Thursday, February 11, 2010

Refleski Tentang Media (2)


(sambungan dari “Refleksi Tentang Propaganda”)

10 Feb 2010

Pada dasarnya media punya dua fungsi dasar: pertama untuk mendoktrin kaum elit agar mereka tahu bagaimana tata cara melayani penguasa, dan yang kedua, menjauhkan kaum “tidak elit” dari perdebatan publik supaya mereka tidak sok turut campur dalam proses pengambilan keputusan di pemerintahan.


1. Media sebagai alat indoktrinasi bagi kaum elit


Kaum elit disini mencakup mereka yang termasuk dalam “kelas politik,” yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Ada politikus, hakim, jaksa, DPR, mentri, presiden…(silakan teruskan sendiri). Lalu, yang termasuk kaum elit lainya adalah “kelas bisnismen,” yaitu pengusaha besar dan semua yang terlibat dalam penentuan kebijakan perusahaan. Nah lalu kaum elit yang ketiga adalah “kelas intelektual,” atau para orang pintar di universitas-universitas: ada professor, mahasiswa-mahasiswi, dan orang-orang yang mengaku intelek, melek huruf dan senang nonton berita, termasuk para jurnalis.


Kaum elit adalah segmen masyarakat yang paling terdoktrin oleh media, karena mereka paling banyak ter-ekspose oleh propaganda, dan kebanyakan memang terjun langsung dalam penentuan kebijakan publik. Mereka membaca koran-koran, majalah, dan media-media yang juga elit, atau yang tidak mungkin bisa dipahami orang awam. Musik mereka pun kadang-kadang ikut nyleneh, susah dipahami. Kok musik, sampai makanan pun juga pilih-pilih. Pokoknya mereka suka sekali sama sesuatu yang serba rumit dan ruwet, dan biasanya semakin ruwet dan aneh semakin menarik bagi mereka.


Kalau di Amerika, mereka membaca New York Times, atau Washington Post atau Wall Street Journal. Kalau di Indonesia mereka membaca Kompas, Media Indonesia atau apalah saya nggak peduli… Tetapi bukan berarti seluruh konten dari media-media mainstream tersebut adalah propaganda. Konten bisa saja faktual, tone-nya biasanya sangat propagandis…hehehehe….


Kenapa kelas politik, kelas bisnis, dan kelas intelektual masuk dalam kaum elit yang paling menderita karena propaganda? Ya karena mereka bertiga itu ibarat simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan dan kait mengait. Para politikus yang dipimpim presiden harus pintar membahagiakan orang-orang kaya (pebisnis raksasa, terutama yang datang dari negeri Barat), karena kalau orang kaya sampai sedih, siapa yang akan berinvestasi? Itulah mengapa ada Pasar Bebas. Rakyat dan pengusaha kecil boleh saja susah, dan harus dicambuk biar tidak cengeng. Tapi ingat, jangan sekali-kali mengecewakan orang-orang kaya, nanti yang namanya “Enokomi”, yang sampai jadi ilmu pengetahuan itu, runtuh. Kalau sampai runtuh, ibu Menkeu yang susah. Kemudian, kelas pebisnis juga harus jeli memilih teman di dunia politik (termasuk memilih presiden), salah-salah malah gak jadi untung berlimpah. Kelas intelektual juga gak mau kalah, mereka tugasnya menjaga kelangsungan sistem ini sampai generas-generasi selanjutnya--singkatnya, menjadi pewaris.


2. Media untuk menjauhkan kaum non-elit (rakyat biasa, wong ndeso, dll) dari perdebatan publik.


Kemudian, fungsi kedua dari media adalah untuk menjauhkan orang awam dari pengetahuan-pengetahuan yang penting-penting, agar urusan-urusan penting hanya diurusi oleh orang-orang penting saja. Siapa orang-orang penting itu? Ya ketiga kelas masyarakat yang sudah disebutkan diatas. Kaum awam jangan sampai tahu kalau ada sesuatu.


Kaum awam itu liar, tidak tahu tata krama, yang apabila tahu sedikit saja, bisa mengamuk tidak karuan. Jadi harus ada media yang membuat mereka tetap dungu…boso Jowone, ngah ngoh…nek ditakoni gur “ha he ha he…” Kalau orang pintar membaca Kompas dll. orang awan juga harus dikasih bacaan, biar tetap sibuk. Maka muncullah media-media hiburan, ada gossip, sinetron, tontonan misteri, filem layar lebar, acara masak-memasak, MTV, siaran sepak bola dan seterusnya. Lalu apa orang awam tidak butuh berita? Oke lah…kasih saja berita-berita semacam bayi berkepala tiga (kata Chomsky), kekerasan sex dll. Pokoknya orang awam harus dikasih sesuatu yang “tidak serius” seperti itu. Boleh lah, sekali dalam lima tahun mereka memilih presiden, tapi jangan lebih dari itu. Bilang saja kalau politik itu menakutkan…beres masalahnya.


Kadang-kadang, ada juga orang awam yang bisa naik derajatnya. Misalnya, ada anak-anak mereka yang disosialkan di universitas-universitas atau di sekolah-sekolah (bahkan sekolah internasional), sehingga anak-anak mereka tahu tata krama dalam melayani penguasa, yaitu pemerintah dan korporasi. Tapi kebanyakan dari orang awam memang harus tetap jadi awam, agar pebisnis tidak kehabisan konsumen.


3. Produk Dari Media


Ibarat jual beli lele dumbo di pasar, media juga menjual produknya. Lalu apa produk dari media? Dan siapa pembelinya? Produk dari media adalah pembacanya sendiri. Sedangkan pembeli dari produk tersebut adalah advertiser, alias pengiklan, alias dunia bisnis (iki kok malah dadi muter-muter…biarin, biar kelihatan intelek).


Begini. Media (mainstream) dapat duit dari mana? Apakah dari jualan koran, misalnya? Atau dari siaran TV? Media kemungkinan malah merugi ketika mereka harus cetak koran atau majalah, warna-warni lagi. Media dapat duit dari IKLAN. Ada iklan hape, blekberi, mobil, rumah mewah sampai iklan sedot WC otomatis.


Nah, kita sudah tahu bahwa kebanyakan media mainstream (besar) hidup dari iklan. Nah bagaimana cara media agar para pengiklan terus mengiklan di media-media tersebut? Gimana agar pengiklan tersebut tidak lari? Jawabannya, harus ada “kesepakatan.” Maksudnya, kepentingan media harus sepakat dengan kepentingan dunia bisnis. Kalau dalam dunia bisnis sekarang yang sedang nge-tren adalah pasar bebas, ya jangan sekali-kali media mengkritik pasar bebas. Gitu aja kok repot.


Jadi, kesimpulannya adalah masyarakat sebagai produk dari media (pembaca media) “dijual” kepada dunia bisnis untuk dijadikan konsumen. Analogi ini akan lebih mudah dipahami bila kita bicara tentang media hiburan bagi orang awam. Lalu bagaimana dengan media elit? Sama saja. Kaum elit pembaca media elit tersebut juga “dijual” kepada dunia bisnis. Tetapi bukan sekedar menjadi konsumen, kaum elit tersebut nanti akan menjadi manusia-manusia “istimewa” penerus sistem yang agak kompleks ini.


Intinya adalah, jalinan diantara kaum elit (politikus, pebisnis dan intelektual) tersebut tersusun sangat rapi dan otomatis. Mengapa? Karena kepentingan mereka sama, yaitu menjalankan roda sistem ini tanpa gangguan orang-orang dungu yang jadi mayoritas. Kok kepentingan mereka bisa sama? Lha karena mereka semua telah disosialkan, semenjak TK sampai universitas. Gimana nggak sama?


Nah itulah pentingnya sekolahan sebagai salah satu alat indoktrinasi masyarakat….(yang akan dibahas dalam tulisan-tulisan selanjutnya, InsyaAllah).


Salam hangat-hangat nikmat...

Muhamad Hidayat.

(seri tulisan: “Demokrasi: Othak Athik Mathuk”)

Sumber: Noam Chomsky, “Understanding Power.”

Chomsky, “Media Control.”

Dll.

No comments: