pengikutnya di Timur (termasuk orang Islam sendiri), seperti halnya orang awam merujuk istilah “demokrasi” dan konsep “Trinitas” dalam Kristen. Dengan bantuan media, Islam direduksi menjadi “terorisme,” “kekerasan,” “anti-demokrasi,” ,”kediktatoran,” “anti-kesetaraan,” dan sebagainya sebagaimana Barat abad pertengahan memunculkan prasangka Islam sebagai “agama pedang.” Tidak mengherankan, mahasiswa-mahasiswa dan sarjana-sarjana Islam yang berpendidikan Barat saat ini akan merasa ketakutan dengan istilah “Islam” sendiri. Disatu sisi Islam adalah identitasnya, tapi disisi lain ia disangkal dengan dalih modernitas dan semangat pencerahan dan rasionalitas Barat.

Karakteristik-karakteristik dan prasangka-prasangka kuno tersebut mendapatkan momen untuk dimunculkan kembali pada tahun 1974, saat harga minyak di OPEC naik tajam (hingga lebih dari USD 100 per barrel pada kurs saat itu). Barat khawatir Islam yang “primitif" ini akan menguasai dunia dengan mempermainkan harga minyak. Kita ketahui sebagian besar cadangan minyak dunia ada di area sekitar Teluk Persia dan semuanya dikuasai negara Islam. Barat takut industrinya akan hancur karena ketergantungannya dengan minyak “Islam.”

Oleh karena itu, Barat terpaksa berusaha memasukkan “Islam” dalam kajian-kajian akademik di universitas-universitas di segala penjuru dunia Barat. Bukan untuk memahami Islam secara utuh, namun untuk mengantisipasi rivalitas dunia muslim dalam kancah dunia, dan untuk menghegemoni Dunia Islam dengan pengetahuan yang serba Barat, bahkan pengetahuan tentang Islam sendiri. Sehingga, Barat memiliki agen intelektual di Barat sendiri dan di Timur yang siap menerima dan menyebarkan karakteristik simplistik “Islam” yang secara tidak langsung memperlama hegemoni Barat sendiri.

Sehingga kesimpulannya, walaupaun prasangka-prasangka orang Barat Eropa terhadap Islam berawal pada masa-masa kejayaan Islam dan sebelum Perang Salip di abad 11, Dunia Islam secara politis diperhitungkan oleh Barat modern baru pada pertengahan tahun 70an abad 20. Masa ini, yang belum begitu lama, menandai munculnya kebijakan-kebijakan politik Barat (Amerika dan Eropa) terhadap Islam dan Dunia Islam.

Kajian-kajian Islam saat ini di Barat tentu sangat berguna bagi pemerintah Barat untuk membuat kebijakan politik terhadap Dunia Muslim, termasuk kebijakan untuk berperang. Pencitraan “Islam” oleh Barat disebarkan oleh media mainstream yang selalu berkiblat ke Barat. Salah satu media pencitraan “Islam” saat ini, dan sangat efektif dalam mempengaruhi pemikiran awam masyarakat, adalah film-film Hollywood. Hampir nihil, Islam dicitrakan secara positive dalam film-film keluaran Hollywood. Hollywood tidak jarang berafiliasi dengan Pentagon untuk membuat film-film perang yang keren yang menyudutkan Islam dan Dunia Muslim untuk membentuk perspektif yang harus negative atas Islam.

Sebagai contoh, film Hollywood yang belum terlalu lama, berjudul “Superbad,” yang didalamnya menyebutkan bahwa nama seorang karakter “McLovin” adalah nama yang “sangat aneh, seaneh nama ‘Muhammad’” (saya curiga nama karakter “McLovin” berkonotasi “making love” atau berhubungan sex). Atau film terkenal garapan Steven Spielberg berjudul “Munich” yang mengangkat wacana tentang Palestina hanya dalam dua setengah menit, dari durasi film 167 menit, seperti diberitakan oleh jurnalis Australia, John Pilger. Walaupun isu yang diangkat dalam film ini sangat kental dengan isu konflik Israel-Palestina, film “Munich” ini lebih mudah untuk di interpretasikan sebagai film yang dibiayai korporasi Barat untuk mendukung kebijakan Israel. Anda boleh kaget karena ada ratusan judul film Hollywood lain yang mencirtrakan Islam secara negative, dan itu bukan tidak disengaja.

Islam menjadi sangat mengerikan bagi Barat dan sebagian orang Timur sendiri. Bagi mereka yang berpandangan sekuler di Barat, menurut sejarawan dan analis politik, Tariq Ali, ada dua ancaman terbesar Barat yang bisa meruntuhkan eksistensi inti dari peradaban manusia: “Islam dan Konfusianisme”, yang bila diterjemahkan dalam bahasa mereka menjadi “minyak dan ekspor barang Cina” (Ali, “The Clash of Fundamentalisms,” hal. 273). Terlepas dari pandangan sekuler, politis dan realistis, ada motivasi religius yang mempekaya serta memperrumit konflik Barat vs Islam saat ini. Motivasi ini berasal dari prasangka-prasangka kuno yang berasal dari semangat religius tiga agama besar, Yahudi, Kristen, dan Islam. Motivasi religius yang lebih hebat dan seakan-akan natural ini, jika Tuhan mengijinkan, semoga bisa dibahas dalam tulisan selanjutnya.

Muhamad Hidayat

(seri tulisan dinas)

Sumber utama:

  1. Edward Said, “Covering Islam: Bias Liputan Barat Atas Dunia Islam.” Yogya: Ikon. 2002.

  2. Karen Armstrong, “Perang Suci: Dari Perang Salip Hingga Perang Teluk.” Jakarta: Serambi. 2007. Bagian 1, hal. 27-240.

  3. John Pilger, “Hollywood’s New Censors.” Dalam jurnal bulanan COLDTYPE edisi Maret 2009, dapat di download di www.coldtype.net

Sumber lanjutan:

  1. Tariq Ali, “The Clash of Fundamentalisms.” New York: Verso. 2002.

  2. Film dokumenter “Operation Hollywood”, dapat di lihat (atau di curi) di Google Video atau You Tube.

  3. Edward Said, “Orientalism.” New York: Vintage Books. 1979.

  4. Untuk anda yang beruntung bisa bahasa inggris silakan baca artikel dan analisis independen oleh analis terkemuka di www.informationclearinghouse.info dan lihat daftar film dokumenternya, atau subscribe / berlangganan untuk mendapatkan up-date berita alternative setiap hari, gratis. Bagi yang kebacut bisa bahasa Indonesia, silakan baca saya (www.enunggling.multiply.com atau www.altermedianet.blogspot.com ). Sama saja, hehe..

Tuesday, February 10, 2009

Saya Jadi Ragu Kalau Konflik Israel Palestina Cuma Masalah Politik


Hidayat 10 Feb 09

Sekian lama saya menganggap kalau konflik Israel-Palestina cuma masalah politik saja. Namun setelah melihat agresi Israel ke Gaza kemarin, saya dikonfrontasikan dengan argument yang selama ini saya takuti: Israel-Palestina adalah konflik agama. Berikut adalah faktanya.

Israel adalah negara agama “Yahudi,” seperti Arab Saudi dan Pakistan sebagai negara “Islam.” Dalam serangan ke Gaza kemarin, polling menyebutkna bahwa 80% warga Israel mendukung agresi militer tersebut. Yang menghebohkan saat ini adalah fenomena kemunculan partai-partai kanan yang dalam berbagai poling mendapatkan mayoritas suara di Israel. Selain itu, kemungkinan besar, Benjamin Netanyahu akan memenangkan pemilu hari ini (10 Feb.). Ia berasal dari Partai Likud, partai sangat kanan di Israel (sebenarnya kanan atau kiri sama saja di Israel). Likud adalah partai yang memiliki hubungan paling kental dengan lobi Israel di Amerika (AIPAC dan CPMAJO—Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations). Sementara itu, partai ekstrim kanan garis keras (ortodox) Yisrael Beiteinu, pimpinan Avigdor Lieberman juga semakin kuat dukungannya, dan diperkirakan akan menjadi salah satu dari 4 partai penguasa Knesset (parlemen Israel), mengalahklan Partai Buruh nya Ehud Barak. Lieberman sekarang sedang berkampanye untuk mengusir warga Israel keturunan Arab (yang berjumlah satu juta atau sekitar seperlima dari jumlah penduduk Israel), untuk memurnikan Israel. Rencana itu didukung oleh Netanyahu. Lieberman terkenal sangat fasis.

Sementara itu, sentiment jihad terhadap warga Gaza sangat terasa, terutama di kalangan militer. Ini disebabkan karena mayoritas tentara Israel berasal dari kalangan Yahudi Ortodox di “pemukiman” (liar) di Tepi Barat, Palestina. Tambahan lagi, militer Israel sekarang dibajak oleh rabbi-rabbi ekstrim yang berjanji untuk melakukan perang suci melawan bangsa Palestina. Terdapat proses “teologisasi” di dalam militer Israel, yang cukup dikhawatirkan oleh banyak kalangan termasuk petinggi Israel sendiri.

Dalam serangan kemarin, rabbi dari kemiliteran Israel menyebarkan pamphlet kepada Tentara Pendudukan Israel (Israeli Occupation Forces) yang mengajak untuk tidak kenal ampun terhadap penduduk Gaza. Pamflet tersebut ditulis oleh rabbi Shlomo Aviner, ketua seminari (liar) di pemukiman Muslim Tepi Barat, Palestina. Pamflet tersebut telah disetujui oleh pimpinan rabbi militer, Brigjen Avichai Ronsky. Isi pamphlet tersebut adalah diantaranya: “Jika kamu mengasihani para musuh yang kejam, kamu menjadi kejam terhadap pasukan yang jujur dan suci ini… ini adalah perang melawan para pembunuh.” Ia juga menekankan pada tentara IOF agar “tidak menyerahkan satu millimeter pun wilayah Israel Raya.” Israel Raya (Eretz Israel), menurut kalangan ortodox Yahudi (yang mengacu pada kitab suci mereka) mencakup seluruh wilayah Palestina plus Yordania.

Boklet ini dimunculkan untuk meningkatkan “combat value” (nilai pertempuran?), setelah Israel kalah dalam perang melawan Hezbollah, 2006 silam. Brigjen Ronsky (ketua rabbi militer) sendiri adalah seorang ekstrim kanan dan juga pemukim (liar) di Tepi Barat. Ia juga sering mengunjungi teroris Yahudi ekstrim di penjara Israel dan menaungi para pemukim ekstrimis di Tepi Barat. (catatan: pemukiman liar di Tepi Barat adalah politik mantan PM Ariel Sharon, yang memasukkan para warga yahudi ekstrim untuk tinggal di wilayah Tepi Barat Palestina, membangun pemukiman2 liar, untuk mencaplok Jerusalem dan seluruh wilayah Tepi Barat. Semua pemukim adalah kalangan ortodox Yahudi yang kebanyakan berasal dari Amerika).

Para rabbi dalam milter IOF bertujuan untuk mencuci otak para tentara dengan “nilai-nilai religious” agar tidak kenal ampun pada “musuh yang kejam”, kata Ha’aretz. Diantara tentara IOF, 40 % adalah jebolan seminari (illegal) atau yeshiva, di pemukiman illegal di Tepi Barat. Sementara itu, Ehud Barak baru saja memberikan persetujuan untuk membangun 4 yeshiva baru di pemukiman Yahudi ortodox di Jerusalem, Tepi Barat, Palestina.

Doktrin para ekstrimis Yahudi adalah memusnahkan para warga “sub-human” Palestina dan mencaplok seluruh wilayah mereka. Imajinasi para ekstrimis menyebutkan bahwa mereka adalah “manusia pilihan” Tuhan atau “chosen people,” yang superior atas ras lainya. Di Israel sendiri, warga Arab Kristen adalah warga kelas dua, sedangkan Arab Muslim adalah warga kelas tiga (yang keduanya terancam di usir atau dibantai oleh Avigdor Lieberman—Netanyahu menyetujui usulan Lieberman ini, kata Ha’aretz). Para rabbi ekstrimis mengacu pada kitab Talmud yang, katanya, menjanjikan bangsa Yahudi untuk tinggal di Zion (bukit di Jerusalem). Talmud, katanya, juga berkata kalau para “gentile” (atau non-Yahudi, atau goyim dalam bahasa Ibrani, atau kafir dalam istilah Islam) seperti binatang (kera atau babi) yang sama sekali tidak berharga. Mereka mempunyai hak untuk membunuh para “gentile” ini.

Kalau ideologi Zionisme itu sendiri sudah sedemikian rupa fasisnya, saya jadi ragu kalau ini cuma isu politik regional. Belum lagi ketundukan Amerika tanpa syarat pada Israel (Israel adalah negara bagian ke 51), semakin membikin penasaran. Dalam Israel Lobby, Prof. Mearsheimer dan Walt juga memaparkan bahwa lobi Zionis di Konggres terutama dimotori oleh kalangan Kristen Evangelical, yang kemudian disebut sebagai kalangan Christian Zionist, yang mengacu pada kesamaan imajinasi mereka tentang penafsiran kitab suci (kalangan ini pernah mendapat tantangan dari kalangan Kristen Presbyterian Amerika, namun seperti sudah diprediksi, mereka akhirnya lenyap disensor oleh media). Tentu, tidak semua Yahudi adalah Zionist. Kalangan Yahudi Anti-Zionist (Anti-Zionist Jews) selalu berkampanye kalau warga Yahudi Israel telah keblinger dengan Zionisme—yang berideologi fasis eksklusif dan tidak toleran. Kalangan ini mengacu pada fakta sejarah yang menyebutkan bahwa tidak ada pertentangan yang serius antara warga Yahudi dengan Islam. Bahkan selama ribuan tahun, mereka hidup berdampingan dengan damai di Palestina, sampai tahun 1948, dimana minoritas Yahudi Zionis mendirikan negara “Yahudi” Israel. Saat agresi pasukan Salib pun, warga Muslim dan Yahudi Palestina (bahkan warga Kristen Palestina) berjuang bersama dan menjadi korban pembantaian.

Dan yang lebih mengherankan lagi, pemerintahan Obama sekarang adalah pemerintahan yang “paling Zionist” sepanjang sejarah Amerika, menilik pada banyaknya pejabat Zionist dan Kristen-Zionist dan pro-Israel Zionist yang menduduki posisi penting dan berpengaruh di pemerintahan Obama. Bahkan 20 Januari lalu, The Jewish Telegraph Agency, agen berita utama kalangan Yahudi Zionist Amerika, dengan bangga membeberkan daftar pejabat tinggi Obama yang “pro-Zionist” yang bertugas di Timur Tengah. Diantaranya adalah Richard Hoolbroke, Dennis Ross, dan George Mitchell (saya sudah menuliskan tentang ini dalam “Obama dan penjahat-penjahat di pemerintahanya” di blog saya). George Mitchell adalah utusan khusus Obama untuk urusan Timur Tengah yang dipercaya untuk mencari “solusi” konflik Israel-Palestina. Sedangkan Dennis Ross adalah utusan khusus mengenai masalah Iran. Belum lagi para pejabat tinggi seperti wapres Joe Biden, chief of staff Rahm Emmanuel (pejabat tinggi pertama yang berkewarganegaraan ganda, Israel dan Amerika), dan Hillary Clinton (yang berjanji “to obliterate”, akan memusnahkan 70 juta warga Iran jika Iran menyerang Israel), adalah para tokoh yang terkenal pro-Zionist dan dekat dengan AIPAC, lobi Israel terkuat di Amerika.

Sementara itu, saat serangan ke Gaza kemarin, Menlunya Bush, Condoleeza Rice mengusulkan paket resolusi PBB tentang gencatan senjata. Namun PM Olmert langsung menelpon Bush, saat Bush sedang mengisi kuliah, agar Bush menolak resolusi PBB yang digagas oleh Rice sendiri. Akhirnya Amerika abstain dalam resolusi tersebut. Ini sangat mengagetkan, karena terlihat betapa Amerika tidak mampu menghadapi pengaruh Israel. Bahkan Bush lebih mengedepankan kepentingan Israel daripada kepentingan internasional yang dibawa oleh menteri luar negerinya sendiri.

Selain itu Konggres juga menelurkan resolusi yang isinya mendukung serangan Israel. Ini tidak mengagetkan, melihat peran lobi Israel dalam Konggres AS teramat kuat. Hanya anggota Konggres Dennis Kucinich yang menolak resolusi tersebut. Dalam Israel Lobby disebutkan bahwa Konggres sering berdebat panas dalam isu mengenai kesehatan, pajak dll, namun selalu kompak dalam masalah Israel.

Melihat fenomena ini, saya menjadi sangsi, kalau konflik Israel-Palestina adalah konflik politik semata. Melihat rekor diatas, apakah ketakutan saya mendapat pembenaran, sebagaimana telah disadari oleh banyak analis, bahwa konflik ini adalah konflik agama?

Sumber-sumber utama:

“Did the Israeli Army Wage a Jewish Jihad in Gaza?” Jonathan Cook, DissidentVoice.org, February 4th, 2009

“Collusion, Complicity and Sheer Insanity”, Rannie Amiri, Counterpunch.org, Feb. 2, 2009

“Black Flag”, Uri Avneri, InformationClearingHouse.info, Feb 02, 2009

“The Nightmare of Netanyahu Returns”, TheIndependent.co.uk, Feb. 6, 2009

“From Gaza to Tehran”, James Petras, InformationClearingHouse.info, Jan. 31, 2009.

“Can Mitchell turn Jerusalem into Belfast?”, Ali Abuminah, electronicintifada.net, Feb. 2, 2009.

“Elections 2009 / Netanyahu: Lieberman campaign against Israeli Arabs is 'legitimate'”, Haaretz.com Feb. 6, 2009

Israel Lobby”, John J. Measheimer and Stephen M. Walt

“Haaretz Poll: Kadima, Likud are neck-and-neck with 4 days to go”, Haaretz.com, Feb. 7, 2009

Appendiks 1. 51 Organisasi Yahudi Amerika yang menolak proposal gencatan senjata dari Menlu Rice:

1. Ameinu

2. American Friends of Likud

3. American Gathering/Federation of Jewish Holocaust Survivors

4. American-Israel Friendship League

5. American Israel Public Affairs Committee (AIPAC)

6. American Jewish Committee

7. American Jewish Congress

8. American Jewish Joint Distribution Committee

9. American Sephardi Federation

10. American Zionist Movement

11. Americans for Peace Now

12. AMIT

13. Anti-Defamation League

14. Association of Reform Zionist of America

15. B’nai B’rith International

16. Bnai Zion

17. Central Committee of American Rabbis

18. Committee for Accuracy in Middle East Reporting in America

19. Development Corporation for Israel/State of Israel Bonds

20. Emunah of America

21. Friends of Israel Defense Forces

22. Hadassah, Women’s Zionist Organization of America

23. Hebrew Immigrant Aid Society

24. Hillel: The Foundation of Jewish Campus Life

25. Jewish Community Centers Association

26. Jewish Council for Public Affairs

27. Jewish Institute for National Security Affairs

28. Jewish Labor Committee

29. Jewish National Fund

30. Jewish Reconstructionist Federation

31. Jewish War Veterans of the USA

32. Jewish Women International

33. MERCAZ USA, Zionist Organization of the Conservative Movement

34. NA’AMAT USA

35. NCSJ: Advocates on behalf of Jews in Russia, Ukraine, the Baltic States and Eurasia

36. National Council of Jewish Women

37. National Council of Young Israel

38. ORT America

39. Rabbinical Assembly

40. Rabbinical Council of America

41. Religious Zionist of America

42. Union for Reform Judaism

43. Union of Orthodox Jewish Congregations of America

44. United Jewish Communities

45. United Synagogue of Conservative Judaism

46. WIZO

47. Women’s League for Conservative Judaism

48. Women of Reform Judaism

49. Workmen’s Circle

50. World Zionist Executive, US

51. Zionist Organization of America

Appendiks 2. Statistik Akibat Agresi Militer Israel ke Gaza, dari www.pcbs.gov.ps dan berbagai NGO:

  • 1,334 tewas, sepertiganya anak-anak (yang jumlahnya lebih dari militant Hamas yang terbunuh)
  • 5,450 luka-luka, sepertiganya anak-anak
  • 100,000 mengungsi, 50,000 kehilangan tempat tinggal
  • 4,100 pemukiman dan perumahan hancur, 17,000 rusak (digabung menjadi 14% dari seluruh bangunan di Gaza rusak dan hancur)
  • 29 institusi pendidikan hancur, termasuk American International School, Sekolah Internasional Amerika
  • 92 masjid hancur dan rusak
  • 1,500 toko, pabrik dan fasilitas komersia hancur. 20 destroyed ambulances
  • 35-60% tanah pertanian rusak
  • $1.9 Miliar kerugian (taksiran)

Melihat statistic ini, sangat susah membayangkan kalau ini adalah murni isu politik, apalagi mempercayai narasi Israel yang digemakan oleh media diseluruh dunia, bahwa ini adalah “perang terhadap Hamas.” Sementara BBC kemarin menolak iklan kemanusiaan untuk Gaza, sehingga BBC mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Ini menunjukkan betapa kuatnya lobi Zionist di media mainstream barat (lihat: Israel Lobby).

Saturday, January 17, 2009

Is Israel using illegal weapons in its offensive on Gaza?

Dari Ha'aretz,

Reporter Ha'Aretz, Amira Hass, mengemukakan bahwa Israel menggunakan senjata yang dilarang hukum Internasional saat membantai warga Gaza. Senjata itu tidak muncul selama 8 tahun terakhir, dan hanya digunakan saat membantai Gaza. Senjata tersebut termasek Bom Fosfor yang dilarang PBB karena menimbulkan panas luar biasa.

Selengkapnya:

http://www.haaretz.com/hasen/spages/1055927.html

Wednesday, January 7, 2009

I want to be an Israeli but I only understand realities

By: Muhamad Nur Hidayat, Indonesia

January 5th, 2009

Israel is cool. Confidently massacring more than 500 Gazans within a week but it is supported by the world leaders, who are minority. It is as if Gaza children are worthless. And in fact, they are worthless compared to the existence of Israel. Gaza children are worthless because if they grow up, they will become “terrorists.” So what’s wrong to kill them all now before Israel “has another Holocaust”? Let their moms confused, cried and then silenced while picking up their kids’ body parts. "I will play music and celebrate what the Israeli air force is doing" said Ofer Shmerling, an Israeli military officer, as appeared in Al-Jazeera TV some days ago.

Israel’s Zionism is beautiful and awesome. It is superior. Nothing can’t stop it because it is God’s will. It uses “Apartheid” and “the way of transfer” to purify Palestine from Palestinians. Israel is a symbol of democracy, freedom, peace and advance culture. And now it is at “war” with Hamas, a terrorist group that comes out from the ground to obliterate Jews. Hamas is low, cruel, and barbaric. It is a compilation of jealous young people with the democracy, prosperity and the freedom of Israel. It has to launch home-industry-rockets to Israel to get attention. And recently it kills 4 innocent Israelis with its some hundreds Qassam rockets. Freedom and democracy are under attack!

Hamas is jealous with Israel’s democracy so that it won Palestinian election in 2006 and controlled Gaza in 2007. This cannot be tolerated, you know. It is against its very nature. For Zionists’ God, it is a sin. Therefore, Israel has to take noble action to blockade Gaza. It cuts off supplies of snacks, pizzas and Cokes to Gaza (including unnecessary stuff like electricity, gas, and medicines which are barely needed by Gazans). It also cuts off supplies of cameras, journalists and Jews, like Richard Falk. It also cuts off supplies of refugees to Egypt. It has to bomb tunnels to Egypt usually used to smuggle Cokes and pizzas and all civilized stuff. It eases the work of Gazans doctors and nurses because they don’t have to cure people with civilized medicines. Just let them rot as they should. It’s their very nature, you know. But Gazans can’t help being jealous. So Israel has to introduce its civilized bullets and bombs to Gazans. It is noble thing to do, man. “Here you are some American-made bullets, bombs, F-16 and Apaches in case you haven’t seen them.”

But Hamas gets more jealous. It needs more than they deserve. So, again, it launches rockets made in garages to Israeli lands so that all Israeli have to take refuge to the Mediterranean Sea. Since their rockets are not made in America, so they are not effective to kill people. “But they are intended to kill!” says Olmert. So Israel drops tons of bombs to mock Hamas. It costs some 500 people including some 100 children. But remember, it is not intended to kill, it is for peace, justice, freedom, prosperity, stability and democracy. It must be ideals, you know. Realities are nonsense! Cogito ergo sum. This table is not red, man. It’s just your mind that says it’s red. C’mon! So 500 casualties are just nothing. Just think of the beauty of democracy!

And then America has to be patient to see the stupid Hamas, so that it has to ask Israel to teach Hamas a lesson. Yesterday, I asked my lecturer about his opinion on America’s support to Israel. He said, “Israel is America’s nephew. So it’s a family, you know. It’s just natural.” But I became really confused, probably because of my inferiority. He holds a Ph.D. And then when asked him the reason of Israel’s attack on Gaza, he answered, “Complicated.” And I became more and more confused. I don’t understand the meaning of the answers. I only understand that tearing apart people’s bodies is wrong (or at least, weird). Bombing children coming home from school is also wrong (or weirder). And then, bombing mosques is also really really weird. Or bombing Islamic Unversity in Gaza and apartments full of living humans is extremely weird (if not wrong). For me, it is as weird as bombing a zoo or public toilets. Why I only understand that? Is it because of my ethnic and racial inferiority, so that I don’t understand my lecturer’s answers? Or because my name is Muhamad?

Probably because my lecturer has acquired higher education so that I don’t understand him, as I don’t understand Obama (who has also acquired higher education). Obama said “no comment” when asked his opinion about Israel’s bombing which was pretty much look like new-year fireworks. I am confused by his answer the same as I am confused by my lecturer’s answer. Why am I confused? Why I expected different kind of answers? Something like, “It’s weird to bomb mosques.”

During his visit to Israel, Obama said, "If somebody shot rockets at my house where my two daughters were sleeping at night, I'd do everything in my power to stop them." So if somebody shot home-made rockets to Obama’s house, he will do whatever things to do to stop them. This is natural but it is another confusing thing for me. Probably because I’m not an idealistic person. I cannot imagine how Obama’s house where his two children sleep is bombed. But why I only understand realities? Why I only understand that Israel really shot civilized rockets at real houses where real children slept? Not Obama’s children? Why I can’t imagine somebody really shot rockets at Obama’s house where his real children slept? Why? Why I expected something different coming from Obama’s mouth?

Oh yeah. I know the answer. Because I’m inferior. I’m not smart. I don’t have Ph.D degree or something. And because I’m jealous to Israel’s superiority, freedom, peace, and moral integrity. Yes, I’m jealous, the same as Arabs and the rest of the world (except some few highly civilized and enlightened Americans and Israelis). I’m jealous to their confidence and passion in breaking international laws. The laws for lesser creatures. Oh help me my friends. Help me out this inferiority, stupidity and craziness.

I WANT TO BE AN ISRAELI!!!!

So that I can be smart. So that I can tolerate all this bombing and killing of real children (not Obama’s children). So that I can tolerate bombing of houses, mosques, universities. So that I’m satisfied to see mothers cry, get confused and go crazy while picking up their children’s body parts. So that I can play music and celebrate Israel’s attack. So that I can be superior and above the law.

But why I only understand realities?

Muhamad Nur Hidayat is a desperate young political analyst based in Yogyakarta, Indonesia. He can be reached at muhamadhidayat@hotmail.com. His blogs are: www.enunggling.multiply.com and www.altermedianet.blogspot.com

Saya ingin jadi orang Israel

Oleh: Muhamad Nur Hidayat

5 Januari 2008

Israel memang hebat. Membunuh lebih dari 500 warga Gaza namun mendapat support dari pemimpin-pemimpin dunia yang jumlahnya sedikit. Seakan-akan nyawa anak-anak Gaza tidak ada artinya. Dan terntyata memang tidak ada artinya bagi “kelangsungan hidup” Israel. Mereka berpikir toh nanti kalau besar, anak-anak Gaza akan menjadi “teroris,” jadi apa salahnya kalau dibunuh sekarang, sebelum mereka “melakukan Holocaust lagi”. Biarkan ibu-ibu mereka bingung, menjerit, kemudian membisu serambi memungut sisa-sisa potongan tubuh anak-anaknya yang beruntung terkena cluster bomb nya Israel. “Saya akan mendengarkan musik dan merayakan serangan udara Israel ke Gaza” kata Ofer Shmerling, seorang pegawai pertahanan sipil Israel di Sderot, seperti muncul dalam siaran TV Al Jazeera 27 Desember 2008.

Israel (Zionisme, bukan Yahudi) memang anggun dan superior. Pemimpin dunia, dan pilihan Tuhan, jadi tidak ada hukum manusia yang bisa menghentikan idealisme Zionisme. Zionisme menghendaki pemurnian seluruh wilayah yang dulu disebut Palestina dari kotoran-kotoran Arab yang inferior, sehingga menjadi Eretz Israel, Israel Raya. Kata Benny Morris, sejarawan Israel, pemurnian itu dengan dua cara: “Apartheid” dan “The way of transfer,” istilah lunaknya dari pembantaian etnis lewat Apartheid dan pengusiran (pematian) secara paksa. Israel adalah demokrasi, simbol kebebasan, perdamaian, dan kemajuan jaman. Dan mereka sedang “berperang” dengan Hamas, si teroris yang muncul dari dalam tanah untuk membunuh semua warga Israel. Hamas benar-benar biadab, barbar. Kumpulan orang-orang bodoh yang iri dengan demokrasi dan kebebasan Israel (yang benar-benar bebas tanpa bisa diatur), sehingga mereka harus unjuk gigi dengan menembakkan roket buatan industri rumahan ke wilayah Israel. Dan Hamas telah menewaskan 4 warga Israel yang tak berdosa, dari 300 lebih roket mainan yang diluncurkannya.

Hamas iri dengan demokrasi Israel sehingga ia menang mutlak dalam pemilu Palestina 2006. Dan ini tidak bisa diampuni. Kesalahan besar. Dosa bagi Tuhan Zionisme. Sehingga Israel terpanggil untuk segera bertindak dengan memblokade Gaza selama dua bulan, menstop suplai lotek, arem-arem, wedang jahe, gorengan, obat sakit kepala (yang tertembak), kain mori, lem, kertas dan segalanya (termasuk yang tidak dibutuhkan warga Gaza, seperti listrik, gas, bensin yang memberi penerangan ke wilayah Gaza). Jurnalis dan utusan PBB dan Paus juga dilarang masuk. Sedangkan yang didalam dilarang keluar. Terowongan ke Mesir tempat menyelundupkan obat sakit kepala tadi harus dibom, sehingga perawat, dokter “rumah sakit” Gaza tidak harus mengobati sakit kepala ribuan warga Gaza. “Toh mereka nanti juga jadi teroris.” Mau sakit (tertembak di) kepala kek, sakit (tertembak di) perut kek, di tangan kek, dikaki kek. Terserah.

Lalu Hamas iri lagi dengan keanggunan Israel, sehingga ia harus protes dan meluncurkan roket-roket nuklir yang dibuat di garasi rumah ke wilayah Israel sehingga semua warga Israel harus mengungsi ke laut. Hamas iri karena roket-roketan nuklir mereka bukan buatan Amerika, sehingga tidak efektif. Cuma mematikan satu orang dalam beberapa tahun. Namun kata Olmert “Walaupun roket-roket Hamas jarang mengenai sasaran, tapi kan niatnya untuk membunuh![1].” Sedangkan walaupun Israel mematikan 560 warga Gaza dalam seminggu, tapi kan niatnya untuk kebaikan—demokrasi, perdamaian, dan kebebasan. Pokoke harus idealis. Cogito ergo sum! Realitas itu nggak ada, adanya cuma pikiran, goblok! 560 orang hilang nyawa juga tidak ada, cuma di pikiran kamu saja, goblok!

Kemudian Amerika juga terpanggil untuk membantu Israel dalam mengemban tugas suci tersebut. Kata dosen saya kemarin siang ketika saya tanya pendapat beliau tentang support Amerika ke Israel, “Lho Israel kan ponakannya Amerika. Kita semua ini adalah satu keluarga. Jadi itu wajar.” Betapa kaget dan dungunya saya karena tidak paham apa maksud beliau. Lalu ketika saya tanya lagi tentang mengapa Israel berniat baik untuk memurnikan Gaza, ia menjawab, “Rumit.” Dan betapa lebih dungunya saya ketika tidak bisa paham juga apa maksud jawaban beliau. Saya cuma paham kalau mencabik-cabik tubuh orang dengan bom itu salah (setidaknya aneh, begitu). Membom kerumunan anak yang sedang pulang sekolah itu salah (atau setidaknya lebih aneh lagi). Kemudian membom masjid-masjid itu juga setidaknya sangat aneh. Atau membom Universitas Islam Gaza, apartemen yang berisi manusia itu juga sangat aneh (kalau belum bisa dibilang salah), seaneh membom UGM, Sanata Dharma dan rumah Mbah Maridjan. Apakah inferioritas ras saya yang menyebabkan saya tidak paham dengan jawaban beliau? Atau karena nama saya berbau Arab (Muhamad Nur Hidayat) yang terkenal barbar, despotik, tidak demokratis, kejam dan terbelakang? Dengan standar moral Israel tentu jawabannya iya. Ehud Olmert ngomong ke saya: “Goblok banget kamu Yat, baik dan buruk gak bisa bedain! Orang Arab ya!?” Kata filsafat, baik itu ya buruk, buruk itu ya baik. Yang buruk bisa baik, yang baik bisa buruk.

Mungkin karena dosen ini sudah S-3, jadi saya tidak bisa mencerna omongan beliau, sebagaimana saya juga tidak bisa mencerna omongan Obama (yang minimal telah lulus S-2, sedangkan petinggi Hamas, namanya pak Rayan, yang kemarin dibom Israel bersama 4 orang istri dan 11 anaknya yang mati semua itu adalah seorang professor hukum). Padahal Obama bilang “no comment” saat ditanya wartawan, satu jam setelah pesawat tempur F-16 dan heli Apache Israel berhasil masuk Gaza dan menelurkan bom-bom yang ledakannya kelihatan indah, mirip kembang api tahun baru. Kalau gak percaya lihat YouTube. Sebelumnya, saat Obama berkunjung ke Israel (namun menolak komentar dan singgah di Palestina), ia berkata:

"If somebody shot rockets at my house where my two daughters were sleeping at night, I'd do everything in my power to stop them." (www.informationclearinghouse.info/article21585.htm)

“Jika seseorang menembakkan roket ke rumah saya tempat kedua anak saya tidur, saya akan melakukan apapun dengan kekuatan saya untuk menghentikan mereka.”

(sengaja pake bahasa Inggris, biar kelihatan pinter, karena saya juga iri dengan kepinteran orang Israel).

Yang dimaksud Obama dengan “roket yang ditembakkan ke rumahnya diamana dua orang anaknya sedang tidur” itu tentu saya roketnya Hamas. Nah disini saya bingung lagi, seperti saya bingung dengan jawaban “rumit” dari dosen saya tadi. Saya malu mengapa saya sebebal ini sehingga saya tidak paham dengan omongan mereka. Dan mengapa saya hanya paham kalau Israel bersalah karena ia juga meluncurkan roket (yang super canggih buatan Amerika, tidak seperti roket kerajinan tangan Hamas) yang benar-benar mengenai anak-anak yang sedang tidur dan telah menewaskan 560 orang lebih, 100 diantaranya anak-anak? Mengapa saya hanya paham itu? Mengapa kata “rumit” dan kata Obama tadi seakan-akan bukan jawaban yang saya harapkan? Apakah saya sudah gila sehingga begitu gobloknya, sehingga tidak paham jawaban orang pintar? Padahal kan saya sudah besar, hampir sarjana S-1 pendidikan Bahasa Inggris, sudah pernah ke Amerika lagi. Padahal waktu SMP saya kan rengking satu terus, walaupun tidak pernah berangkat Pramuka. Atau mungkin karena dosen S-3 dan Obama S-2 dulu rajin Pramuka ya? Orang Israel mungkin rajin Pramuka sehingga mereka sangat pandai dan superior (kayak mi instant) dan kebal hukum manusia.

Tolong teman-teman! Tolong saya dari kegilaan dan kegoblokan ini. Untung saya tidak punya pacar. Mungkin pacar saya bisa ikut-ikutan goblok dan gila bersama saya.

SAYA INGIN JADI ORANG ISRAEL!!!!.

Sehingga saya bisa jadi orang pintar, jenius, superior (kayak mi instant), dan mampu mentoleransi pemboman anak-anak kecil, masjid, gereja, universitas, rumah-rumah tempatnya tidur anak-anak beneran (bukan anaknya Obama); puas melihat ibu-ibu yang hampir gila sembari memungut potongan tubuh anaknya, kebal hukum internasional, percaya diri mengemban tugas suci memurnikan Palestina dari racun dan kotoran bangsa Palestina sendiri, bahagia melihat orang menangis sampai matanya kering sambil mendengarkan musik dan merayakan serangan Israel ke Gaza, senang melihat kecanggihan bom-bom Israel yang mendarat di kerumunan anak-anak sekolah, bangga sebagai ras terpilih dan menjadi sahabat Amerika. Singkatnya saya ingin menjadi orang pintar Israel yang tidak bisa dipahami orang lain di seluruh dunia (kecuali oleh orang yang pintar juga). Saya ingin berkata “rumit” sehingga orang lain tidak paham. Oh… saya tahu solusinya. Cari pacar cewek Israel saja! Biar ketularan pinter.

Kalau saya sudah jadi orang Israel, nama saya (Muhamad Nur Hidayat) akan saya ganti sehingga tidak berbau Arab, inferior, barbar, bebal, dungu, Islam dan ras terbelakang. Nama saya akan saya ganti: “ Ehud Eliad Gilad Dayad Ghetto.” Wuihh… Surgawi!

“Saya akan mendengarkan musik dan merayakan serangan Israel ke Gaza”

Hidayat, 30 Desember 2008

"I will play music and celebrate what the Israeli air force is doing."

--Ofer Shmerling, seorang pegawai pertahanan sipil Israel di Sderot, seperti muncul dalam siaran TV Al Jazeera 27 Desember 2008.

Pernyataan Ofer Shmerling tadi digemakan ke seluruh dunia oleh Israel (yang menguasai sebagian besar media elit di Amerika dan Inggris), bahwa serangan brutal ini adalah sebuah “righteous violence” atau kekacauan yang dibenarkan. Ini adalah serangan “pertahanan diri” dari para “teroris keji.” Singkatnya, pemboman ini adalah “bombing for freedom, peace and democracy” atau “pemboman untuk kebebasan, perdamaian dan demokrasi.”

Setelah ngampet dan cari-cari alasan, akhirnya Israel melakukan serangan terbuka ke wilayah Gaza Palestina. Natal, tahun baru Hijriyah, dan tutup tahun di Gaza di warnai dengan jatuhnya lebih dari 390 korban sipil (dan terus bertambah—31 Desember 2008) akibat serangan udara militer Israel—serangan terbesar selama beberapa decade terakhir—yang kata Menlu Israel Tzipi Livni adalah untuk “melumpuhkan Hamas” dan “sebagai balasan atas serangan roket Hamas ke wilayah selatan Israel” (yang menewaskan 1 warga sipil Israel).

Pesawat F-16 dan helicopter Apache (bantuan Amerika) telah menjatuhkan lebih dari 100 ton bom ke “target-target Hamas”, yang maksudnya tentunya: masjid, sekolah, apartemen, dan rumah-rumah penduduk. Dilaporkan korban sebagian besar adalah warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan disamping polisi sipil Palestina. Sementara Israel, lewat channel media besar berbahasa Inggrisnya di Barat, bersikukuh kalau serangan ini adalah serangan “balasan.”

Satu-satunya “rumah sakit” (kalau boleh dibilang begitu) di Gaza telah penuh dan terpaksa mengeluarkan pasiennya untuk diganti dengan korban serangan Israel. Kamar-kamar mayat sudah penuh berjejalan tubuh-tubuh dan potongan-potongannya. Sementara itu ibu-ibu berteriak-teriak histeris kemudian diam membisu. Kemarahan luar biasa menyelimuti warga Gaza dan Palestina. Namun di satu sisi politik Israel berhasil membuat warga Gaza putus asa dan mereduksi mereka ke level hidup atau mati.

Serangan ini adalah bentuk metode lain yang dilancarkan oleh politik Zionisme Israel, dari “silent genocide” ke “open massacre,” dari genosida tersembunyi ke pembantaian massal secara terbuka, untuk semakin mempersempit gerak warga Palestina dan mencaplok seluruh wilayahnya. Seperti dinyatakan oleh Ali Abuminah, penulis One Country: A Bold Proposal to End the Israeli-Palestinian Impasse (Metropolitan Books, 2006) dan pendiri The Electronic Intifada, serangan ini merupakan kelanjutan dari apa yang oleh media disebut sebagai “gencatan senjata.” Namun, yang tidak dipertanyakan oleh media besar Barat berbahasa Inggris adalah konsep “gencatan senjata” Israel, yang berarti: warga Palestina berhak diam ketika Israel mencaplok tanah mereka, menghancurkan rumah, membuat pemukiman illegal, membuat tembok rasisme apartheid, membunuh warga Palestina lewat blockade militer, menghentikan supplai bantuan internasional ke Gaza, mematikan aliran listrik, air dan bahan bakar, menghentikan bantuan pangan PBB sehingga saat Eid dan Natal warga Gaza harus makan rumput, menguras habis kesabaran dan kewarasan penduduk Palestina. Itulah konsep sebenarnya dari “gencatan senjata.” Dan ketika bangsa Palestina sudah tidak tahan dipermalukan, Israel menghukum mereka dengan serangan udara terbuka yang, menurut Jerusalem Post (26 Desember 2008), melibatkan lebih dari 60 pesawat tempur F-16 dan helicopter Apache (bantuan Amerika) dan menjatuhkan lebih dari 100 ton bom ke area yang sepenuhnya tidak punya pertahanan militer yang signifikan. Sementara pemimpin negara-negara Arab (kecuali Iran, Syria dan Sudan) memilih diam seakan-akan rakyatnya bodoh tidak tahu apa-apa dan seakan-akan kekuasaan tidak poluler mereka akan langgeng.

Dan seperti dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Israel, Ehud barak, aksi militer ini akan terus berlangsung dengan serangan darat menggunakan ratusan tank yang sudah berjajar di perbatasan Gaza, disamping kecaman seluruh dunia (catatan: Palestina tidak memiliki satu tank pun). “The operation will be deeper and expanded as much as necessary. . . . It won’t be short, and it won’t be easy.” Operasi ini akan diperluas dan akan memakan waktu yang lama. Dan alasannya selalu klasik: untuk menciptakan perdamaian, keamanan dan demokrasi.

Politik Zionisme memang menghendaki aksi-aksi seperti ini, kata sejarawan Israel Benny Morris. Diperlukan dua metode, “the way of transfer” (pengusiran) dan “ethnic cleansing” (pemusnahan etnis) untuk memurnikan Palestina dari warga Arab. Dan dua-duanya telah dan sedang terjadi dan akan terjadi (bila pemimpin dunia dan terutama Amerika tetap diam saja).

Sementara itu kemarin Amerika memveto resolusi Anti-Israel PBB yang akan dikeluarkan Dewan Keamanan PBB. Ini menambah daftar panjang Amerika yang sudah memveto lebih dari 40 resolusi Anti-Israel PBB sejak tahun 1972. Amerika lewat dubesnya untuk PBB beralasan bahwa “Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri.” Fuck!!! Mempertahankan diri dari nyamuk? Bush malah menyalahkan Hamas atas serangan ini. Diakhir masa jabatannya, si lame duck ini semakin tidak populer dengan menomorsatukan Israel dan menomor kesekiankan opini publik Amerika sendiri. Sementara itu, analis progresif Paul Craig Roberts menyatakan bahwa Israel telah melanggar hukum internasional sejak tahun 1967 dengan melakukan aksi “kejam, tidak berperikemanusiaan, barbar dan illegal” mereka.

Analis media liberal Israel Haaretz, Gideon Levy, 29 December 2008 menyatakan bahwa andaikata Israel memang mempunyai justifikasi atas serangan ini, respon Israel ini melebihi proporsi dan “melewati batas kemanusiaan, moralitas, hukum internasional dan keadilan.” “What began yesterday in Gaza is a war crime and the foolishness of a country”, kata Levy. Apa yang terjadi kemarin di gaza adalah kejahatan perang dan kebodohan yang dilakukan suatu negara. Ironi sejarah terulang bagi Israel yang dua bulan setelah pendiriannya, ia memulai perang besar, dan dua bulan sebelum pemerintahan Israel saat ini berakhir, ia juga memulai perang. Levy menambahkan, ini bukti betapa kontradiktif dan hipokrit Israel itu sendiri. Di satu sisi industri public relations Israel yang menyusup ke media-media besar selalu berkoar kalau Israel adalah negara cinta damai dan demokrasi namun kelakuannya sepenuhnya berkebalikan dengan omongannya. Ia menambahkan, aksi Israel ini malah akan memperkuat Hamas (yang sudah menyerukan gencatan senjata namun ditolak mentah-mentah oleh Israel), seperti juga Hezbollah yang menjadi semakin kuat dan populer setelah Israel menyerang Lebanon dua tahun lalu (yang mengakibatkan lebih dari 1000 korban sipil.

Sebagai catatan, Amerika, Israel dan Inggris pada tahun 2006 menuntut Palestina melaksanakan pemilu yang demokratis dan adil. Pemilu yang memang demokratis dan adil menurut observer internasional (PBB) itu memunculkan Hamas sebagai pemenang. Namun setelah Hamas terpilih secara demokratis (dipilih mayoritas rakyat Palestina), Palestina malah dihukum dengan blockade militer dan ekonomi, yang oleh PBB disebut sebagai “collective punishment” (hukuman kolektif), istilah yang mengacu pada politik menghukum seluruh warga Palestina karena “kesalahan” Hamas yang menang pemilu (seperti terjadi juga di Kuba). Collective punishment melanggar hukum internasional dan yang melaksanakannya bisa di gantung pengadilan Nuremberg (pengadilan bagi pemimpin Nazi) sebagai penjahat perang.

Sementara itu seluruh dunia mengecam pembantaian massal Israel. Protes besar-besaran terjadi di Inggris, Berlin, Athena, Roma, New York dan di tempat-tempat lainya. Aksi solidaritas juga terjadi di Havana dan Caracas disamping protes di Timur Tengah dan Asia. Paus Benedictus mendesak Israel segera menghentikan kekerasan terhadap warga sipil. Namun, seperti biasa, Israel, Amerika dan Inggris tentu tidak menghiraukan omongan orang tua ini.

Yang menggelikan dan tidak tahu malu tentunya adalah presiden terpilih Obama dan menlu nya, Hillary Clinton, yang memilih diam saja melihat serangan ini (ironis dengan semboyannya “Change we can believe in”). Sayangnya publik dunia terlena dengan ilusi “change” nya Obama dan melewatkan fakta bahwa tim pemerintahan Obama dijejali pejabat-pejabat Israel Lobby.

Bagi Amerika dan Inggris, Israel tidak bisa berbuat salah. Israel tidak harus membuka blokadenya, membiarkan bantuan pangan, medis, listrik, minyak, air masuk Gaza, membunuh anak-anak Palestina, namun Hamas harus menghentikan serangan roket Qossam buatan rumahan mereka. Begitulah gambaran superioritas moral Amerika dan Inggris. Seperti kata Hanan Ashrawi, aktivis HAM Amerika, “Israel sudah terbiasa dibiarkan untuk tidak mempertanggung jawabkan kelakuannya dan berada diatas segala hukum.”

Sebenarnya aksi militer Israel ini sudah diperkirakan akan terjadi. Uskup Episkopal Washington DC, John Bryson Chane, dalam khotbahnya 5 Oktober lalu sudah mewanti-wanti pemimpin dunia untuk berani bertindak, berteriak dan mengecam “pelanggaran HAM berat dan penolakan hak kebebasan beragama bagi warga Kristiani dan Muslim Palestina” oleh Israel yang sudah berlangsung selama 60 tahun. Namun seruan uskup Washington itu tidak diacuhkan oleh pemimpin baru Amerika yang mengusung semboyan “change” itu. Ketika mendapat informasi tentang serangan udara Israel ini, Obama berkata “no comment” pada media.

Pemimpin-pemimpin Amerika (baik Republikan maupun Demokrat) tercatat selalu membela Israel, termasuk Obama dan pejabat-pejabat pemerintahannya[1]. Tendensi pro-Israel pemimpin-pemimpin Amerika ini diakibatkan kedekatan mereka dengan kelompok Kristen Evangelical di Amerika (yang kemudian menjadi Christian-Zionist), yang juga sekutu dan pendukung utama Israel. Bagi mereka, aksi Israel sudah pas dengan yang digariskan di Perjanjian Lama. Disamping itu terdapat kekuatan besar Israel Lobby yang menguasai konggres Amerika di Washington.

Namun kedekatan itu bukan tanpa tantangan. Kelompok umat Kristiani yang tergabung dalam Gereja Presbyterian muak dengan aksi biadap Israel, sehingga beberapa tahun yang lalu, Gereja Presbyterian Amerika berkampanye untuk menarik segala investasi warga Amerika di perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan Israel. Namun aksi tersebut dikalahkan oleh kuatnya Israel Lobby. Analis Paul Craig Roberts, mengatakan, “Gereja Presbyterian tidak kuasa dalam memperjuangkan prinsip-prinsip Kristiani karena dipukul oleh Israel Lobby.” Dan itu tidak mengherankan, kata Roberts, karena “pemerintah Amerika juga tidak melaksanakan prinsip-prinsip Kristiani itu.”

Wacana Israel-Palestina juga diangkat oleh Capres independen dan Green, Ralph Nader dan Cynthia McKinney. Namun tentu saja mereka tidak laku di media besar (yang telah menjadi bagian dari sistem yang akan melanggengkan kekuasaan itu sendiri). Malah, berita terakhir, Capres Amerika 2008 dan aktivis Cynthia McKinney diserang Israel saat akan memasuki Gaza dengan kapal kecil yang membawa obat-obatan dan aktivis HAM Amerika.

Kekejaman Israel ini, di satu sisi membuat saya semakin optimis. Seperti kata analis politik progresif Amerika, Noam Chomsky, sejarah membuktikan bahwa setiap “empire” atau kekuatan yang selalu menghamba pada kekuasaan, dan mengabaikan prinsip-prinsip moral dasar universal yang dianut semua bangsa, pada akhirnya akan runtuh. Kekaisaran Tsar Russia, Soviet, kekaisaran Inggris, Portugis, Spanyol, Hitler, Nero, Suharto, Pinochet, dan masih banyak lagi adalah contohnya. Amerika dan Israel, menurut Chomsky, juga tidak akan terlepas dari hukum ini. Dan tanda-tanda keruntuhannya semakin jelas. Amerika, Israel, Inggris adalah negara-negara yang kebijakannya semakin tidak populer di mata dunia (seluruh negara anggota PBB kecuali ketiga negara itu), bahkan juga dimata rakyatnya sendiri. Protes dan aktivisme merebak dan muncul dimana-mana. Masyarakat luas semakin mudah mengakses informasi dan berinteraksi lewat media alternatif di internet. Bagaimanapun juga, Bush, Olmert, Livni, Ehud Barak, Netanyahu, Obama, Hillary dkk adalah minoritas di dunia ini. Dan sampai kapan mereka akan bertahan?

Sekarang sudah saatnya melampiaskan emosi kita dengan aksi yang nyata dan komitmen untuk melawan aksi Israel. Program Boycott, Divestment and Sanctions Movement for Palestine (http://www.bdsmovement.net/) memberikan jalan bagi kita untuk berbuat sesuatu.

Beberapa sumber-sumber tulisan bisa diakses di:

  1. Paul Craig Roberts, May We No Longer Be Silent. ICH 28 Desember 2008. http://www.informationclearinghouse.info/article21566.htm

  1. Amira Hass, 'Gaza strike is not against Hamas, it's against all Palestinians.' Ha’aretz 29 Desember 2008. http://www.haaretz.com/hasen/spages/1050688.html

  1. Gideon Levy, The Neighborhood Bully Strikes Again. Ha’aretz 29 Desember 2008. http://www.haaretz.com/hasen/spages/1050459.html

  1. Peter Beaumont, To Be In Gaza Is To Be Trapped, The Guardian. The Guardian Inggris 29 Desember 2008. http://www.guardian.co.uk/world/2008/dec/27/israelandthepalestinians-terrorism

  1. US Veto Blocks UN Anti-Israel Resolution, Press TV 28 Desember 2008. http://www.presstv.com/detail.aspx?id=79727&sectionid=351020202

  1. Matthew Rothschild, Bush Winks at Israel’s Slaughter in Gaza, While Obama and Clinton Are Silent. The Progressive 27 Desember 2008. http://www.progressive.org/mag/wx122708.html

  1. Amira Hass, Christmas In Gaza : No More Room In The Morgue. 'Little Baghdad' in Gaza - Bombs, Fear and Rage. Ha’aretz 28 Desember 2008. http://www.haaretz.com/hasen/spages/1050636.html

  1. Eyewitness: Chaos in Gaza. BBC 27 Desember 2008. dari ICH: http://www.informationclearinghouse.info/article21543.htm

  1. Ali Abunimah, Gaza Massacres Must Spur Us To Action. Electronic Intifada, ICH: http://www.informationclearinghouse.info/article21545.htm

  1. Israeli Attack on Gaza, Kills 195. Press TV 27 Desember 2008. http://www.presstv.com/detail.aspx?id=79641&sectionid=351020202

  1. More Than 200 Killed As Israel Drops 100 Tons Of Bombs In Gaza City. BBC, VOA, ICH. http://www.informationclearinghouse.info/article21546.htm

  1. Untuk selengkapnya baca artikel di http://www.informationclearinghouse.info/ dan ikuti links nya.


[1] Lihat tulisan saya “Obama dan penjahat-penjahat di pemerintahannya” di altermedianet.blogspot.com