Thursday, February 11, 2010

Refleski Tentang Media (2)


(sambungan dari “Refleksi Tentang Propaganda”)

10 Feb 2010

Pada dasarnya media punya dua fungsi dasar: pertama untuk mendoktrin kaum elit agar mereka tahu bagaimana tata cara melayani penguasa, dan yang kedua, menjauhkan kaum “tidak elit” dari perdebatan publik supaya mereka tidak sok turut campur dalam proses pengambilan keputusan di pemerintahan.


1. Media sebagai alat indoktrinasi bagi kaum elit


Kaum elit disini mencakup mereka yang termasuk dalam “kelas politik,” yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Ada politikus, hakim, jaksa, DPR, mentri, presiden…(silakan teruskan sendiri). Lalu, yang termasuk kaum elit lainya adalah “kelas bisnismen,” yaitu pengusaha besar dan semua yang terlibat dalam penentuan kebijakan perusahaan. Nah lalu kaum elit yang ketiga adalah “kelas intelektual,” atau para orang pintar di universitas-universitas: ada professor, mahasiswa-mahasiswi, dan orang-orang yang mengaku intelek, melek huruf dan senang nonton berita, termasuk para jurnalis.


Kaum elit adalah segmen masyarakat yang paling terdoktrin oleh media, karena mereka paling banyak ter-ekspose oleh propaganda, dan kebanyakan memang terjun langsung dalam penentuan kebijakan publik. Mereka membaca koran-koran, majalah, dan media-media yang juga elit, atau yang tidak mungkin bisa dipahami orang awam. Musik mereka pun kadang-kadang ikut nyleneh, susah dipahami. Kok musik, sampai makanan pun juga pilih-pilih. Pokoknya mereka suka sekali sama sesuatu yang serba rumit dan ruwet, dan biasanya semakin ruwet dan aneh semakin menarik bagi mereka.


Kalau di Amerika, mereka membaca New York Times, atau Washington Post atau Wall Street Journal. Kalau di Indonesia mereka membaca Kompas, Media Indonesia atau apalah saya nggak peduli… Tetapi bukan berarti seluruh konten dari media-media mainstream tersebut adalah propaganda. Konten bisa saja faktual, tone-nya biasanya sangat propagandis…hehehehe….


Kenapa kelas politik, kelas bisnis, dan kelas intelektual masuk dalam kaum elit yang paling menderita karena propaganda? Ya karena mereka bertiga itu ibarat simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan dan kait mengait. Para politikus yang dipimpim presiden harus pintar membahagiakan orang-orang kaya (pebisnis raksasa, terutama yang datang dari negeri Barat), karena kalau orang kaya sampai sedih, siapa yang akan berinvestasi? Itulah mengapa ada Pasar Bebas. Rakyat dan pengusaha kecil boleh saja susah, dan harus dicambuk biar tidak cengeng. Tapi ingat, jangan sekali-kali mengecewakan orang-orang kaya, nanti yang namanya “Enokomi”, yang sampai jadi ilmu pengetahuan itu, runtuh. Kalau sampai runtuh, ibu Menkeu yang susah. Kemudian, kelas pebisnis juga harus jeli memilih teman di dunia politik (termasuk memilih presiden), salah-salah malah gak jadi untung berlimpah. Kelas intelektual juga gak mau kalah, mereka tugasnya menjaga kelangsungan sistem ini sampai generas-generasi selanjutnya--singkatnya, menjadi pewaris.


2. Media untuk menjauhkan kaum non-elit (rakyat biasa, wong ndeso, dll) dari perdebatan publik.


Kemudian, fungsi kedua dari media adalah untuk menjauhkan orang awam dari pengetahuan-pengetahuan yang penting-penting, agar urusan-urusan penting hanya diurusi oleh orang-orang penting saja. Siapa orang-orang penting itu? Ya ketiga kelas masyarakat yang sudah disebutkan diatas. Kaum awam jangan sampai tahu kalau ada sesuatu.


Kaum awam itu liar, tidak tahu tata krama, yang apabila tahu sedikit saja, bisa mengamuk tidak karuan. Jadi harus ada media yang membuat mereka tetap dungu…boso Jowone, ngah ngoh…nek ditakoni gur “ha he ha he…” Kalau orang pintar membaca Kompas dll. orang awan juga harus dikasih bacaan, biar tetap sibuk. Maka muncullah media-media hiburan, ada gossip, sinetron, tontonan misteri, filem layar lebar, acara masak-memasak, MTV, siaran sepak bola dan seterusnya. Lalu apa orang awam tidak butuh berita? Oke lah…kasih saja berita-berita semacam bayi berkepala tiga (kata Chomsky), kekerasan sex dll. Pokoknya orang awam harus dikasih sesuatu yang “tidak serius” seperti itu. Boleh lah, sekali dalam lima tahun mereka memilih presiden, tapi jangan lebih dari itu. Bilang saja kalau politik itu menakutkan…beres masalahnya.


Kadang-kadang, ada juga orang awam yang bisa naik derajatnya. Misalnya, ada anak-anak mereka yang disosialkan di universitas-universitas atau di sekolah-sekolah (bahkan sekolah internasional), sehingga anak-anak mereka tahu tata krama dalam melayani penguasa, yaitu pemerintah dan korporasi. Tapi kebanyakan dari orang awam memang harus tetap jadi awam, agar pebisnis tidak kehabisan konsumen.


3. Produk Dari Media


Ibarat jual beli lele dumbo di pasar, media juga menjual produknya. Lalu apa produk dari media? Dan siapa pembelinya? Produk dari media adalah pembacanya sendiri. Sedangkan pembeli dari produk tersebut adalah advertiser, alias pengiklan, alias dunia bisnis (iki kok malah dadi muter-muter…biarin, biar kelihatan intelek).


Begini. Media (mainstream) dapat duit dari mana? Apakah dari jualan koran, misalnya? Atau dari siaran TV? Media kemungkinan malah merugi ketika mereka harus cetak koran atau majalah, warna-warni lagi. Media dapat duit dari IKLAN. Ada iklan hape, blekberi, mobil, rumah mewah sampai iklan sedot WC otomatis.


Nah, kita sudah tahu bahwa kebanyakan media mainstream (besar) hidup dari iklan. Nah bagaimana cara media agar para pengiklan terus mengiklan di media-media tersebut? Gimana agar pengiklan tersebut tidak lari? Jawabannya, harus ada “kesepakatan.” Maksudnya, kepentingan media harus sepakat dengan kepentingan dunia bisnis. Kalau dalam dunia bisnis sekarang yang sedang nge-tren adalah pasar bebas, ya jangan sekali-kali media mengkritik pasar bebas. Gitu aja kok repot.


Jadi, kesimpulannya adalah masyarakat sebagai produk dari media (pembaca media) “dijual” kepada dunia bisnis untuk dijadikan konsumen. Analogi ini akan lebih mudah dipahami bila kita bicara tentang media hiburan bagi orang awam. Lalu bagaimana dengan media elit? Sama saja. Kaum elit pembaca media elit tersebut juga “dijual” kepada dunia bisnis. Tetapi bukan sekedar menjadi konsumen, kaum elit tersebut nanti akan menjadi manusia-manusia “istimewa” penerus sistem yang agak kompleks ini.


Intinya adalah, jalinan diantara kaum elit (politikus, pebisnis dan intelektual) tersebut tersusun sangat rapi dan otomatis. Mengapa? Karena kepentingan mereka sama, yaitu menjalankan roda sistem ini tanpa gangguan orang-orang dungu yang jadi mayoritas. Kok kepentingan mereka bisa sama? Lha karena mereka semua telah disosialkan, semenjak TK sampai universitas. Gimana nggak sama?


Nah itulah pentingnya sekolahan sebagai salah satu alat indoktrinasi masyarakat….(yang akan dibahas dalam tulisan-tulisan selanjutnya, InsyaAllah).


Salam hangat-hangat nikmat...

Muhamad Hidayat.

(seri tulisan: “Demokrasi: Othak Athik Mathuk”)

Sumber: Noam Chomsky, “Understanding Power.”

Chomsky, “Media Control.”

Dll.

Refleksi Tentang Progaganda (1)

(seri Open Media Pamphlet : "Demokrasi: Othak Athik Mathuk")
Hidayat, 18 September 2009

Ketika kita merayakan demokrasi, dengan berbagai atributnya—kebebasan bereskpresi, berpendapat, menentukan pilihan, multikulturalisme dll—kita sering kali lupa dan tidak sadar bahwa demokrasi itu sendiri telah berevolusi menjadi sistem politik dan pemerintahan yang pada intinya bersifat sangat anti-demokratis. 

Kamus “Oxford Guide to Philosophy” (2005) bahkan sudah memberi berbagai penjelasan tambahan seputar evolusi ini dalam inputnya “demokrasi” (hal. 196). Ada berbagai fitur dalam demokrasi, namun yang terpenting adalah bahwa demokrasi memungkinkan adanya partisipasi masyarakat (orang dewasa) secara efektif dalam penentuan kebijakan publik. Namun bila kita cermati kebanyakan sistem pemerintahan demokrasi Barat, semenjak awal abad 20, justru selalu (dan pasti) berusaha untuk menjauhkan masyarakat (rakyat) dari pengetahuan tentang berbagai kebijakan berhubungan hajat hidup mereka sendiri. Singkatnya, pemerintahan selalu berupaya untuk memanipulasi massa atas nama demokrasi, sehingga semua warganya merasa sudah berpatisipasi secara efektif dalam sistem tersebut, supaya mereka merasa dilibatkan dalam sistem yang serba benar ini, dan supaya rakyat mendukung kebijakan yang bertolak belakang dengan kepentingan mereka sendiri. Kok bisa? Ya bisa saja. Kita harus berterima kasih kepada yang namanya “propaganda” atas semua ini. Propaganda adalah alat pemerintah yang sangat efektif untuk memanupilasi mood masyarakat, bahkan MEMBENTUK opini dan perilaku, yang sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi, karena sistem ini bertumpu pada dukungan mayoritas.

1. Sejarah Singkat Propaganda

Propaganda intinya adalah penyebaran informasi dalam bentuk apapun dan tidak berhubungan dengan konotasi negatif atau positif. Kata ini sama netralnya dengan kata “pompa,” kata Chomsky. Kalau dulu, bahasa (retorika) menjadi penting dalam demokrasi, dan sekarang juga masih penting, karena bahasa adalah alat komunikasi untuk membentuk perilaku dan memaksakan kepatuhan dan subordinasi, namun, mulai awal abad 20, sistem demokrasi bertumpu pada propaganda, yang sudah menjadi industri, alias industri informasi, dimana bahasa hanya menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Propaganda lahir di negara demokrasi, yaitu Inggris dimasa Perang Dunia I, yang ditandai dengan dibentuknya Kementrian Informasi (Ministry of Information—namanya saja sudah sangat Orwellian, jika anda pernah membaca novel “1984” dari George Orwell). Sedikit background sejarah, saat itu (PD I), Inggris sedang berperang melawan Jerman. Inggris sadar bahwa imperiumnya segera berakhir di tangan Jerman, yang saat itu merupakan kekuatan yang paling hebat di Eropa. Inggris nyaris kalah, dan Jerman hampir menguasai Eropa. Namun Inggris cerdik, mereka tahu satu-satunya kekuatan yang bisa melawan Jerman hanyalah Amerika, yang saat itu adalah negara paling makmur di dunia dengan standar hidup paling tinggi, namun sama sekali tidak tertarik dengan perang di Eropa. Kementrian Informasi Inggris itu secara khusus dibentuk untuk menyebarkan propaganda ke Amerika dan menariknya ke dalam Perang Dunia I di Eropa (membantu Inggris), dan secara umum bertujuan untuk “menuntun pandangan seluruh dunia.” Populasi Amerika saat itu sebetulnya sangat pasifis dan anti-perang. Bahkan Wodrow Wilson terpilih menjadi presiden di tahun 1910 dalam platform yang sangat pasifis dan penuh kedamaian. Jargonnya saat itu adalah “Peace Without Victory.”

Tugas yang menantang bagi Inggris untuk menyeret Amerika ke medan perang. Target dari operasi propaganda Inggris adalah para intelektual liberal Amerika, yang tentu lebih bisa dipercaya rakyat Amerika. Inggris meyakinkan para intelektual tersebut (para professor universitas) bahwa perang Inggris adalah mulia, dan kalau Amerika tidak mau membantu Inggris, Jerman akan menguasai Eropa dan akhirnya akan menyerang Amerika (sebuah alasan yang sangat lucu). Singkatnya, propaganda Inggris berhasil. Kemudian, menjadi tugas para intelektual tersebut untuk membujuk masyarakat luas agar mau berperang. Secara singkat, mereka berhasil mengubah opini massa, dari massa yang sangat anti-perang menjadi massa anti-Jerman fanatik (kasus ini sangat menarik, karena ini kasus pertama dimana para intelektual, bukan politisi, berperan untuk membelokkan opini rakyat agar pro-perang. Kasus ini juga menjadi refleksi betapa kaum intelektual adalah sebuah alat pemerintahan).

Amerika akhirnya turut berperang. Jerman kalah. Dan inilah mulanya Amerika menjadi negara adikuasa, menggantikan imperium Inggris yang hancur diserang Jerman. Amerika menjadi kuat karena ia adalah satu-satunya negara yang tidak dirugikan dalam Perang Dunia I, disaat semua negara Eropa bangkrut. Propaganda menjadi sangat sukses dan terkenal. Bahkan, kaum Bolshevik juga tertarik untuk menggunakannya, tentu dengan metode yang lebih ekstrim. Kalau anda pernah membaca Mein Kampf, Adolf Hitler sangat terpukau dengan propaganda ini, dan ia sendiri bilang kalau kekalahan Jerman di PD I adalah kekalahan propaganda. Tidak heran jika ia kemudian ikut-ikutan menggunakannya untuk memanipulasi dan membentuk opini massa Jerman di Perang Dunia II, sehingga Jerman benar-benar menjadi kekuatan yang mengerikan dan kejam, namun kompak. Hanya setelah digunakan Hitler ini (dan nanti oleh Soviet), kata “propaganda” menjadi seakan-akan berkonotasi negatif.

2. Propaganda, Public Relations dan Demokrasi

Kesuksesan Propaganda di Amerika berada di tangan para orang-orang pintar alias kaum intelektual (kayaknya, dimana saja orang pintar selalu membodohi masyarakat). Salah satu orang yang berperan penting dalam mengembangkan propaganda menjadi skala industri adalah Edward Bernays dan Walter Lippmann. Jika anda kuliah di Public Relations dan Ilmu Komunikasi, orang –orang ini tentu menjadi guru atau suhu anda. Mereka menulis jika kita (pemerintahan) bisa mengontrol “pemikiran massa,” maka kita bisa membentuk opini dan perilaku mereka (rakyat). Catat: ini sangat penting, mengontrol pikiran. Dalam kata-kata Lippmann, ini disebut “manufacture of consent” atau “memproduksi kesepakatan.” Bahkan menurut Bernays, dalam bukunya berjudul “Propaganda”[1], proses memproduksi kesepakatan ini adalah “inti dari proses demokrasi.”

Penting dicatat, saat itu, (1920an), Amerika dan Eropa ada dimasa industrialisasi besar-besaran—menuju pergantian industri berbasis batubara menjadi industri berbasis minyak. Dan propaganda menjadi sangat efektif untuk melumpuhkan kekuatan-kekuatan kelas pekerja. Dan ini adalah periode lahirnya korporasi (bahasa tentang korporasi ada di tulisan selanjutnya). Korporasi dan pemerintah, setelah tahu rumus untuk menjinakkan massa, memaksa para pekerja menjadi robot hidup yang segala gerakannya diatur. Bolsheviknya Lenin tentu tidak mau ketinggalan. Mereka ikut-ikutan mengadopsi propaganda untuk “merobotkan” kaum komunis di seluruh dunia.

Yang menarik, pemerintah tidak hanya ingin mengontrol para pekerja, namun seluruh rakyat, agar opininya seragam, dan agar semua patuh, walau masyarakat sendiri tidak sadar kalau mereka patuh, dan masih saja teriak-teriak kebebasan. Lalu muncullah industri Public Relations, yang tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah, tapi juga bagi dunia bisnis. Salah satu contoh menarik, dalam film “The Century of Self,” anda akan tahu mengapa saudara-saudara putri kita sekarang banyak yang merokok. Itu karena pada tahun 20an, si Bernays dan korporasi rokok Amerika mengotak-atik teori Psikoanalisis untuk menjustifikasi bahwa wanita berhak merokok.

Nah, dalam usaha mengontrol masyarakat bukan pekerja (masyarakat umum), industri Public Relations memfokuskan diri untuk menginstall “philosophy of futility” atau “filsafat kesia-siaan” pada masyarakat, dengan memaksakan “hal-hal superfisial atau tidak penting dalam kehidupan, seperti konsumerisme fashion.” Biarkan masyarakat yang bodoh bebas untuk terjun kedalam konsumerisme, fashion, music, olah-raga, style agar mereka tidak paham apa yang dilakukan pemerintah mereka. Biarkan orang-orang pintar (politikus dan para intelek) yang mengurus segalanya. Kita harus mengontrol pikiran dan perasaan masyarakat karena mereka sangat berbahaya, seperti saya. Ini merupakan salah satu ciri penting dalam demokrasi kontemporer, dimana asumsi bahwa “manusia adalah hakim terbaik untuk dirinya” benar-benar ditolak mentah-mentah. Jika anda kuliah di Komunikasi, anda tentu kenal Harold Lasswell. Ia berkata terang-terangan bahwa kita (politikus dan intelektual) tidak boleh menyerah begitu saja pada asumsi “dogmatis” tersebut. Masyarakat terlau bodoh untuk paham apa kepentingan mereka sendiri. Para politikus dan intelektual tentu berpikir bahwa “kami adalah hakim terbaik bagi anda,” jadi anda manut-manut saja, gak usah aneh-aneh. Sekali dalam lima tahun boleh lah anda nyontreng, setelah itu, lanjutkan nonton sepakbolanya, kata Chomsky. Lalu kita masih saja teriak demokrasi? Nangis darah saya.

Industri Public Relations tersebut, semenjak awal abad lalu, telah berkembang-biak menjadi industri skala besar, mulai dari industri periklanan, media, sampai sekolahan dan universitas. Tujuannya satu, mengontrol pikiran, perasaan dan membentuk opini publik atas nama demokrasi, menjinakkan masyarakat dan membuat mereka patuh serta mematikan pikiran dan kritisisme. Dan anehnya industri ini berkembang di negara-negara demokrasi. Mengapa? Karena jika anda bisa mengontrol masyarakat dengan senjata seperti di Soviet dan negara komunis lainnya, anda tidak perlu susah-susah mengontrol pikiran dan perasaan masyarakat. Tapi ketika mengontrol massa dengan senjata menjadi sudah terlalu kuno dan fulgar, kontrol atas pikiran dan perasaan dan “produksi kesepakatan” menjadi penting sekali.

Nah kira-kira seperti itulah wajah demokrasi saat ini, yang selalu diagung-agungkan dan anti-kritik. Kalau kita cermati, ciri-ciri diatas justru bertolak belakang dengan konsep “demokrasi” itu sendiri, dimana, salah satu prinsipnya, manusia adalah hakim bagi dirinya. Kita saat ini tidak memiliki kontrol dan alat efektif untuk menyalurkan suara kita (yang ini juga bertolak belakang dengan prinsip demokrasi dalam kamus). Ketika serikat buruh dalam negara industri telah dimatikan, rakyat otomatis tidak punya kontrol atas kebijakan pemerintah. Kalau kita cermati lagi, sistem demokrasi ini sangat bersifat “top-down” alias terkontrol dari atas, persis seperti Leninisme. Nah sekarang pertanyaanya bukan apa pilihan lain selain demokrasi? Tapi bagaimana kita bisa memiliki alat yang efektif dan partisipasi yang bermakna dalam proses demokrasi? Salah satu upaya yang paling mendesak kita lakukan, menurut saya, adalah memahami dan mulai bertanya apakah apa yang kita lakukan berdasar pada kesadaran kita atau bukan. Selama kita masih terjebak dalam propaganda, dengan berbagai alatnya yang indah-indah dan nikmat, senikmat seks dan konsumerisme, kita tidak akan mampu bergerak dan memulai suatu gerakan, menurut kapasitas dan peran masing-masing. Sadarkah kita akan pilihan kita?
Bahasan ini belum mencakup masalah korporasi, media dan dunia pendidikan secara spesifik, yang juga merupakan komponen penting dalam demokrasi kontemporer. Semoga umur masih mempertemukan kita. Selamat idul fitri, mohon maaf lahir dan batin.
“Apakah kau pernah, merasa semua, yang tlah kau dapatkan, terbuang percuma, dan seakan semuanya, menghilang sia-sia?”
[1] Buku “Propaganda” dari Edward Bernays merupakan buku yang sangat menggemparkan dan mudah dibaca. Bagi anda yang tertarik, saya punya e-booknya, silakan hubungi saya di muhamadhidayat@hotmail.com.

Sumber utama:
1. Noam Chomsky, “Imperial Ambitions.”
2. Noam Chomsky, “What makes mainstream media mainstream”
3. Edward Bernays, “Propaganda.”
4. Film documenter, “The Century of Self.” Bisa di tonton (dicuri) di YouTube atau GoogleVideo.
5. Ted Honderich (ed.), “Oxford Guide to Philosophy”
6. Hidayat, “Dunia Buta Huruf”
Media alternative (anarkis):

Dunia Buta Huruf


Hidayat, 13 April 09


Analisis singkat atas artikel dari Chris Hedges berjudul “America the Illiterate” yang muncul di kolomnya di TruthDig.com dan Information Clearing House.


Chris Hedges memang telah menjadi salah satu favorit saya. Ia adalah jurnalis independen terkemuka dan penulis. Bukunya yang terkenal adalah “I Don’t Believe in Atheists” yang menjadi pegangan para anti-Atheists di Amerika. Kalau saya tetep “I Don’t Believe in Atheists”, tapi Atheists tetep sahabat baik saya.


Artikel “America the Illiterate” menurut saya adalah artikel paling mengerikan sepanjang sejarah saya membaca. Sangat comprise dan compact, penuh dengan makna dan berbobot sekali, disamping tentu saja nylekit dan menyinggung semua orang di dunia (saya suka itu…). Belum pernah saya mendapati artikel se hebat itu. Tulisan2 Chris memang selalu menarik, itulah kenapa ia pernah mendapat hadiah Pulitzer di bidang jurnalisme. Berikut adalah analisis singkat atas “America the Illiterate”.


Artikel ini pada dasarnya memunculkan tesis dari Chris Hedges bahwa dunia kita terbagi menjadi dua. Yaitu:


1. Dunia literate (melek huruf) minoritas yang bergerak pada lingkup “print-based, literate world” atau dunia berbasis tulisan.


2. Dunia illiterate (buta huruf) mayoritas yang bergerak pada lingkup “non-reality-based belief system”, atau dunia yang berbasis pada “sistem kepercayaan berdasar non-realitas.”


Dikotomi ini lebih mengerikan daripada sekedar perbedaan agama, gender, kelas, ras, warna kulit dan sebagainya yang tidak penting-tidak penting itu. Keduanya adalah entitas yang sangat antagonistis, melebihi dari sekedar perbedaan yang sifatnya trivial semacam perbedaan kepercayaan yang digembar-gemborkan oleh orang-orang tolol semacam Netanyahu, Bush dan bin Laden. Berikut ulasan singkatnya.


Menurut Chris Hedges, manusia “melek huruf” pada dasarnya mampu “cope with complexity and has the intellectual tools to separate illusion from truth” atau bisa menghadapi kompleksitas dunia dan mempunyai alat intelektual untuk membedakan antara ilusi dan kebenaran. Ingat: alat intelektual, bukan perasaan. Kemudian manusia mayoritas saat ini (si buta huruf), pada dasarnya bergantung pada “skillfully manipulated images for information, [that] has severed itself from the literate, print-based culture.” Atau bergantung pada imej-imej yang dimanipulasi secara canggih sehingga dikira sebuah informasi (gambar sebagai informasi). Mereka jauh dari dunia melek huruf dan kultur berbasis tulisan.


Yang paling membedakan diantara keduanya adalah bahwa si buta huruf tadi tidak bisa membedakan mana yang ilusi dan mana kebenaran. Mereka “terdidik” oleh naratif-naratif dan klise-klise kekanak-kanakan yang sama sekali over-simplifikatif. Yang dimaksud “melek huruf” tentu saja belum tentu mereka yang suka membaca buku dan sebagainya, tapi yang mampu menganalisa informasi dari sebuah teks.


Kasus yang diangkat oleh Chris adalah fenomena yang terjadi di Amerika dimana sepertiga rakyat amerika adalah “buta huruf” dan 42 % dari lulusan universitas Amerika tidak pernah membaca buku setelah mereka lulus. Angka-angka itu mungkin masih lebih lumayan daripada di Indonesia, mungkin. Dan angka-angka tadi semakin besar mengingat mereka yang seharusnya “melek huruf” (mereka yang bisa membaca dan terdidik di sekolah) malah ikut terjun bebas ke dalam dunia non realitas yang berisi gambar-gambar yang dikira informasi. Kultur gambar, bukan kultur tulisan, yang disebarluaskan oleh media. Semuanya kan sekarang berbentuk gambar-gambar yang menarik hati. Video music, film-film, siaran olah-raga, siaran gossip, iklan-iklan, dan semuanya yang ada di televisi itu. Orang sekarang lebih memilih nonton gambar-gambar bergerak itu daripada membaca, dan mereka mengangga itu semua sebagai informasi. Maka tidak heran jika orang nonton, misalnya film Pearl Harbor yang keren dan mengharukan itu, menganggap itu semua sebagai sebuah informasi dan kebenaran. Instant.


Dalam konteks pemilu saat ini, kita bisa semakin menganalisa mereka yang buta huruf. Si buta huruf ini sebenarnya tidak memilih karena mereka tidak bisa membuat keputusan berdasar informasi tekstual. Semua tertipu oleh propaganda politik yang dikemas menjadi slogan-slogan murahan. Kampanye politik dibuat oleh industri Public Relation agar memiliki imej yang menyamankan. Mereka tidak memerlukan keahlian kognitif dan kritis. Tujuan kampanye tersebut adalah untuk menyulut euforia pseudo-religious, penguatan dan “collective salvation.” Kampanye yang sukses berarti kampanye yang menggunakan instrument-instrumen psikologis untuk memanipulasi mood masyarakat, emosi dan impuls, yang kebanyakan tidak disadari (subliminal). Kampanye politik (dan apapun yang ada di media) memunculkan sebuah ekstasi kebersamaan yang meruntuhkan kreativitas individualitas dan yang menyuburkan kebodohan dan kecerobohan (tapi kan kolektif, hehe..). Mereka bergantung pada style dan story bukan isi, histori dan realitas. Realitas adalah tidak relevan, yang penting narasi-narasi. Mereka memilih ilusi-ilusi yang membahagiakan. Mereka bingung membedakan perasaan dan pengetahuan. Dan mereka akan tetap powerless dan lemah setelah pemilu usai, karena mereka tidak paham mengapa hidup mereka masih saja susah, atau tetangganya masih susah, masih saja menganggur, dan setelah semua tak tertahankan, mereka berduyun-duyun pergi ke mesjid atau gereja atau apapun itu untuk merengek minta mati.


Di Amerika, budaya gambar ini sudah sangat akut di masyarakat. Misalnya orang lebih memilih makanan cepat saji, karena murah dan memilihnya lewat gambar, gak harus membaca menu dll. Bagaimana dengan kita? Sama saja. Kita milih sekolah saja dari brosur yang gambar kampusnya warna-warni.


Pemimpin di era post-literate saat ini tidak harus pintar, kompeten atau jujur. Mereka hanya perlu terlihat memiliki kualitas-kualitas tersebut. Yang mereka butuhkan hanya narasi dan story. Dan narasi-narasi mereka bisa saja sangat bertentangan dengan realitas, gak masalah. Mereka hanya perlu konsisten dalam pendekatan emosional saja. Keahlian yang paling penting bagi pemimpin yang sukses saat ini adalah kelicikan. Yang bisa menghibur masyarakat dengan slogan-slogan emosional dan kekanak-kanakan, dan menyentuh insting dan ketidak sadaran mereka. Pokoknya asal slogan-slogan itu diulang-ulang, orang bakalan percaya. Misalkan slogan Obama “change we can believe in”, atau “bersama kita bisa” atau “teruskan” atau “partai keren sekali” atau “revolusi” atau “hancurkan kapitalisme” atau apalah itu. Noam Chomsky bahkan menantang, siapa yang paham maksud slogan-slogan seperti itu? Coba apa maksudnya? Lha memang nggak ada artinya. Orang ya malah kebingungan bila ditanyai, kata Chomsky.


Bahkan teks debat capres Amerika, menurut penelitian The Princeton Review, semakin lama semakin tidak berkualitas. Di masa Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas, teks debat mereka berada pada level sangat tinggi, 11,2 dan 12,0. Sedangkan G. W. Bush berada pada level 6. Clinton 7, Al Gore 7. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa orang paling terkenal di Amerika abad 18 adalah seorang filsuf, Voltaire. Sekarang, orang paling dikenal di Amerika adalah “Mickey Mouse.” Siapa orang paling dikenal di Indonesia saat ini? Jeng Kellin? Ruben? Unyil malah lebih mending.


Dalam dunia post-literate kita saat ini, memang terjadi paradox. Mereka yang melek huruf, intelek, terdidik dan terpelajar malah memunculkan ligkaran-lingkaran tersendiri, yang malah semakin menjauhkan mereka dari masyarakat kebanyakan. Mereka menjadi eksklusif dan elitis. Dan menurut Chomsky, itu karena mereka tidak mau kehilangan prestis mereka sebagai orang pintar. Takut tidak keren. Mereka mau mendominasi secara intelektual atas orang biasa, sehingga mereka bisa berkuasa. Menurut Bakunin, mereka mungkin termasuk dalam kategori “New Class” alias kelas baru dalam masyarakat (contohnya Lenin di Rusia). Dictator intelektualitas.


Nah, menurut Chris, tugas mereka yang intelek adalah mengemas pemikian mereka sehingga debat, diskusi, dialog, teater, seni, lukisan, buku, dan tulisan juga punya kualitas menghibur, sehingga bisa diakses siapa saja. Istilahnya, “Hamlet” atau “Ramayana” harus bisa sama menariknya dengan “Ada Apa Dengan Cinta.”


Bahaya dari transformasi dunia dari dunia berbasis tulisan ke berbasis gambar saat ini sangatlah mengerikan. Mereka yang terisolir dari realitas akan semakin berkumpul menjadi kekuatan penghancur. Enurut Chris, kalau di Amerika mereka termasuk Bush dan kaum Kristen Kanan Evangelical lainnya. Kalau di dunia Muslim mereka adalah para ekstrimis Muslim pimpinan Osama (Al Qaeda dkk). Kalau di Israel ya Netanyahu, Lieberman dan pendukung-pendukungnya. Sama-sama gila, rasis dan tidak rasional sama sekali.


Dalam “America the Illiterate” Chris Hedges menyimpulkan, saat ini kita membutuhkan:


“Nilai-nilai keterbukaaan, kemampuan untuk berpikir untuk dirinya sendiri, kemampuan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan independen, mengekspresikan perbedaan pendapat ketika penilaian dan akal sehat mengindikasikan ada sesuatu yang salah, kemudian kemampuan untuk kritis terhadap diri sendiri, untuk menantang kekuasaan, kemampuan untuk mengetahui fakta-fakta sejarah, untuk membedakan kebenaran dan kebohongan, kemampuan untuk menghadapi perubahan dan mengakui bahwa ada perbedaan dan ada cara berpikir dan hidup yang berbeda.”


Wuihhh… nikmatnya jadi Anarkis...

Muh Hidayat

Artikel Chris Hedges “America the Illiterate” bisa dibaca di: http://www.truthdig.com/report/item/20081110_america_the_illiterate/