Thursday, February 11, 2010

Refleksi Tentang Progaganda (1)

(seri Open Media Pamphlet : "Demokrasi: Othak Athik Mathuk")
Hidayat, 18 September 2009

Ketika kita merayakan demokrasi, dengan berbagai atributnya—kebebasan bereskpresi, berpendapat, menentukan pilihan, multikulturalisme dll—kita sering kali lupa dan tidak sadar bahwa demokrasi itu sendiri telah berevolusi menjadi sistem politik dan pemerintahan yang pada intinya bersifat sangat anti-demokratis. 

Kamus “Oxford Guide to Philosophy” (2005) bahkan sudah memberi berbagai penjelasan tambahan seputar evolusi ini dalam inputnya “demokrasi” (hal. 196). Ada berbagai fitur dalam demokrasi, namun yang terpenting adalah bahwa demokrasi memungkinkan adanya partisipasi masyarakat (orang dewasa) secara efektif dalam penentuan kebijakan publik. Namun bila kita cermati kebanyakan sistem pemerintahan demokrasi Barat, semenjak awal abad 20, justru selalu (dan pasti) berusaha untuk menjauhkan masyarakat (rakyat) dari pengetahuan tentang berbagai kebijakan berhubungan hajat hidup mereka sendiri. Singkatnya, pemerintahan selalu berupaya untuk memanipulasi massa atas nama demokrasi, sehingga semua warganya merasa sudah berpatisipasi secara efektif dalam sistem tersebut, supaya mereka merasa dilibatkan dalam sistem yang serba benar ini, dan supaya rakyat mendukung kebijakan yang bertolak belakang dengan kepentingan mereka sendiri. Kok bisa? Ya bisa saja. Kita harus berterima kasih kepada yang namanya “propaganda” atas semua ini. Propaganda adalah alat pemerintah yang sangat efektif untuk memanupilasi mood masyarakat, bahkan MEMBENTUK opini dan perilaku, yang sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi, karena sistem ini bertumpu pada dukungan mayoritas.

1. Sejarah Singkat Propaganda

Propaganda intinya adalah penyebaran informasi dalam bentuk apapun dan tidak berhubungan dengan konotasi negatif atau positif. Kata ini sama netralnya dengan kata “pompa,” kata Chomsky. Kalau dulu, bahasa (retorika) menjadi penting dalam demokrasi, dan sekarang juga masih penting, karena bahasa adalah alat komunikasi untuk membentuk perilaku dan memaksakan kepatuhan dan subordinasi, namun, mulai awal abad 20, sistem demokrasi bertumpu pada propaganda, yang sudah menjadi industri, alias industri informasi, dimana bahasa hanya menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Propaganda lahir di negara demokrasi, yaitu Inggris dimasa Perang Dunia I, yang ditandai dengan dibentuknya Kementrian Informasi (Ministry of Information—namanya saja sudah sangat Orwellian, jika anda pernah membaca novel “1984” dari George Orwell). Sedikit background sejarah, saat itu (PD I), Inggris sedang berperang melawan Jerman. Inggris sadar bahwa imperiumnya segera berakhir di tangan Jerman, yang saat itu merupakan kekuatan yang paling hebat di Eropa. Inggris nyaris kalah, dan Jerman hampir menguasai Eropa. Namun Inggris cerdik, mereka tahu satu-satunya kekuatan yang bisa melawan Jerman hanyalah Amerika, yang saat itu adalah negara paling makmur di dunia dengan standar hidup paling tinggi, namun sama sekali tidak tertarik dengan perang di Eropa. Kementrian Informasi Inggris itu secara khusus dibentuk untuk menyebarkan propaganda ke Amerika dan menariknya ke dalam Perang Dunia I di Eropa (membantu Inggris), dan secara umum bertujuan untuk “menuntun pandangan seluruh dunia.” Populasi Amerika saat itu sebetulnya sangat pasifis dan anti-perang. Bahkan Wodrow Wilson terpilih menjadi presiden di tahun 1910 dalam platform yang sangat pasifis dan penuh kedamaian. Jargonnya saat itu adalah “Peace Without Victory.”

Tugas yang menantang bagi Inggris untuk menyeret Amerika ke medan perang. Target dari operasi propaganda Inggris adalah para intelektual liberal Amerika, yang tentu lebih bisa dipercaya rakyat Amerika. Inggris meyakinkan para intelektual tersebut (para professor universitas) bahwa perang Inggris adalah mulia, dan kalau Amerika tidak mau membantu Inggris, Jerman akan menguasai Eropa dan akhirnya akan menyerang Amerika (sebuah alasan yang sangat lucu). Singkatnya, propaganda Inggris berhasil. Kemudian, menjadi tugas para intelektual tersebut untuk membujuk masyarakat luas agar mau berperang. Secara singkat, mereka berhasil mengubah opini massa, dari massa yang sangat anti-perang menjadi massa anti-Jerman fanatik (kasus ini sangat menarik, karena ini kasus pertama dimana para intelektual, bukan politisi, berperan untuk membelokkan opini rakyat agar pro-perang. Kasus ini juga menjadi refleksi betapa kaum intelektual adalah sebuah alat pemerintahan).

Amerika akhirnya turut berperang. Jerman kalah. Dan inilah mulanya Amerika menjadi negara adikuasa, menggantikan imperium Inggris yang hancur diserang Jerman. Amerika menjadi kuat karena ia adalah satu-satunya negara yang tidak dirugikan dalam Perang Dunia I, disaat semua negara Eropa bangkrut. Propaganda menjadi sangat sukses dan terkenal. Bahkan, kaum Bolshevik juga tertarik untuk menggunakannya, tentu dengan metode yang lebih ekstrim. Kalau anda pernah membaca Mein Kampf, Adolf Hitler sangat terpukau dengan propaganda ini, dan ia sendiri bilang kalau kekalahan Jerman di PD I adalah kekalahan propaganda. Tidak heran jika ia kemudian ikut-ikutan menggunakannya untuk memanipulasi dan membentuk opini massa Jerman di Perang Dunia II, sehingga Jerman benar-benar menjadi kekuatan yang mengerikan dan kejam, namun kompak. Hanya setelah digunakan Hitler ini (dan nanti oleh Soviet), kata “propaganda” menjadi seakan-akan berkonotasi negatif.

2. Propaganda, Public Relations dan Demokrasi

Kesuksesan Propaganda di Amerika berada di tangan para orang-orang pintar alias kaum intelektual (kayaknya, dimana saja orang pintar selalu membodohi masyarakat). Salah satu orang yang berperan penting dalam mengembangkan propaganda menjadi skala industri adalah Edward Bernays dan Walter Lippmann. Jika anda kuliah di Public Relations dan Ilmu Komunikasi, orang –orang ini tentu menjadi guru atau suhu anda. Mereka menulis jika kita (pemerintahan) bisa mengontrol “pemikiran massa,” maka kita bisa membentuk opini dan perilaku mereka (rakyat). Catat: ini sangat penting, mengontrol pikiran. Dalam kata-kata Lippmann, ini disebut “manufacture of consent” atau “memproduksi kesepakatan.” Bahkan menurut Bernays, dalam bukunya berjudul “Propaganda”[1], proses memproduksi kesepakatan ini adalah “inti dari proses demokrasi.”

Penting dicatat, saat itu, (1920an), Amerika dan Eropa ada dimasa industrialisasi besar-besaran—menuju pergantian industri berbasis batubara menjadi industri berbasis minyak. Dan propaganda menjadi sangat efektif untuk melumpuhkan kekuatan-kekuatan kelas pekerja. Dan ini adalah periode lahirnya korporasi (bahasa tentang korporasi ada di tulisan selanjutnya). Korporasi dan pemerintah, setelah tahu rumus untuk menjinakkan massa, memaksa para pekerja menjadi robot hidup yang segala gerakannya diatur. Bolsheviknya Lenin tentu tidak mau ketinggalan. Mereka ikut-ikutan mengadopsi propaganda untuk “merobotkan” kaum komunis di seluruh dunia.

Yang menarik, pemerintah tidak hanya ingin mengontrol para pekerja, namun seluruh rakyat, agar opininya seragam, dan agar semua patuh, walau masyarakat sendiri tidak sadar kalau mereka patuh, dan masih saja teriak-teriak kebebasan. Lalu muncullah industri Public Relations, yang tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah, tapi juga bagi dunia bisnis. Salah satu contoh menarik, dalam film “The Century of Self,” anda akan tahu mengapa saudara-saudara putri kita sekarang banyak yang merokok. Itu karena pada tahun 20an, si Bernays dan korporasi rokok Amerika mengotak-atik teori Psikoanalisis untuk menjustifikasi bahwa wanita berhak merokok.

Nah, dalam usaha mengontrol masyarakat bukan pekerja (masyarakat umum), industri Public Relations memfokuskan diri untuk menginstall “philosophy of futility” atau “filsafat kesia-siaan” pada masyarakat, dengan memaksakan “hal-hal superfisial atau tidak penting dalam kehidupan, seperti konsumerisme fashion.” Biarkan masyarakat yang bodoh bebas untuk terjun kedalam konsumerisme, fashion, music, olah-raga, style agar mereka tidak paham apa yang dilakukan pemerintah mereka. Biarkan orang-orang pintar (politikus dan para intelek) yang mengurus segalanya. Kita harus mengontrol pikiran dan perasaan masyarakat karena mereka sangat berbahaya, seperti saya. Ini merupakan salah satu ciri penting dalam demokrasi kontemporer, dimana asumsi bahwa “manusia adalah hakim terbaik untuk dirinya” benar-benar ditolak mentah-mentah. Jika anda kuliah di Komunikasi, anda tentu kenal Harold Lasswell. Ia berkata terang-terangan bahwa kita (politikus dan intelektual) tidak boleh menyerah begitu saja pada asumsi “dogmatis” tersebut. Masyarakat terlau bodoh untuk paham apa kepentingan mereka sendiri. Para politikus dan intelektual tentu berpikir bahwa “kami adalah hakim terbaik bagi anda,” jadi anda manut-manut saja, gak usah aneh-aneh. Sekali dalam lima tahun boleh lah anda nyontreng, setelah itu, lanjutkan nonton sepakbolanya, kata Chomsky. Lalu kita masih saja teriak demokrasi? Nangis darah saya.

Industri Public Relations tersebut, semenjak awal abad lalu, telah berkembang-biak menjadi industri skala besar, mulai dari industri periklanan, media, sampai sekolahan dan universitas. Tujuannya satu, mengontrol pikiran, perasaan dan membentuk opini publik atas nama demokrasi, menjinakkan masyarakat dan membuat mereka patuh serta mematikan pikiran dan kritisisme. Dan anehnya industri ini berkembang di negara-negara demokrasi. Mengapa? Karena jika anda bisa mengontrol masyarakat dengan senjata seperti di Soviet dan negara komunis lainnya, anda tidak perlu susah-susah mengontrol pikiran dan perasaan masyarakat. Tapi ketika mengontrol massa dengan senjata menjadi sudah terlalu kuno dan fulgar, kontrol atas pikiran dan perasaan dan “produksi kesepakatan” menjadi penting sekali.

Nah kira-kira seperti itulah wajah demokrasi saat ini, yang selalu diagung-agungkan dan anti-kritik. Kalau kita cermati, ciri-ciri diatas justru bertolak belakang dengan konsep “demokrasi” itu sendiri, dimana, salah satu prinsipnya, manusia adalah hakim bagi dirinya. Kita saat ini tidak memiliki kontrol dan alat efektif untuk menyalurkan suara kita (yang ini juga bertolak belakang dengan prinsip demokrasi dalam kamus). Ketika serikat buruh dalam negara industri telah dimatikan, rakyat otomatis tidak punya kontrol atas kebijakan pemerintah. Kalau kita cermati lagi, sistem demokrasi ini sangat bersifat “top-down” alias terkontrol dari atas, persis seperti Leninisme. Nah sekarang pertanyaanya bukan apa pilihan lain selain demokrasi? Tapi bagaimana kita bisa memiliki alat yang efektif dan partisipasi yang bermakna dalam proses demokrasi? Salah satu upaya yang paling mendesak kita lakukan, menurut saya, adalah memahami dan mulai bertanya apakah apa yang kita lakukan berdasar pada kesadaran kita atau bukan. Selama kita masih terjebak dalam propaganda, dengan berbagai alatnya yang indah-indah dan nikmat, senikmat seks dan konsumerisme, kita tidak akan mampu bergerak dan memulai suatu gerakan, menurut kapasitas dan peran masing-masing. Sadarkah kita akan pilihan kita?
Bahasan ini belum mencakup masalah korporasi, media dan dunia pendidikan secara spesifik, yang juga merupakan komponen penting dalam demokrasi kontemporer. Semoga umur masih mempertemukan kita. Selamat idul fitri, mohon maaf lahir dan batin.
“Apakah kau pernah, merasa semua, yang tlah kau dapatkan, terbuang percuma, dan seakan semuanya, menghilang sia-sia?”
[1] Buku “Propaganda” dari Edward Bernays merupakan buku yang sangat menggemparkan dan mudah dibaca. Bagi anda yang tertarik, saya punya e-booknya, silakan hubungi saya di muhamadhidayat@hotmail.com.

Sumber utama:
1. Noam Chomsky, “Imperial Ambitions.”
2. Noam Chomsky, “What makes mainstream media mainstream”
3. Edward Bernays, “Propaganda.”
4. Film documenter, “The Century of Self.” Bisa di tonton (dicuri) di YouTube atau GoogleVideo.
5. Ted Honderich (ed.), “Oxford Guide to Philosophy”
6. Hidayat, “Dunia Buta Huruf”
Media alternative (anarkis):

No comments: