Wednesday, January 7, 2009

“Saya akan mendengarkan musik dan merayakan serangan Israel ke Gaza”

Hidayat, 30 Desember 2008

"I will play music and celebrate what the Israeli air force is doing."

--Ofer Shmerling, seorang pegawai pertahanan sipil Israel di Sderot, seperti muncul dalam siaran TV Al Jazeera 27 Desember 2008.

Pernyataan Ofer Shmerling tadi digemakan ke seluruh dunia oleh Israel (yang menguasai sebagian besar media elit di Amerika dan Inggris), bahwa serangan brutal ini adalah sebuah “righteous violence” atau kekacauan yang dibenarkan. Ini adalah serangan “pertahanan diri” dari para “teroris keji.” Singkatnya, pemboman ini adalah “bombing for freedom, peace and democracy” atau “pemboman untuk kebebasan, perdamaian dan demokrasi.”

Setelah ngampet dan cari-cari alasan, akhirnya Israel melakukan serangan terbuka ke wilayah Gaza Palestina. Natal, tahun baru Hijriyah, dan tutup tahun di Gaza di warnai dengan jatuhnya lebih dari 390 korban sipil (dan terus bertambah—31 Desember 2008) akibat serangan udara militer Israel—serangan terbesar selama beberapa decade terakhir—yang kata Menlu Israel Tzipi Livni adalah untuk “melumpuhkan Hamas” dan “sebagai balasan atas serangan roket Hamas ke wilayah selatan Israel” (yang menewaskan 1 warga sipil Israel).

Pesawat F-16 dan helicopter Apache (bantuan Amerika) telah menjatuhkan lebih dari 100 ton bom ke “target-target Hamas”, yang maksudnya tentunya: masjid, sekolah, apartemen, dan rumah-rumah penduduk. Dilaporkan korban sebagian besar adalah warga sipil termasuk anak-anak dan perempuan disamping polisi sipil Palestina. Sementara Israel, lewat channel media besar berbahasa Inggrisnya di Barat, bersikukuh kalau serangan ini adalah serangan “balasan.”

Satu-satunya “rumah sakit” (kalau boleh dibilang begitu) di Gaza telah penuh dan terpaksa mengeluarkan pasiennya untuk diganti dengan korban serangan Israel. Kamar-kamar mayat sudah penuh berjejalan tubuh-tubuh dan potongan-potongannya. Sementara itu ibu-ibu berteriak-teriak histeris kemudian diam membisu. Kemarahan luar biasa menyelimuti warga Gaza dan Palestina. Namun di satu sisi politik Israel berhasil membuat warga Gaza putus asa dan mereduksi mereka ke level hidup atau mati.

Serangan ini adalah bentuk metode lain yang dilancarkan oleh politik Zionisme Israel, dari “silent genocide” ke “open massacre,” dari genosida tersembunyi ke pembantaian massal secara terbuka, untuk semakin mempersempit gerak warga Palestina dan mencaplok seluruh wilayahnya. Seperti dinyatakan oleh Ali Abuminah, penulis One Country: A Bold Proposal to End the Israeli-Palestinian Impasse (Metropolitan Books, 2006) dan pendiri The Electronic Intifada, serangan ini merupakan kelanjutan dari apa yang oleh media disebut sebagai “gencatan senjata.” Namun, yang tidak dipertanyakan oleh media besar Barat berbahasa Inggris adalah konsep “gencatan senjata” Israel, yang berarti: warga Palestina berhak diam ketika Israel mencaplok tanah mereka, menghancurkan rumah, membuat pemukiman illegal, membuat tembok rasisme apartheid, membunuh warga Palestina lewat blockade militer, menghentikan supplai bantuan internasional ke Gaza, mematikan aliran listrik, air dan bahan bakar, menghentikan bantuan pangan PBB sehingga saat Eid dan Natal warga Gaza harus makan rumput, menguras habis kesabaran dan kewarasan penduduk Palestina. Itulah konsep sebenarnya dari “gencatan senjata.” Dan ketika bangsa Palestina sudah tidak tahan dipermalukan, Israel menghukum mereka dengan serangan udara terbuka yang, menurut Jerusalem Post (26 Desember 2008), melibatkan lebih dari 60 pesawat tempur F-16 dan helicopter Apache (bantuan Amerika) dan menjatuhkan lebih dari 100 ton bom ke area yang sepenuhnya tidak punya pertahanan militer yang signifikan. Sementara pemimpin negara-negara Arab (kecuali Iran, Syria dan Sudan) memilih diam seakan-akan rakyatnya bodoh tidak tahu apa-apa dan seakan-akan kekuasaan tidak poluler mereka akan langgeng.

Dan seperti dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Israel, Ehud barak, aksi militer ini akan terus berlangsung dengan serangan darat menggunakan ratusan tank yang sudah berjajar di perbatasan Gaza, disamping kecaman seluruh dunia (catatan: Palestina tidak memiliki satu tank pun). “The operation will be deeper and expanded as much as necessary. . . . It won’t be short, and it won’t be easy.” Operasi ini akan diperluas dan akan memakan waktu yang lama. Dan alasannya selalu klasik: untuk menciptakan perdamaian, keamanan dan demokrasi.

Politik Zionisme memang menghendaki aksi-aksi seperti ini, kata sejarawan Israel Benny Morris. Diperlukan dua metode, “the way of transfer” (pengusiran) dan “ethnic cleansing” (pemusnahan etnis) untuk memurnikan Palestina dari warga Arab. Dan dua-duanya telah dan sedang terjadi dan akan terjadi (bila pemimpin dunia dan terutama Amerika tetap diam saja).

Sementara itu kemarin Amerika memveto resolusi Anti-Israel PBB yang akan dikeluarkan Dewan Keamanan PBB. Ini menambah daftar panjang Amerika yang sudah memveto lebih dari 40 resolusi Anti-Israel PBB sejak tahun 1972. Amerika lewat dubesnya untuk PBB beralasan bahwa “Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri.” Fuck!!! Mempertahankan diri dari nyamuk? Bush malah menyalahkan Hamas atas serangan ini. Diakhir masa jabatannya, si lame duck ini semakin tidak populer dengan menomorsatukan Israel dan menomor kesekiankan opini publik Amerika sendiri. Sementara itu, analis progresif Paul Craig Roberts menyatakan bahwa Israel telah melanggar hukum internasional sejak tahun 1967 dengan melakukan aksi “kejam, tidak berperikemanusiaan, barbar dan illegal” mereka.

Analis media liberal Israel Haaretz, Gideon Levy, 29 December 2008 menyatakan bahwa andaikata Israel memang mempunyai justifikasi atas serangan ini, respon Israel ini melebihi proporsi dan “melewati batas kemanusiaan, moralitas, hukum internasional dan keadilan.” “What began yesterday in Gaza is a war crime and the foolishness of a country”, kata Levy. Apa yang terjadi kemarin di gaza adalah kejahatan perang dan kebodohan yang dilakukan suatu negara. Ironi sejarah terulang bagi Israel yang dua bulan setelah pendiriannya, ia memulai perang besar, dan dua bulan sebelum pemerintahan Israel saat ini berakhir, ia juga memulai perang. Levy menambahkan, ini bukti betapa kontradiktif dan hipokrit Israel itu sendiri. Di satu sisi industri public relations Israel yang menyusup ke media-media besar selalu berkoar kalau Israel adalah negara cinta damai dan demokrasi namun kelakuannya sepenuhnya berkebalikan dengan omongannya. Ia menambahkan, aksi Israel ini malah akan memperkuat Hamas (yang sudah menyerukan gencatan senjata namun ditolak mentah-mentah oleh Israel), seperti juga Hezbollah yang menjadi semakin kuat dan populer setelah Israel menyerang Lebanon dua tahun lalu (yang mengakibatkan lebih dari 1000 korban sipil.

Sebagai catatan, Amerika, Israel dan Inggris pada tahun 2006 menuntut Palestina melaksanakan pemilu yang demokratis dan adil. Pemilu yang memang demokratis dan adil menurut observer internasional (PBB) itu memunculkan Hamas sebagai pemenang. Namun setelah Hamas terpilih secara demokratis (dipilih mayoritas rakyat Palestina), Palestina malah dihukum dengan blockade militer dan ekonomi, yang oleh PBB disebut sebagai “collective punishment” (hukuman kolektif), istilah yang mengacu pada politik menghukum seluruh warga Palestina karena “kesalahan” Hamas yang menang pemilu (seperti terjadi juga di Kuba). Collective punishment melanggar hukum internasional dan yang melaksanakannya bisa di gantung pengadilan Nuremberg (pengadilan bagi pemimpin Nazi) sebagai penjahat perang.

Sementara itu seluruh dunia mengecam pembantaian massal Israel. Protes besar-besaran terjadi di Inggris, Berlin, Athena, Roma, New York dan di tempat-tempat lainya. Aksi solidaritas juga terjadi di Havana dan Caracas disamping protes di Timur Tengah dan Asia. Paus Benedictus mendesak Israel segera menghentikan kekerasan terhadap warga sipil. Namun, seperti biasa, Israel, Amerika dan Inggris tentu tidak menghiraukan omongan orang tua ini.

Yang menggelikan dan tidak tahu malu tentunya adalah presiden terpilih Obama dan menlu nya, Hillary Clinton, yang memilih diam saja melihat serangan ini (ironis dengan semboyannya “Change we can believe in”). Sayangnya publik dunia terlena dengan ilusi “change” nya Obama dan melewatkan fakta bahwa tim pemerintahan Obama dijejali pejabat-pejabat Israel Lobby.

Bagi Amerika dan Inggris, Israel tidak bisa berbuat salah. Israel tidak harus membuka blokadenya, membiarkan bantuan pangan, medis, listrik, minyak, air masuk Gaza, membunuh anak-anak Palestina, namun Hamas harus menghentikan serangan roket Qossam buatan rumahan mereka. Begitulah gambaran superioritas moral Amerika dan Inggris. Seperti kata Hanan Ashrawi, aktivis HAM Amerika, “Israel sudah terbiasa dibiarkan untuk tidak mempertanggung jawabkan kelakuannya dan berada diatas segala hukum.”

Sebenarnya aksi militer Israel ini sudah diperkirakan akan terjadi. Uskup Episkopal Washington DC, John Bryson Chane, dalam khotbahnya 5 Oktober lalu sudah mewanti-wanti pemimpin dunia untuk berani bertindak, berteriak dan mengecam “pelanggaran HAM berat dan penolakan hak kebebasan beragama bagi warga Kristiani dan Muslim Palestina” oleh Israel yang sudah berlangsung selama 60 tahun. Namun seruan uskup Washington itu tidak diacuhkan oleh pemimpin baru Amerika yang mengusung semboyan “change” itu. Ketika mendapat informasi tentang serangan udara Israel ini, Obama berkata “no comment” pada media.

Pemimpin-pemimpin Amerika (baik Republikan maupun Demokrat) tercatat selalu membela Israel, termasuk Obama dan pejabat-pejabat pemerintahannya[1]. Tendensi pro-Israel pemimpin-pemimpin Amerika ini diakibatkan kedekatan mereka dengan kelompok Kristen Evangelical di Amerika (yang kemudian menjadi Christian-Zionist), yang juga sekutu dan pendukung utama Israel. Bagi mereka, aksi Israel sudah pas dengan yang digariskan di Perjanjian Lama. Disamping itu terdapat kekuatan besar Israel Lobby yang menguasai konggres Amerika di Washington.

Namun kedekatan itu bukan tanpa tantangan. Kelompok umat Kristiani yang tergabung dalam Gereja Presbyterian muak dengan aksi biadap Israel, sehingga beberapa tahun yang lalu, Gereja Presbyterian Amerika berkampanye untuk menarik segala investasi warga Amerika di perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan Israel. Namun aksi tersebut dikalahkan oleh kuatnya Israel Lobby. Analis Paul Craig Roberts, mengatakan, “Gereja Presbyterian tidak kuasa dalam memperjuangkan prinsip-prinsip Kristiani karena dipukul oleh Israel Lobby.” Dan itu tidak mengherankan, kata Roberts, karena “pemerintah Amerika juga tidak melaksanakan prinsip-prinsip Kristiani itu.”

Wacana Israel-Palestina juga diangkat oleh Capres independen dan Green, Ralph Nader dan Cynthia McKinney. Namun tentu saja mereka tidak laku di media besar (yang telah menjadi bagian dari sistem yang akan melanggengkan kekuasaan itu sendiri). Malah, berita terakhir, Capres Amerika 2008 dan aktivis Cynthia McKinney diserang Israel saat akan memasuki Gaza dengan kapal kecil yang membawa obat-obatan dan aktivis HAM Amerika.

Kekejaman Israel ini, di satu sisi membuat saya semakin optimis. Seperti kata analis politik progresif Amerika, Noam Chomsky, sejarah membuktikan bahwa setiap “empire” atau kekuatan yang selalu menghamba pada kekuasaan, dan mengabaikan prinsip-prinsip moral dasar universal yang dianut semua bangsa, pada akhirnya akan runtuh. Kekaisaran Tsar Russia, Soviet, kekaisaran Inggris, Portugis, Spanyol, Hitler, Nero, Suharto, Pinochet, dan masih banyak lagi adalah contohnya. Amerika dan Israel, menurut Chomsky, juga tidak akan terlepas dari hukum ini. Dan tanda-tanda keruntuhannya semakin jelas. Amerika, Israel, Inggris adalah negara-negara yang kebijakannya semakin tidak populer di mata dunia (seluruh negara anggota PBB kecuali ketiga negara itu), bahkan juga dimata rakyatnya sendiri. Protes dan aktivisme merebak dan muncul dimana-mana. Masyarakat luas semakin mudah mengakses informasi dan berinteraksi lewat media alternatif di internet. Bagaimanapun juga, Bush, Olmert, Livni, Ehud Barak, Netanyahu, Obama, Hillary dkk adalah minoritas di dunia ini. Dan sampai kapan mereka akan bertahan?

Sekarang sudah saatnya melampiaskan emosi kita dengan aksi yang nyata dan komitmen untuk melawan aksi Israel. Program Boycott, Divestment and Sanctions Movement for Palestine (http://www.bdsmovement.net/) memberikan jalan bagi kita untuk berbuat sesuatu.

Beberapa sumber-sumber tulisan bisa diakses di:

  1. Paul Craig Roberts, May We No Longer Be Silent. ICH 28 Desember 2008. http://www.informationclearinghouse.info/article21566.htm

  1. Amira Hass, 'Gaza strike is not against Hamas, it's against all Palestinians.' Ha’aretz 29 Desember 2008. http://www.haaretz.com/hasen/spages/1050688.html

  1. Gideon Levy, The Neighborhood Bully Strikes Again. Ha’aretz 29 Desember 2008. http://www.haaretz.com/hasen/spages/1050459.html

  1. Peter Beaumont, To Be In Gaza Is To Be Trapped, The Guardian. The Guardian Inggris 29 Desember 2008. http://www.guardian.co.uk/world/2008/dec/27/israelandthepalestinians-terrorism

  1. US Veto Blocks UN Anti-Israel Resolution, Press TV 28 Desember 2008. http://www.presstv.com/detail.aspx?id=79727&sectionid=351020202

  1. Matthew Rothschild, Bush Winks at Israel’s Slaughter in Gaza, While Obama and Clinton Are Silent. The Progressive 27 Desember 2008. http://www.progressive.org/mag/wx122708.html

  1. Amira Hass, Christmas In Gaza : No More Room In The Morgue. 'Little Baghdad' in Gaza - Bombs, Fear and Rage. Ha’aretz 28 Desember 2008. http://www.haaretz.com/hasen/spages/1050636.html

  1. Eyewitness: Chaos in Gaza. BBC 27 Desember 2008. dari ICH: http://www.informationclearinghouse.info/article21543.htm

  1. Ali Abunimah, Gaza Massacres Must Spur Us To Action. Electronic Intifada, ICH: http://www.informationclearinghouse.info/article21545.htm

  1. Israeli Attack on Gaza, Kills 195. Press TV 27 Desember 2008. http://www.presstv.com/detail.aspx?id=79641&sectionid=351020202

  1. More Than 200 Killed As Israel Drops 100 Tons Of Bombs In Gaza City. BBC, VOA, ICH. http://www.informationclearinghouse.info/article21546.htm

  1. Untuk selengkapnya baca artikel di http://www.informationclearinghouse.info/ dan ikuti links nya.


[1] Lihat tulisan saya “Obama dan penjahat-penjahat di pemerintahannya” di altermedianet.blogspot.com

No comments: