Monday, September 27, 2010

Chomsky dan Argumen Israel Lobby

Muhamad Hidayat

26 September 2010

Walaupun Chomsky telah menjadi salah satu rujukan penting bagi saya dalam memahami dunia kasat mata, ada dua pendapat dia yang membuat saya bingung, karena dua-duanya aneh, dan bahkan kurang “populer” di kalangan para intelektual progresif. Pertama tentang pandangan dia terhadap aksi terorisme 11 September 2001, yang terkesan pragmatis dan banyak merujuk pada laporan resmi pemerintah AS. Kedua, tentang pandangan dia tentang Israel Lobby, sebuah gagasan yang dipopulerkan oleh Prof. John Meirsheimer dan Stephen M. Walt di tahun 2007, lewat bukunya yang sangat populer, Israel Lobby and the US Foreign Policy. Sekarang kita ngomong yang ke dua dulu.

Lewat buku Israel Lobby, Meirsheimer dan Walt berpendapat bahwa hampir seluruh kebijakan luar negeri Amerika yang menyangkut perang Irak, perang Afghanistan dan terutama konflik Israel-Palestina, serta kebijakan strategis lainnya di Timur Tengah adalah produk dari lobi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pro-Israel di Washington. Dalam pandangan ini, kebijakan luar negeri Amerika yang menyangkut Timur Tengah telah dibajak oleh organisasi-organisasi Lobi Israel yang menguasai Konggres, untuk memenuhi kepentingan Israel sendiri. Singkatnya, Israel dalam pandangan ini lebih merupakan beban bagi Amerika karena Amerika sedang tidak menjalankan perang untuk dirinya sendiri. Lewat organisasi lobi yang sangat kuat inilah Israel mendapat bantuan 3 miliar dolar per tahun dari Amerika serta dukungan tanpa syarat atas semua kelakuan Israel. Argumen ini sekarang sangat populer di kalangan media independent dan alternatif.

Chomsky, sebaliknya, menganggap remeh argumen Lobi Israel ini. Bukan berarti menyalahkannya, karena memang benar terdapat lobi-lobi Israel yang sangat kuat yang memiliki dana besar untuk mempengaruhi hasil pemilihan presiden dan anggota Konggres. Lobi-lobi ini juga menguasai berbagai media utama di Amerika sehingga mempengaruhi pemberitaan mereka agar selalu bernuansa pro-Israel[1]. Namun, menurut Chomsky, argumen Lobi Israel ini tidak cukup untuk menjelaskan level bantuan moral, material (militer) dan diplomatik Amerika terhadap Israel. Singkatnya lobi-lobi Israel di Pentagon cuma bagian kecil saja dari jalinan yang lebih kompleks dan historis antara Amerika dan Israel.

Lewat buku Fateful Triangle[2], yang oleh Edward Said dalam kata pengantarnya disebut sebagai karya “paling ambisius dalam memahami konflik antara Zionisme dan Palestina yang melibatkan Amerika,” Chomsky memaparkan fakta-fakta akademis yang merujuk pada argumen bahwa perselingkuhan incest antara Amerika-Israel bukan semata-mata ulah Lobi Israel, namun telah tumbuh lama dan berkembang dalam budaya populer-liberal Amerika yang dimulai sejak pra-Perang Dingin, bukan semata-mata oleh alasan ideologis yang terutama diusung oleh kalangan konservatif Zionis di Amerika. Jadi, menurut Chomsky, sentimen pro-Israel telah mendarah daging dalam budaya akademis Amerika, tidak hanya dalam kalangan kanan, tapi bahkan kalangan kiri yang paling liberal pun banyak yang pro-Israel.

Kalau Meirsheimer dan Walt berpendapat bahwa Israel lebih menjadi “beban strategis” Amerika di Timur Tengah, karena Israel merusak hubungan Amerika dengan Dunia Islam, Chomsky berpendapat bahwa Israel memang diperlukan bagi Amerika, terutama untuk menjadi “polisi” di Timur Tengah agar segala ancaman terhadap dominasi minyak Amerika tidak terancam, dan untuk menjaga agar negara Timur Tengah dan sekitarnya tidak keracunan nasionalisme sekuler-independen. Tidak seperti buku Israel Lobby, buku Fateful Triangle kaya dan padat akan catatan-catatan sejarah sejak Perang Dunia untuk mendukung argument yang dikemukakan.

Israel menjadi penting bagi Amerika untuk menjaga kekayaan Arab agar tidak jatuh ke tangan Eropa dan Jepang. Nah di sinilah letak kecerdasan argumen Chomsky. Dalam literatur umum banyak dikemukakan bahwa intervensi Amerika ke Timur Tengah, termasuk akhirnya mensuport Israel, adalah untuk menjauhkan Uni Soviet dari Timur Tengah. Propaganda ini disebarkan oleh Amerika untuk mendapatkan dukungan publik pada masa Perang Dingin. Namun sebaliknya, ancaman utama yang dihadapi Amerika di Timur Tengah datang dari Eropa dan Jepang, bukan Uni Soviet. Amerika takut kalau Inggris, yang baru saja kehilangan titel negara adi daya, Perancis dan Jepang menguasai perdagangan minyak Arab dan akhirnya lari dari cengkeraman dan ketergantungan terhadap Amerika. Bukan minyaknya yang penting, tapi akses terhadap minyak dan distribusinya yang menentukan monopoli Amerika. Sedangkan Uni Soviet memang tidak terlalu tertarik dengan Timur Tengah. Walau sempat memiliki “sekutu” di Mesir lewat presiden Nasser dan di Siria, Uni Soviet belakangan terbukti tidak peduli dengan mereka. Bahkan saat perang Israel melawan Mesir, Sirian dan Yordania tahun 1967, ketiga negara Arab itu dibiarkan dihancurkan oleh Israel[3].

Israel adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang pro-Barat saat itu, sehingga ia menjadi penting dalam lingkup kepentingan geo-strategis Amerika di sana, karena ketakutan utama Amerika adalah nasionalisme independen negara-negara minyak (yang saat ini ditunjukkan oleh Iran dan Venezuela). Israel akhirnya juga banyak membantu Amerika dalam mensterilkan Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin dari nasionalisme. Israel menjadi penting karena ia memberikan banyak bantuan militer, pelatihan dan teknis kepada diktator-diktator di kawasan-kawasan itu. Sebut saja Idi Amin dari Uganda, Haile Selassie dari Ethiopia, Mobutu Sese Seko dari Zaire, dan hampir seluruh diktator di Afrika dan Amerika Latin saat itu[4]. Ini juga yang kemungkinan menjadi dasar gerakan solidaritas Palestina di berbagai negara Amerika Latin, setelah diktator-diktator mereka tumbang.

Argumen Chomsky inilah yang menjadi sebab bahwa ia lebih melihat berbagai perang dan konflik di Timur Tengah secara pragmatis dan realistis, bukan berakar pada peperangan ideologis Zionisme dan kelompok konservatif Kristen Amerika melawan Islam, walaupun argument ideologis tersebut juga memaparkan berbagai fakta-fakta pendukung juga. Nah di sinilah dilemma terjadi, karena kedua argumen hampir sama kuat. Namun, yang ditakutkan semua kalangan dari berbagai konflik di Timur Tengah sampai saat ini tetap sama: terorisme yang merajalela dan perang nuklir.

------------

[1] Di antara media-media utama tersebut adalah New York Times, Fox News dll.

[2] Buku setebal 578 halaman ini (Updated Edition 1999), seperti halnya banyak buku Chomsky lainnya memberikan banyak sekali catatan kaki dan referensi yang komprehensif.

[3] Kemenangan strategis atas Eropa dan Jepang inilah yang menjadi penanda bahwa Amerika akan menjadi negara adi kuasa yang baru.

[4] Dalam kesempatan lain, Chomsky juga menyebutkan kalau Israel juga berperan dalam membantu Suharto menginvasi Timor Timur tahun 1975 dengan membantu helicopter dan peralatan perang yang langsung dikirim oleh Israel.

Tersesat di Hollywood

Hidayat 4 Agustus 2010

(Catatan pribadi tentang buku Chris Hedges, “Empire of Illusion: The End of Literacy and The Triumph of Spectacle,” 2009)

Hampir semua yang hidup di alam dunia saat ini ingin dikenal, diakui, dicintai, dipuja dan dicemburui. Tidak manusia tidak hewan. Itulah mengapa ada selebritis, sapi metal dan cewek indo.

Saat ini, televisi telah menciptakan kultur selebritis. Kalau dalam kamus inggris, salah satu arti dari entri “celebrity,” selain “orang yang terkenal,” adalah “keadaan menjadi terkenal.” Jadi televisi dan dunia kamera telah menciptakan budaya keterkenalan. Sedangkan komputer dan internet telah menciptakan kultur konektivitas, budaya berhubungan, bercengkerama dan bersenggama online.

Kalau budaya selebritis—merayakan diri sendiri—digabung dengan budaya berhubungan, maka saat itulah manusia eksis, ada, dan paripurna—menurut aturan Hollywood. Lha menurut aturan Hollywood lagi, manusia normal harus berusaha untuk dikenal dan dihubungi. Ia harus “kelihatan.” Bagaimana biar terlihat? Para selebritis sudah memberikan contohnya, tinggal pilih yang bentuknya seperti apa yang mau ditiru, dari model pria sejati seperti Ariel, atau model yang mbanci, atau yang model ngiyai juga ada. Wanita juga bisa milih, mau yang model super-hot, pliket dan beraroma sambal seperti Aura Kasih, atau yang mlenis-urakan, simetris dan sak tekeman kayak Pevita Pearce. Kita menjadi nyata ketika kita terlihat, dan karena itulah Facebook dicipta. Selebihnya, manusia itu sekedar hantu. Sedangkan hantu adalah terror sejati manusia modern. Kenapa? Karena jarang kelihatan. Kelihatan sesekali pun cuma mringis, dan tidak manis-manis amat, terlepas bahwa si hantu ini ternyata bisa terbang.

Semua upaya diatas ditujukan agar manusia-manusia bukan hantu tersebut menjadi bahagia. Dan kebahagiaan, menurut aturan Hollywood lagi, bergantung pada bagaimana kita terlihat dan memperlihatkan diri kepada orang lain. Itulah mengapa ada dokter bedah plastik, guru fitness, perancang busana, desainer interior rumah, sampai konsultan jerawat. Supaya apa? Supaya kita mejadi “selebritis.” Kita membangun filem-filem dan sinetron kita sendiri agar kita dapat berperan seperti selebritis. Itulah mengapa “dunia ini panggung sandiwara.” Dan keadaan seperti ini tak mungkin berlangsung ketika para manusia-manusia tadi tidak mendapat dukungan moral. Jadi harus ada yang selalu mengingatkan mereka agar mereka terus menjadi “Manusia Super” dengan “Salam Dahsyat.”

Kalau jaman dulu, kerajaan lah yang mengatur tindak-tanduk sosial kita, sekarang televisi, bioskop, internet dan MP3 player yang menentukan eksistensi kita. Hedonisme, sex [and the city] dan uang adalah sila pertama Pancasila. Sedangkan sila kedua adalah Kemuliaan Yang Dipimpim Oleh Hikmat Kebijaksanaan Kekuasaan. Jadi kalau sudah cantik, gagah, seksi dan kaya, ya kalau bisa berkuasa.

Kalau di Amerika, 1% dari populasi Amerika menguasai kekayaan melebihi gabungan kekayaan dari 90% warga Amerika. Di Indonesia mungkin juga hampir sama. Dan manusia-manusia 1% tersebut adalah rujukan utama bagi manusia yang 90%. Yang 90% itu dibentengi oleh televisi supaya tetap fokus. Rakyat miskin itu tidak ada kalau kita tetap fokus. Malahan kita (manusia 90%) ditantang dan dicaci habis-habisan, oleh gaya hidup serba tank-top, serba c.i.n.t.a. dan serba keong racun. Kita harus percaya, bahwa kalau kita terus berusaha, kita akan mejadi seperti mereka. Manusia 1% tersebut menjadi cermin gaya hidup kita.

Kita ini, sayang sekali, terlalu banyak mengonsumsi kebohongan tiap hari. Kita terlalu banyak menelan janji bahwa kalau pakai baju merek ini, atau beli hape merek ini, atau suka musik ini, atau pilih presiden ini, kita akan dihargai, dicemburui, dan dicintai. Kultur selebritis ini mengajak kita untuk berpikir bahwa kita juga berpotensi menjadi selebriti. Ini disebut kultur narsisme, kata Christopher Lasch. Realitas adalah penghalang kesuksesan, bikin gak fokus. Realitas cuma bagi orang kalah. Sedangkan fantasi adalah segalanya. Jadi teruslah menelan fantasi dari televisi, dan lupakan realitas (yang dimaksud realitas itu ya bahwa ada banyak orang miskin, orang kelaparan, ada orang ditindas, ada anak kecil dijatuhi bom, ada orang jutaan mati ditembaki tapi tidak ada yang menghitung, dan lain-lain). Kultur ini mengajak kita menjadi diri sendiri dan melupakan orang lain, karena orang lain itu tidak rasional. Kita telan semua itu tiap hari, tiap saat, tapi kita jarang sekali ke WC, apalagi baca buku.

Televisi itu pornonya melebihi bokep yang paling liar sekalipun. Bokep tidak menyuruh kita supaya beli hape ini, mobil ini, motor ini, rokok itu, atau baju ini dan celana itu, karena dimana-mana bokep itu tidak pakai baju, seperti hewan. Lha kalau kandidat presiden yang dijual oleh televisi dan media? Gak bakalan ketahuan boroknya kecuali kita pakai kacamata tembus pandang. Lha kalau punya kacamata tembus pandang itu kita baru bisa tahu kalau, misalnya, presiden itu ternyata memakai popok dewasa buatan Amerika, karena dia mencretan. Misalnya lho ini. Makanya syair lagunya System of a Down itu berbunyi kalau TV itu “brainwashing,” dan “nonstop disco.” Jadi otak kita dilondri agar kita percaya kalau presiden itu tidak bisa mencret, walaupun baunya sampai kemana-mana. Dan kita juga disuruh berdisko, nyanyi pop sampai mampus.

Tapi mungkin inilah bukti keagungan Tuhan. Makhluk-Nya itu warna-warni, macam-macam dan pokoknya komplit. Yang namanya “manusia” itu sekarang kebanyakan menjadi komoditas dalam budaya selebritis. Manusia itu derajatnya hanya setara dengan apem dan pisang aroma yang diperjual-belikan di pasar globalisasi. Manusia menjadi objek dan menjadi produk yang tak punya nilai intrinsik. Mereka berkompetisi menjadi “manusia” dengan melupakan, dan bahkan bertumpu pada penderitaan, kelemahan, dan penghinaan terhadap manusia lainnya.

Singkatnya, kita ini sedang “Tersesat di Hollywood,” meminjam judul lagu System of a Down kesukaan saya. Padahal tersesat itu tidak bisa pulang.

“Masalahnya Kita Tidak Mau Mengakui Kalau Terorisme Kita Adalah Terorisme (2)”

20 Juli 2009 dan 23 September 2010

“Mengapa mereka membenci kita?” tanya George W. Bush dalam salah satu pidatonya menanggapi aksi terorisme 11 September 2001.

Sebenarnya pertanyaan itu sangat mudah dijawab. Jika para teroris yang kita bicarakan adalah kaum Muslim fundamentalis (karena ada teroris jenis lain. Bush juga menyebut kaum Katholik revolusioner Amerika Latin sebagai “ekstrimis Katholik,” sepadan dengan ekstrimis Islam, cuma mereka tidak asik diberitakan), tidak serta merta mereka akan benci begitu saja dengan kita, kemudian main bom sana sini, main tembak sana-sini. Kalau mereka teroris sejati, yang kerjaannya bunuh orang, ngapain mereka tidak membom pasar atau taman kanak-kanak, atau kebun binatang (kata Chomsky), yang jelas-jelas tanpa pengamanan yang berarti? Kan korbannya akan lebih banyak. Tapi mengapa mereka memilih menyerang JW Marriot atau polsek?

Yang salah kaprah adalah menilai terorisme berakar dari kejadian 11 September 2001. Padahal akarnya tunggang langgang sampai kemana-mana. Dan semua juga tahu kalau penyebabnya adalah: Amerika dan Israel masih saja menjajah Palestina, membunuh jutaan kaum Muslim di Irak, Afghanistan, mengusir mereka, mempermalukan harkat mereka sebagai manusia (coba bayangkan, tidak ada yang sudi menghitung korban sipil di Afghanistan, misalnya. Jumlahnya simpang siur. Amerika bilang 40 ribu, Information Clearing House bilang 5 juta. Padahal mereka kan juga manusia, bukan bebek).

Dan target para teroris juga tidak sembarangan, minimal yang oleh mereka dinilai sebagai salah satu institusi milik pemerintah yang dianggap rukun dengan yang Barat dan jahat itu tadi.

Lalu apa sebabnya terorisme selalu terjadi? Menurut Chomsky, “Masalahnya ada pada ketidak mauan kita untuk mengakui kalau terorisme kita adalah terorisme.” Yang dimaksud “terorisme kita” tentu terorisme Amerika dan Israel sebagai simbol Barat. Jadi pembantaian jutaan warga Irak, Afghanistan, pembantaian Gaza, Lebanon, Sudan dll tadi adalah bukan terorisme, tapi namanya “promosi demokrasi.” Kalau si Amerika dan Israel yang membunuh, ada 1001 macam alasan yang dijadikan pembenaran di PBB, tapi kalau si teroris yang membunuh, semua orang akan balapan mengecam.

Lalu mengapa pola pikir kita bisa jungkir balik tidak karuan seperti itu? Menurut Chomsky, dibutuhkan alat indoktrinasi dan cuci otak yang sangat canggih (namanya Media, Propaganda, dan Demokrasi), sehingga orang bisa menyensor dirinya sendiri. Maksud menyensor diri sendiri adalah, kita akan cenderung diam, dan kedengaran biasa saja ketika semua kejahatan dilakukan oleh Amerika dkk. Lalu kapan kita akan sadar? Ya nanti kalau salah satu keluarga kita sudah mati dibom Amerika atau Israel.

Lalu apa bedanya teroris dan para “promotor demokrasi”? Jawabannya juga mudah.

Kalau para teroris adalah orang-orang gunung yang tinggal di gua, yang berewokan tidak karuan, tidak pernah mandi, yang tahunya cuma teriak “Allahu akbar”, yang latihan perang pakai bambu runcing, atau AK-57, dan yang latihan menembak dengan target foto SBY. Yang buat bom rumahan yang isinya paku. Yang hobinya ngebom gedung-gedung atau orang-orang yang dianggap dekat dengan Amerika. Jumlah mereka relatif kecil dan dibenci semua pihak. Termasuk saya juga benci.

Nah, lalu seperti apa para promotor demokrasi yang baik itu? Yaitu mereka yang memiliki tank-tank, pesawat F-16 sampai F-22, Sukhoi dan yang memiliki senjata-senjata yang super canggih. Punya kapal induk, kapal selam dll. Punya nuklir. Punya industri senjata. Yang latihan menembak dengan target manusia-manusia beneran di Irak dan Palestina. Kadang-kadang targetnya anak-anak atau mbah-mbah. Orang semua itu. Yang punya kaki tangan yang namanya kaum intelektual.

Sama juga dulu jaman Julius Caesar. Julius kewalahan memburu para bajak laut yang juga disebut teroris. Tapi si bajak laut malah bilang, “Kalau penjahat kecil-kecilan seperti kami namanya bajak laut, kalau penjahat besar seperti Tuan namanya imperialis.”

Tapi ada satu persamaan mendasar diantara keduanya: sama-sama maniak gila. Dan saya bukan pendukung para teroris gila itu. Saya netral, senetral embun pagi dan makhluk luar angkasa.

Dan secara esensial, keduanya juga teroris. Satunya bernama “organisasi teroris,” satunya lagi bernama “negara teroris” (Kata Chomsky). Tapi yang satu tidak punya media, tidak punya DPR, dan Konstitusi sebagai pembenaran, yang satunya punya, sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik. Itu saja.

Nah, bagaimana kita bisa menghapuskan terorisme? Seperti menghapuskan jamur, harus dicabut sampai akarnya: penyelesaian konflik Israel-Palestina sesegera mungkin. Itulah mengapa konflik ini jadi sangat penting. Dan banyak aktivis internasional, dari Irlandia sampai Venezuela, mulai berusaha memberikan penyadaran akan gentingnya masalah ini bila dibiarkan berlarut-larut.

Tapi celakanya, Israel dan Amerika tidak sudi untuk berdamai, dan para teroris terlanjur patah hati. Ya biar Tuhan saja yang mendamaikannya. Dan saya yakin sebentar lagi pasti damai.
(anarchism)

Media Costs Our Lives

(Notes on Noam Chomsky’s classic, “Media Control”)

By Muhamad Hidayat, edited by Edward Tripp

25 July 2010

There are two rudimentary functions of the media: first, to indoctrinate “the elites” so that they know how to serve the ruler best; and second, to alienate the “non-elites” from public debates so that they don’t try to interfere with decision making-process in the government level. The non-elites are supposed to become lost and unaware that their voices don’t count and don’t matter much.

1. Media as Indoctrination Device for Elites

The elites here include those belonging to the “political class”—those whose voices in one way or another matter to the authority’s decision-making process. They are politicians, judges, prosecutors, members of parliament, ministers, and pretty much those who work for the government (Mrs. Michele Obama and Mrs. Ani Yudhoyono may join if they wish). “Businessmen class” also belongs to this cohort. They comprise powerful employers and big people involved in determining the company’s policies. Another crucial member of this group is the “intellectual class,” to which intellectuals and smart people in universities—professors, college students, researchers, whatever—belong. The last member of the political class includes journalists and those working for large, profit-driven, mainstream media. Those people altogether constitute the staunch supporters of Western “democracy,” meaning, democracy as determined by World Bank and the IMF, through which the US channels its hegemonic enterprise.

Elite segment of society suffers from the most intense media indoctrination and propaganda. They read big mainstream newspapers, journals, magazines and other elite media which are heavily subsidized by ads and corporations whose analyses and contents cannot be read and understood easily by laymen. The elites are too cool to mingle with common people. They admire complexity, and are too fastidious in everything, from food to music to cool philosophers to read. The more complex and intricate things going on, the better for them.
In America, they may read New York Times, or Wall Street Journal, or Washington Post. In Indonesia, they read Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post or Tempo. However, not the entire contents of mainstream media are propaganda, but language used and tones mostly are.

Why those cool people are the most indoctrinated? They are mutually hooked to each other. The president and members of parliament must be smart enough to satisfy rich and powerful businessmen (giant multinationals, primarily those coming from America and Europe), otherwise they would risk their reelection and the rich men would flee their country, lacking of investments. That is why free market exists. Poor people and local, small businessmen must be flogged with cut of subsidy, wage cuts and lay-offs, so that they won’t become too mawkish. Life is competition, and solidarity is irrational and excessive. So don’t ever disappoint the rich and powerful. The rich and the super-rich, on the other hand, must choose their presidents and friends in government with due care, or they would put their speculative investments at risk. Intellectuals don’t want to be outdone either; their duty is to maintain the continuity of this system until generations to come—in short, to inherit the system.

2. Media to alienate the non-elites from public debates.

The second function of the media is to alienate the common people from public debates, and keep them clueless of essential issues (although they may very much concern people’s lives). Let important matters be taken care of by “big guys in government.” Don’t let the people know that there is something going on.

People are wild, undomesticated, unmannered, and not well-behaved, and if they knew a little, they would rage uncontrollably. So there has to be media that keeps them mute. If smart people read New York Times or Kompas, those clouds should also be offered some “reading materials” to keep them busy and feel included. Then came the entertainment media: the gossips, soap operas, Disney, Animal Planet, cooking magazines, MTV, World Cup, etc. Don’t they need some hard news? Let’s give them reports on youth violence, or sex scandals, or “three-headed babies,” in Chomsky’s words. So they must be provided with some “not-really-serious” matters, and then be allowed to come to a voting box once in four or five years.

Sometimes there are some people who climb into success and make good careers. For instance, their children are managed to study in good schools, so they would receive good education and trainings and be aware of the etiquette in pleasing rulers and bosses of big corporations. But a great number of them must remain the same, so that corporations do not run out of consumers.

3. Product of Media

Like having transactions in market, the media also sells its product. What is the product and who is the buyer? The product of the media is the reader of that media, while the customer is the advertiser, or the business world, or corporations.

Look. Mainstream media is a parasitic institution. They got money from advertisers. And there has to be some “agreement” between the advertisers and the media. In other words, the interests of the media has to, one way or another, agree with the interests of business world. So if the business world favors free market, the media has to automatically picture free market positively and spread propaganda to advance free market principles.

In summary, the society, as the product of the media, are marketed and sold to the business world to become consumers. This analogy is more easily understood as far as entertainment media is concerned. But how about the elite media? Same thing. The elite people, readers of elite media, are sold to corporations, not merely as consumers, but as “special people” who would be in charge of taking over this somewhat complex system. The point is, the association among the elite political class is arranged very cleanly and automatically. But how come? Because they have all been “socialized” from kindergarten up to university, Chomsky concludes. So, how much do you cost now?

Sunday, July 4, 2010

Refleksi tentang demokrasi (bagian 3)

(Sambungan dai Refleksi tentang Propaganda dan Refleksi tentang Media)

Hidayat, 4 Juli 2010

Jaman sekarang, demokrasi itu ibarat video porno. Laris manis, murah meriah, disukai semua kalangan, dari politisi sampai anak SMP. Apalagi kalau video pornonya diselenggarakan oleh pihak-pihak terkenal, yang memperoleh pencitraan yang cukup melimpah-ruah. Kalau sudah begitu, anak-anak SMP pun mulai berani menuntut kepada alam semesta perihal pendemokrasian dalam berporno dan bervideo.

Sebagai penggemar video, saya tetap tidak suka demokrasi. Ngomong soal demokrasi saat ini jelas salah kaprah—boso Jowone, kemproh—serta terdengar lucu dan konyol, apalagi kalau ngomongnya tanpa didahului sikat gigi. Demokrasi di negeri kita, yang ditandai dengan pemilihan ini itu secara langsung memang banyak memanen pujian dari negara-negara Barat, terutama Amirika. Tapi ya disitu kelirunya. Ketika kita sudah dipuji-puji mereka, berarti ada yang salah dengan kita. Kalau kita sekalian dibom gitu saja malah ketahuan siapa yang benar.

Tetapi saya yakin para politisi, para bisnismen, dan para orang professor, dosen, mahasiswa dan rombongannya rajin menyikat gigi, jadi kalau ngomong demokrasi baunya jadi harum, seharum mempelai wanita. Demokrasi saat ini adalah industri pencitraan. Industri public relations, alias industri jual beli omongan-omongan kosong, semacam “Lanjutkan,” “Lebih cepat lebih baik,” dan “Pria punya selera.” Ngomong demokrasi tanpa ngomong media dan propaganda seperti orang tuli ngomong tentang Dewa 19.

Demokrasi bertumpu pada kesepakatan mayoritas masyarakat dalam pengambilan keputusan. Jadi misalnya 51% orang Indonesia milih SBY, maka itu demokrasi. Tapi kan demokrasi belum tentu demokratis. Demokratis itu kalau kita secara sadar memilih pilihan kita, memilih jalan hidup kita, memilih kekasih kita, memilih mau masuk UGM atau UMG, dengan mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang akan kita hadapi. Persoalan memilih ini bukan sepele lho. Bahasa kerennya butuh “alat intelektual,” alias kecerdasan. Tapi orang Indonesia pada sadar po?

Si Edward Bernays, bapak public relations, pernah bilang—yang menurut saya agak vulgar—bahwa manipulasi atas opini dan perilaku masyarakat merupakan elemen PENTING dalam demokrasi. Mereka yang kerjaannya memanipulasi inilah yang sebenarnya menjalankan kekuasaan. Jadi bukan rakyat yang berkuasa. Kalau dalam bahasanya Walter Lippmann, ini disebut “manufacturing consent,” alias memproduksi kesepakatan. Dan proses memproduksi kesepakatan inilah esensi dari demokrasi. Gimana caranya biar masyarakat pada sepakat, pada seragam opini dan perilakunya, sehingga mudah digiring masuk jurang? Caranya ya lewat media. Media adalah alat yang sangat amat efektif untuk menjauhkan masyarakat dari perdebatan publik yang menyangkut hajat hidup mereka sendiri. Singkatnya, demokrasi jangan sampai dijalankan oleh rakyat. Rakyat tugasnya cuma nonton. Jangan ikutkan mereka, kecuali lima tahun sekali.

Nah, untuk menjalankan siasatnya, si gerombolan manipulator ini (politisi, akademisi dan bisnismen) membutuhkan sesuatu untuk menaunginya, namanya Negara. Negara ini harus seolah-olah demokratis. Negara, kata si James Madison, berfungsi untuk melindungi kaum minoritas yang anggun itu dari kebar-baran kaum mayoritas, atau rakyat. Rakyat itu gak punya kuasa sama sekali, yang berkuasa adalah “stock jobbers,” alias para investor, kata Madison. Negara demokrasi saat ini dikuasai oleh para gangster investor yang menggunakan kekuasaannya untuk keuntungan mereka sendiri, kata Mbah Chomsky, yang mendapat pembenaran yuridis dan akademis dari kawan politisi dan akademisi mereka.

Begitu juga dengan ideologi pasar bebas yang harus dianut negara demokrasi. Seperti yang dikatakan Adam Smith, pasar bebas itu bisa sangat demokratis, karena prinsipnya adalah konsumen bebas memilih secara sadar barang-barang produksi yang dibutuhkannya. Tapi kan sekarang si Adam Smith itu kan ditelanjangi habis-habisan kemudian divideo dan dijual ke seluruh dunia oleh Barat. Sekarang konsumen jelas tidak ada yang sadar. Bahkan mereka dungunya keterlaluan. Mereka tertipu oleh iklan-iklan yang tidak merujuk ke substansi barang produksi yang ingin dijual. Kita disuruh nonton Piala Dunia saja senengnya bukan main, heboh, padahal kita tidak ikut main. Sambil nonton, kita disuruh bersorak-sorai, beli ini itu, ngefan ini itu, dan disuruh merokok. Tidak ada iklan yang benar-benar merepresentasikan secara adil tentang suatu produk. Kan gak ada iklan Coca-cola yang bilang kalau minuman ini dibuat oleh buruh Bangladesh yang diupah sangat rendah. Atau iklan rokok yang bilang kalau rokok lebih banyak membunuh daripada mariyuana. Semuanya adalah industri pencitraan. SBY juga dijual atau diciterakan seperti kehendak mereka yang mengusungnya.

Lalu bagaimana agar kita sadar? Kalau saya sih sudah sadhar dari dulu, karena lulusan Sanata Dharma. Lha yang lulusan UGM?

Menurut Chris Hedges, dunia kita terbelah menjadi dua. Dunia ilusi dan dunia realitas. Mereka yang terjebak dalam dunia ilusi adalah mereka yang terekspos oleh citra-citra atau gambar-gambar, dan secara bersamaan mengira kalau gambar-gambar tersebut adalah INFORMASI. Mereka mengira kalau filem Hollywood adalah informasi. Ciloko to? Mereka masuk dalam budaya gambar. Budaya gambar yang diwartakan oleh media ini semakin menjauhkan mereka dari dunia realitas, yang kata Hedges adalah dunia berbasis tulisan. Kenapa tulisan? Karena dunia tekstual setidaknya lebih mengasah kritisisme dan analisis independen. Mereka yang masih di dalam budaya tekstual lebih memiliki kemampuan intelektual dan analitis yang cukup untuk memilah-milah mana informasi yang ilusif dan mana yang fakta.

Yang bisa kita lakukan sebagai orang kecil ya cuma mulai belajar sadar (tapi gak perlu masuk Sanata Dharma), belajar membaca dan memilah informasi, dan akhirnya belajar mendidik orang lain. Ini juga gak sepele lho. Kata Chomsky, perubahan itu dimulai dari “popular education,” pendidikan masyarakat. Minimal kita bisa tahu kalau merokok itu merusak kesehatan.

Yah… itulah demokrasi. Dan itulah mengapa Israel juga menganggap diri mereka demokrasi.

Sumber:
Edward Bernays, “Propaganda,” 1928.
Noam Chomsky, “Understanding Power.” 2002.
Chris Hedges, “Empire of Illusion: the End of Literacy, the Triumph of Spectacle,” 2009.

Sunday, May 23, 2010

Kartun Muhammad: Ilusi Kebebasan Bereskpresi

22 Mei 2010

Lomba nggambar sketsa Nabi Muhammad saw. lewat media facebook adalah bentuk rasisme Barat terhadap Dunia Islam. Pengetahuan Barat akan Islam masih dibungkus prasangka-prasangka, dari dulu sampai sekarang. Barat itu kayak anak-anak TK, juga dari dulu sampai sekarang. Sekarang mereka lomba nggambar, besok apa lagi? Lomba mewarnai?

Wong orang-orang Eropa dan Amerika baru gemar “belajar mengaji” (buka jurusan “Islamic Studies” di universitas-universitas) setelah tahun 1973, lha kok mereka sok tahu. Mereka terpaksa berkenalan dengan Islam setelah Pangeran Faisal dari Arab Saudi mengembargo pasokan minyak ke Barat karena Amerika dan Eropa terus-terusan mengirim bantuan militer ke Israel saat perang Yom Kippur, 1973. Embargo tersebut meruntuhkan pasar saham di Barat, karena harga minyak tiba-tiba melonjak sangat tajam. Ekonomi hancur, mirip saat Great Depression tahun 30an. Untung Pangeran Faisal segera dibunuh, jadi keadaan bisa stabil kembali.

Barat dan pengikutnya, yang ketakutan setengah mati akan kematian, tidak dipungkiri juga takut setengah mati pada Islam, yang mendambakan kehidupan kekal setelah kematian. Bagi Barat, dunia materi adalah satu-satunya eksistensi yang kredibel, bisa dipertanggung jawabkan. Kebalikannya, Islam memandang dunia materi tidak lebih dari sekedar bayangan maya, ilusi. Oleh karena itu, walaupun mereka buka 100 jurusan Islamic Studies, dan menunjuk kajur-kajurnya, ya tetap gak bakalan ketemu, susah untuk bisa paham, apalagi sampai bisa ketemu nabi Khidir.

Lewat media, seakan-akan mereka bisa bebas berekspresi dan berpendapat. Padahal bebas berekspresi dan berpendapat itu ya nggak ada. Kalau kebebasan berekspresi itu ada, media malah yang tidak ada.

Berikut kutipan Chomsky saat mengomentari munculnya karikatur Muhammad di media Denmark pada tahun 2006 lalu:

“Nggak ada itu hubungannya dengan kebebasan pers, atau kebebasan berekspresi. Ya itu hanya rasisme, seperti biasa, yang dibungkus dengan embel-embel kebebasan berekspresi. Kalau Jilandposten berhak memasang kartun Muhammad dengan alasan kebebasan berekspresi, maka New York Times juga berhak untuk mempublikasikan kartun Anti-Semitis pada halaman depannya. Lha wong beberapa minggu lalu saja si Jilandposten nggak berani memasang kartun Yesus, karena takut menimbulkan kemarahan publik, lha kok sekarang malah masang kartun Muhammad.

“Orang Eropa itu nggak paham tentang kebebasan pers dan berekspresi. Bahkan kebebasan berpendapat tidak dijamin. Kemarin contohnya, PM Tony Blair mengusulkan sebuah undang-undang yang melarang warganya memuja terorisme. Saat salah seorang imam muslim dipenjara di Inggris dengan tuduhan ‘memuja terorisme,’ koran Guardian buru-buru mengeluarkan editorial yang isinya mendukung rencana Tony Blair tersebut, dengan alasan bahwa seiap orang tidak boleh menyebarkan kebencian dan mendukung tindakan kekerasan.

“Kalau UU tersebut dilegalkan, hampir seluruh media di Inggris pasti akan tutup. Apakah mereka menebarkan kebencian? So pasti. Apakah mereka mendukung perang Irak? Ya. Itu artinya mereka menyebarkan kebencian dan mendukung tindak kekerasan.

“Sebenarnya mereka itu gak peduli dengan kebebasan berpendapat. Yang mereka tahu adalah bagaimana menggunakan institusi kekuasaan untuk mematikan pendapat-pendapat yang tidak mereka sukai. Bahkan Stalin pun pasti setuju.” (http://www.chomsky.info/interviews/200606--.htm)

Media adalah ilusi dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan perpendapat dan bereskpresi adalah ilusi dari demokrasi. Padahal ilusi itu fatamorgana.

Thursday, February 11, 2010

Refleski Tentang Media (2)


(sambungan dari “Refleksi Tentang Propaganda”)

10 Feb 2010

Pada dasarnya media punya dua fungsi dasar: pertama untuk mendoktrin kaum elit agar mereka tahu bagaimana tata cara melayani penguasa, dan yang kedua, menjauhkan kaum “tidak elit” dari perdebatan publik supaya mereka tidak sok turut campur dalam proses pengambilan keputusan di pemerintahan.


1. Media sebagai alat indoktrinasi bagi kaum elit


Kaum elit disini mencakup mereka yang termasuk dalam “kelas politik,” yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Ada politikus, hakim, jaksa, DPR, mentri, presiden…(silakan teruskan sendiri). Lalu, yang termasuk kaum elit lainya adalah “kelas bisnismen,” yaitu pengusaha besar dan semua yang terlibat dalam penentuan kebijakan perusahaan. Nah lalu kaum elit yang ketiga adalah “kelas intelektual,” atau para orang pintar di universitas-universitas: ada professor, mahasiswa-mahasiswi, dan orang-orang yang mengaku intelek, melek huruf dan senang nonton berita, termasuk para jurnalis.


Kaum elit adalah segmen masyarakat yang paling terdoktrin oleh media, karena mereka paling banyak ter-ekspose oleh propaganda, dan kebanyakan memang terjun langsung dalam penentuan kebijakan publik. Mereka membaca koran-koran, majalah, dan media-media yang juga elit, atau yang tidak mungkin bisa dipahami orang awam. Musik mereka pun kadang-kadang ikut nyleneh, susah dipahami. Kok musik, sampai makanan pun juga pilih-pilih. Pokoknya mereka suka sekali sama sesuatu yang serba rumit dan ruwet, dan biasanya semakin ruwet dan aneh semakin menarik bagi mereka.


Kalau di Amerika, mereka membaca New York Times, atau Washington Post atau Wall Street Journal. Kalau di Indonesia mereka membaca Kompas, Media Indonesia atau apalah saya nggak peduli… Tetapi bukan berarti seluruh konten dari media-media mainstream tersebut adalah propaganda. Konten bisa saja faktual, tone-nya biasanya sangat propagandis…hehehehe….


Kenapa kelas politik, kelas bisnis, dan kelas intelektual masuk dalam kaum elit yang paling menderita karena propaganda? Ya karena mereka bertiga itu ibarat simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan dan kait mengait. Para politikus yang dipimpim presiden harus pintar membahagiakan orang-orang kaya (pebisnis raksasa, terutama yang datang dari negeri Barat), karena kalau orang kaya sampai sedih, siapa yang akan berinvestasi? Itulah mengapa ada Pasar Bebas. Rakyat dan pengusaha kecil boleh saja susah, dan harus dicambuk biar tidak cengeng. Tapi ingat, jangan sekali-kali mengecewakan orang-orang kaya, nanti yang namanya “Enokomi”, yang sampai jadi ilmu pengetahuan itu, runtuh. Kalau sampai runtuh, ibu Menkeu yang susah. Kemudian, kelas pebisnis juga harus jeli memilih teman di dunia politik (termasuk memilih presiden), salah-salah malah gak jadi untung berlimpah. Kelas intelektual juga gak mau kalah, mereka tugasnya menjaga kelangsungan sistem ini sampai generas-generasi selanjutnya--singkatnya, menjadi pewaris.


2. Media untuk menjauhkan kaum non-elit (rakyat biasa, wong ndeso, dll) dari perdebatan publik.


Kemudian, fungsi kedua dari media adalah untuk menjauhkan orang awam dari pengetahuan-pengetahuan yang penting-penting, agar urusan-urusan penting hanya diurusi oleh orang-orang penting saja. Siapa orang-orang penting itu? Ya ketiga kelas masyarakat yang sudah disebutkan diatas. Kaum awam jangan sampai tahu kalau ada sesuatu.


Kaum awam itu liar, tidak tahu tata krama, yang apabila tahu sedikit saja, bisa mengamuk tidak karuan. Jadi harus ada media yang membuat mereka tetap dungu…boso Jowone, ngah ngoh…nek ditakoni gur “ha he ha he…” Kalau orang pintar membaca Kompas dll. orang awan juga harus dikasih bacaan, biar tetap sibuk. Maka muncullah media-media hiburan, ada gossip, sinetron, tontonan misteri, filem layar lebar, acara masak-memasak, MTV, siaran sepak bola dan seterusnya. Lalu apa orang awam tidak butuh berita? Oke lah…kasih saja berita-berita semacam bayi berkepala tiga (kata Chomsky), kekerasan sex dll. Pokoknya orang awam harus dikasih sesuatu yang “tidak serius” seperti itu. Boleh lah, sekali dalam lima tahun mereka memilih presiden, tapi jangan lebih dari itu. Bilang saja kalau politik itu menakutkan…beres masalahnya.


Kadang-kadang, ada juga orang awam yang bisa naik derajatnya. Misalnya, ada anak-anak mereka yang disosialkan di universitas-universitas atau di sekolah-sekolah (bahkan sekolah internasional), sehingga anak-anak mereka tahu tata krama dalam melayani penguasa, yaitu pemerintah dan korporasi. Tapi kebanyakan dari orang awam memang harus tetap jadi awam, agar pebisnis tidak kehabisan konsumen.


3. Produk Dari Media


Ibarat jual beli lele dumbo di pasar, media juga menjual produknya. Lalu apa produk dari media? Dan siapa pembelinya? Produk dari media adalah pembacanya sendiri. Sedangkan pembeli dari produk tersebut adalah advertiser, alias pengiklan, alias dunia bisnis (iki kok malah dadi muter-muter…biarin, biar kelihatan intelek).


Begini. Media (mainstream) dapat duit dari mana? Apakah dari jualan koran, misalnya? Atau dari siaran TV? Media kemungkinan malah merugi ketika mereka harus cetak koran atau majalah, warna-warni lagi. Media dapat duit dari IKLAN. Ada iklan hape, blekberi, mobil, rumah mewah sampai iklan sedot WC otomatis.


Nah, kita sudah tahu bahwa kebanyakan media mainstream (besar) hidup dari iklan. Nah bagaimana cara media agar para pengiklan terus mengiklan di media-media tersebut? Gimana agar pengiklan tersebut tidak lari? Jawabannya, harus ada “kesepakatan.” Maksudnya, kepentingan media harus sepakat dengan kepentingan dunia bisnis. Kalau dalam dunia bisnis sekarang yang sedang nge-tren adalah pasar bebas, ya jangan sekali-kali media mengkritik pasar bebas. Gitu aja kok repot.


Jadi, kesimpulannya adalah masyarakat sebagai produk dari media (pembaca media) “dijual” kepada dunia bisnis untuk dijadikan konsumen. Analogi ini akan lebih mudah dipahami bila kita bicara tentang media hiburan bagi orang awam. Lalu bagaimana dengan media elit? Sama saja. Kaum elit pembaca media elit tersebut juga “dijual” kepada dunia bisnis. Tetapi bukan sekedar menjadi konsumen, kaum elit tersebut nanti akan menjadi manusia-manusia “istimewa” penerus sistem yang agak kompleks ini.


Intinya adalah, jalinan diantara kaum elit (politikus, pebisnis dan intelektual) tersebut tersusun sangat rapi dan otomatis. Mengapa? Karena kepentingan mereka sama, yaitu menjalankan roda sistem ini tanpa gangguan orang-orang dungu yang jadi mayoritas. Kok kepentingan mereka bisa sama? Lha karena mereka semua telah disosialkan, semenjak TK sampai universitas. Gimana nggak sama?


Nah itulah pentingnya sekolahan sebagai salah satu alat indoktrinasi masyarakat….(yang akan dibahas dalam tulisan-tulisan selanjutnya, InsyaAllah).


Salam hangat-hangat nikmat...

Muhamad Hidayat.

(seri tulisan: “Demokrasi: Othak Athik Mathuk”)

Sumber: Noam Chomsky, “Understanding Power.”

Chomsky, “Media Control.”

Dll.

Refleksi Tentang Progaganda (1)

(seri Open Media Pamphlet : "Demokrasi: Othak Athik Mathuk")
Hidayat, 18 September 2009

Ketika kita merayakan demokrasi, dengan berbagai atributnya—kebebasan bereskpresi, berpendapat, menentukan pilihan, multikulturalisme dll—kita sering kali lupa dan tidak sadar bahwa demokrasi itu sendiri telah berevolusi menjadi sistem politik dan pemerintahan yang pada intinya bersifat sangat anti-demokratis. 

Kamus “Oxford Guide to Philosophy” (2005) bahkan sudah memberi berbagai penjelasan tambahan seputar evolusi ini dalam inputnya “demokrasi” (hal. 196). Ada berbagai fitur dalam demokrasi, namun yang terpenting adalah bahwa demokrasi memungkinkan adanya partisipasi masyarakat (orang dewasa) secara efektif dalam penentuan kebijakan publik. Namun bila kita cermati kebanyakan sistem pemerintahan demokrasi Barat, semenjak awal abad 20, justru selalu (dan pasti) berusaha untuk menjauhkan masyarakat (rakyat) dari pengetahuan tentang berbagai kebijakan berhubungan hajat hidup mereka sendiri. Singkatnya, pemerintahan selalu berupaya untuk memanipulasi massa atas nama demokrasi, sehingga semua warganya merasa sudah berpatisipasi secara efektif dalam sistem tersebut, supaya mereka merasa dilibatkan dalam sistem yang serba benar ini, dan supaya rakyat mendukung kebijakan yang bertolak belakang dengan kepentingan mereka sendiri. Kok bisa? Ya bisa saja. Kita harus berterima kasih kepada yang namanya “propaganda” atas semua ini. Propaganda adalah alat pemerintah yang sangat efektif untuk memanupilasi mood masyarakat, bahkan MEMBENTUK opini dan perilaku, yang sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi, karena sistem ini bertumpu pada dukungan mayoritas.

1. Sejarah Singkat Propaganda

Propaganda intinya adalah penyebaran informasi dalam bentuk apapun dan tidak berhubungan dengan konotasi negatif atau positif. Kata ini sama netralnya dengan kata “pompa,” kata Chomsky. Kalau dulu, bahasa (retorika) menjadi penting dalam demokrasi, dan sekarang juga masih penting, karena bahasa adalah alat komunikasi untuk membentuk perilaku dan memaksakan kepatuhan dan subordinasi, namun, mulai awal abad 20, sistem demokrasi bertumpu pada propaganda, yang sudah menjadi industri, alias industri informasi, dimana bahasa hanya menjadi salah satu bagian di dalamnya.

Propaganda lahir di negara demokrasi, yaitu Inggris dimasa Perang Dunia I, yang ditandai dengan dibentuknya Kementrian Informasi (Ministry of Information—namanya saja sudah sangat Orwellian, jika anda pernah membaca novel “1984” dari George Orwell). Sedikit background sejarah, saat itu (PD I), Inggris sedang berperang melawan Jerman. Inggris sadar bahwa imperiumnya segera berakhir di tangan Jerman, yang saat itu merupakan kekuatan yang paling hebat di Eropa. Inggris nyaris kalah, dan Jerman hampir menguasai Eropa. Namun Inggris cerdik, mereka tahu satu-satunya kekuatan yang bisa melawan Jerman hanyalah Amerika, yang saat itu adalah negara paling makmur di dunia dengan standar hidup paling tinggi, namun sama sekali tidak tertarik dengan perang di Eropa. Kementrian Informasi Inggris itu secara khusus dibentuk untuk menyebarkan propaganda ke Amerika dan menariknya ke dalam Perang Dunia I di Eropa (membantu Inggris), dan secara umum bertujuan untuk “menuntun pandangan seluruh dunia.” Populasi Amerika saat itu sebetulnya sangat pasifis dan anti-perang. Bahkan Wodrow Wilson terpilih menjadi presiden di tahun 1910 dalam platform yang sangat pasifis dan penuh kedamaian. Jargonnya saat itu adalah “Peace Without Victory.”

Tugas yang menantang bagi Inggris untuk menyeret Amerika ke medan perang. Target dari operasi propaganda Inggris adalah para intelektual liberal Amerika, yang tentu lebih bisa dipercaya rakyat Amerika. Inggris meyakinkan para intelektual tersebut (para professor universitas) bahwa perang Inggris adalah mulia, dan kalau Amerika tidak mau membantu Inggris, Jerman akan menguasai Eropa dan akhirnya akan menyerang Amerika (sebuah alasan yang sangat lucu). Singkatnya, propaganda Inggris berhasil. Kemudian, menjadi tugas para intelektual tersebut untuk membujuk masyarakat luas agar mau berperang. Secara singkat, mereka berhasil mengubah opini massa, dari massa yang sangat anti-perang menjadi massa anti-Jerman fanatik (kasus ini sangat menarik, karena ini kasus pertama dimana para intelektual, bukan politisi, berperan untuk membelokkan opini rakyat agar pro-perang. Kasus ini juga menjadi refleksi betapa kaum intelektual adalah sebuah alat pemerintahan).

Amerika akhirnya turut berperang. Jerman kalah. Dan inilah mulanya Amerika menjadi negara adikuasa, menggantikan imperium Inggris yang hancur diserang Jerman. Amerika menjadi kuat karena ia adalah satu-satunya negara yang tidak dirugikan dalam Perang Dunia I, disaat semua negara Eropa bangkrut. Propaganda menjadi sangat sukses dan terkenal. Bahkan, kaum Bolshevik juga tertarik untuk menggunakannya, tentu dengan metode yang lebih ekstrim. Kalau anda pernah membaca Mein Kampf, Adolf Hitler sangat terpukau dengan propaganda ini, dan ia sendiri bilang kalau kekalahan Jerman di PD I adalah kekalahan propaganda. Tidak heran jika ia kemudian ikut-ikutan menggunakannya untuk memanipulasi dan membentuk opini massa Jerman di Perang Dunia II, sehingga Jerman benar-benar menjadi kekuatan yang mengerikan dan kejam, namun kompak. Hanya setelah digunakan Hitler ini (dan nanti oleh Soviet), kata “propaganda” menjadi seakan-akan berkonotasi negatif.

2. Propaganda, Public Relations dan Demokrasi

Kesuksesan Propaganda di Amerika berada di tangan para orang-orang pintar alias kaum intelektual (kayaknya, dimana saja orang pintar selalu membodohi masyarakat). Salah satu orang yang berperan penting dalam mengembangkan propaganda menjadi skala industri adalah Edward Bernays dan Walter Lippmann. Jika anda kuliah di Public Relations dan Ilmu Komunikasi, orang –orang ini tentu menjadi guru atau suhu anda. Mereka menulis jika kita (pemerintahan) bisa mengontrol “pemikiran massa,” maka kita bisa membentuk opini dan perilaku mereka (rakyat). Catat: ini sangat penting, mengontrol pikiran. Dalam kata-kata Lippmann, ini disebut “manufacture of consent” atau “memproduksi kesepakatan.” Bahkan menurut Bernays, dalam bukunya berjudul “Propaganda”[1], proses memproduksi kesepakatan ini adalah “inti dari proses demokrasi.”

Penting dicatat, saat itu, (1920an), Amerika dan Eropa ada dimasa industrialisasi besar-besaran—menuju pergantian industri berbasis batubara menjadi industri berbasis minyak. Dan propaganda menjadi sangat efektif untuk melumpuhkan kekuatan-kekuatan kelas pekerja. Dan ini adalah periode lahirnya korporasi (bahasa tentang korporasi ada di tulisan selanjutnya). Korporasi dan pemerintah, setelah tahu rumus untuk menjinakkan massa, memaksa para pekerja menjadi robot hidup yang segala gerakannya diatur. Bolsheviknya Lenin tentu tidak mau ketinggalan. Mereka ikut-ikutan mengadopsi propaganda untuk “merobotkan” kaum komunis di seluruh dunia.

Yang menarik, pemerintah tidak hanya ingin mengontrol para pekerja, namun seluruh rakyat, agar opininya seragam, dan agar semua patuh, walau masyarakat sendiri tidak sadar kalau mereka patuh, dan masih saja teriak-teriak kebebasan. Lalu muncullah industri Public Relations, yang tidak hanya bermanfaat bagi pemerintah, tapi juga bagi dunia bisnis. Salah satu contoh menarik, dalam film “The Century of Self,” anda akan tahu mengapa saudara-saudara putri kita sekarang banyak yang merokok. Itu karena pada tahun 20an, si Bernays dan korporasi rokok Amerika mengotak-atik teori Psikoanalisis untuk menjustifikasi bahwa wanita berhak merokok.

Nah, dalam usaha mengontrol masyarakat bukan pekerja (masyarakat umum), industri Public Relations memfokuskan diri untuk menginstall “philosophy of futility” atau “filsafat kesia-siaan” pada masyarakat, dengan memaksakan “hal-hal superfisial atau tidak penting dalam kehidupan, seperti konsumerisme fashion.” Biarkan masyarakat yang bodoh bebas untuk terjun kedalam konsumerisme, fashion, music, olah-raga, style agar mereka tidak paham apa yang dilakukan pemerintah mereka. Biarkan orang-orang pintar (politikus dan para intelek) yang mengurus segalanya. Kita harus mengontrol pikiran dan perasaan masyarakat karena mereka sangat berbahaya, seperti saya. Ini merupakan salah satu ciri penting dalam demokrasi kontemporer, dimana asumsi bahwa “manusia adalah hakim terbaik untuk dirinya” benar-benar ditolak mentah-mentah. Jika anda kuliah di Komunikasi, anda tentu kenal Harold Lasswell. Ia berkata terang-terangan bahwa kita (politikus dan intelektual) tidak boleh menyerah begitu saja pada asumsi “dogmatis” tersebut. Masyarakat terlau bodoh untuk paham apa kepentingan mereka sendiri. Para politikus dan intelektual tentu berpikir bahwa “kami adalah hakim terbaik bagi anda,” jadi anda manut-manut saja, gak usah aneh-aneh. Sekali dalam lima tahun boleh lah anda nyontreng, setelah itu, lanjutkan nonton sepakbolanya, kata Chomsky. Lalu kita masih saja teriak demokrasi? Nangis darah saya.

Industri Public Relations tersebut, semenjak awal abad lalu, telah berkembang-biak menjadi industri skala besar, mulai dari industri periklanan, media, sampai sekolahan dan universitas. Tujuannya satu, mengontrol pikiran, perasaan dan membentuk opini publik atas nama demokrasi, menjinakkan masyarakat dan membuat mereka patuh serta mematikan pikiran dan kritisisme. Dan anehnya industri ini berkembang di negara-negara demokrasi. Mengapa? Karena jika anda bisa mengontrol masyarakat dengan senjata seperti di Soviet dan negara komunis lainnya, anda tidak perlu susah-susah mengontrol pikiran dan perasaan masyarakat. Tapi ketika mengontrol massa dengan senjata menjadi sudah terlalu kuno dan fulgar, kontrol atas pikiran dan perasaan dan “produksi kesepakatan” menjadi penting sekali.

Nah kira-kira seperti itulah wajah demokrasi saat ini, yang selalu diagung-agungkan dan anti-kritik. Kalau kita cermati, ciri-ciri diatas justru bertolak belakang dengan konsep “demokrasi” itu sendiri, dimana, salah satu prinsipnya, manusia adalah hakim bagi dirinya. Kita saat ini tidak memiliki kontrol dan alat efektif untuk menyalurkan suara kita (yang ini juga bertolak belakang dengan prinsip demokrasi dalam kamus). Ketika serikat buruh dalam negara industri telah dimatikan, rakyat otomatis tidak punya kontrol atas kebijakan pemerintah. Kalau kita cermati lagi, sistem demokrasi ini sangat bersifat “top-down” alias terkontrol dari atas, persis seperti Leninisme. Nah sekarang pertanyaanya bukan apa pilihan lain selain demokrasi? Tapi bagaimana kita bisa memiliki alat yang efektif dan partisipasi yang bermakna dalam proses demokrasi? Salah satu upaya yang paling mendesak kita lakukan, menurut saya, adalah memahami dan mulai bertanya apakah apa yang kita lakukan berdasar pada kesadaran kita atau bukan. Selama kita masih terjebak dalam propaganda, dengan berbagai alatnya yang indah-indah dan nikmat, senikmat seks dan konsumerisme, kita tidak akan mampu bergerak dan memulai suatu gerakan, menurut kapasitas dan peran masing-masing. Sadarkah kita akan pilihan kita?
Bahasan ini belum mencakup masalah korporasi, media dan dunia pendidikan secara spesifik, yang juga merupakan komponen penting dalam demokrasi kontemporer. Semoga umur masih mempertemukan kita. Selamat idul fitri, mohon maaf lahir dan batin.
“Apakah kau pernah, merasa semua, yang tlah kau dapatkan, terbuang percuma, dan seakan semuanya, menghilang sia-sia?”
[1] Buku “Propaganda” dari Edward Bernays merupakan buku yang sangat menggemparkan dan mudah dibaca. Bagi anda yang tertarik, saya punya e-booknya, silakan hubungi saya di muhamadhidayat@hotmail.com.

Sumber utama:
1. Noam Chomsky, “Imperial Ambitions.”
2. Noam Chomsky, “What makes mainstream media mainstream”
3. Edward Bernays, “Propaganda.”
4. Film documenter, “The Century of Self.” Bisa di tonton (dicuri) di YouTube atau GoogleVideo.
5. Ted Honderich (ed.), “Oxford Guide to Philosophy”
6. Hidayat, “Dunia Buta Huruf”
Media alternative (anarkis):

Dunia Buta Huruf


Hidayat, 13 April 09


Analisis singkat atas artikel dari Chris Hedges berjudul “America the Illiterate” yang muncul di kolomnya di TruthDig.com dan Information Clearing House.


Chris Hedges memang telah menjadi salah satu favorit saya. Ia adalah jurnalis independen terkemuka dan penulis. Bukunya yang terkenal adalah “I Don’t Believe in Atheists” yang menjadi pegangan para anti-Atheists di Amerika. Kalau saya tetep “I Don’t Believe in Atheists”, tapi Atheists tetep sahabat baik saya.


Artikel “America the Illiterate” menurut saya adalah artikel paling mengerikan sepanjang sejarah saya membaca. Sangat comprise dan compact, penuh dengan makna dan berbobot sekali, disamping tentu saja nylekit dan menyinggung semua orang di dunia (saya suka itu…). Belum pernah saya mendapati artikel se hebat itu. Tulisan2 Chris memang selalu menarik, itulah kenapa ia pernah mendapat hadiah Pulitzer di bidang jurnalisme. Berikut adalah analisis singkat atas “America the Illiterate”.


Artikel ini pada dasarnya memunculkan tesis dari Chris Hedges bahwa dunia kita terbagi menjadi dua. Yaitu:


1. Dunia literate (melek huruf) minoritas yang bergerak pada lingkup “print-based, literate world” atau dunia berbasis tulisan.


2. Dunia illiterate (buta huruf) mayoritas yang bergerak pada lingkup “non-reality-based belief system”, atau dunia yang berbasis pada “sistem kepercayaan berdasar non-realitas.”


Dikotomi ini lebih mengerikan daripada sekedar perbedaan agama, gender, kelas, ras, warna kulit dan sebagainya yang tidak penting-tidak penting itu. Keduanya adalah entitas yang sangat antagonistis, melebihi dari sekedar perbedaan yang sifatnya trivial semacam perbedaan kepercayaan yang digembar-gemborkan oleh orang-orang tolol semacam Netanyahu, Bush dan bin Laden. Berikut ulasan singkatnya.


Menurut Chris Hedges, manusia “melek huruf” pada dasarnya mampu “cope with complexity and has the intellectual tools to separate illusion from truth” atau bisa menghadapi kompleksitas dunia dan mempunyai alat intelektual untuk membedakan antara ilusi dan kebenaran. Ingat: alat intelektual, bukan perasaan. Kemudian manusia mayoritas saat ini (si buta huruf), pada dasarnya bergantung pada “skillfully manipulated images for information, [that] has severed itself from the literate, print-based culture.” Atau bergantung pada imej-imej yang dimanipulasi secara canggih sehingga dikira sebuah informasi (gambar sebagai informasi). Mereka jauh dari dunia melek huruf dan kultur berbasis tulisan.


Yang paling membedakan diantara keduanya adalah bahwa si buta huruf tadi tidak bisa membedakan mana yang ilusi dan mana kebenaran. Mereka “terdidik” oleh naratif-naratif dan klise-klise kekanak-kanakan yang sama sekali over-simplifikatif. Yang dimaksud “melek huruf” tentu saja belum tentu mereka yang suka membaca buku dan sebagainya, tapi yang mampu menganalisa informasi dari sebuah teks.


Kasus yang diangkat oleh Chris adalah fenomena yang terjadi di Amerika dimana sepertiga rakyat amerika adalah “buta huruf” dan 42 % dari lulusan universitas Amerika tidak pernah membaca buku setelah mereka lulus. Angka-angka itu mungkin masih lebih lumayan daripada di Indonesia, mungkin. Dan angka-angka tadi semakin besar mengingat mereka yang seharusnya “melek huruf” (mereka yang bisa membaca dan terdidik di sekolah) malah ikut terjun bebas ke dalam dunia non realitas yang berisi gambar-gambar yang dikira informasi. Kultur gambar, bukan kultur tulisan, yang disebarluaskan oleh media. Semuanya kan sekarang berbentuk gambar-gambar yang menarik hati. Video music, film-film, siaran olah-raga, siaran gossip, iklan-iklan, dan semuanya yang ada di televisi itu. Orang sekarang lebih memilih nonton gambar-gambar bergerak itu daripada membaca, dan mereka mengangga itu semua sebagai informasi. Maka tidak heran jika orang nonton, misalnya film Pearl Harbor yang keren dan mengharukan itu, menganggap itu semua sebagai sebuah informasi dan kebenaran. Instant.


Dalam konteks pemilu saat ini, kita bisa semakin menganalisa mereka yang buta huruf. Si buta huruf ini sebenarnya tidak memilih karena mereka tidak bisa membuat keputusan berdasar informasi tekstual. Semua tertipu oleh propaganda politik yang dikemas menjadi slogan-slogan murahan. Kampanye politik dibuat oleh industri Public Relation agar memiliki imej yang menyamankan. Mereka tidak memerlukan keahlian kognitif dan kritis. Tujuan kampanye tersebut adalah untuk menyulut euforia pseudo-religious, penguatan dan “collective salvation.” Kampanye yang sukses berarti kampanye yang menggunakan instrument-instrumen psikologis untuk memanipulasi mood masyarakat, emosi dan impuls, yang kebanyakan tidak disadari (subliminal). Kampanye politik (dan apapun yang ada di media) memunculkan sebuah ekstasi kebersamaan yang meruntuhkan kreativitas individualitas dan yang menyuburkan kebodohan dan kecerobohan (tapi kan kolektif, hehe..). Mereka bergantung pada style dan story bukan isi, histori dan realitas. Realitas adalah tidak relevan, yang penting narasi-narasi. Mereka memilih ilusi-ilusi yang membahagiakan. Mereka bingung membedakan perasaan dan pengetahuan. Dan mereka akan tetap powerless dan lemah setelah pemilu usai, karena mereka tidak paham mengapa hidup mereka masih saja susah, atau tetangganya masih susah, masih saja menganggur, dan setelah semua tak tertahankan, mereka berduyun-duyun pergi ke mesjid atau gereja atau apapun itu untuk merengek minta mati.


Di Amerika, budaya gambar ini sudah sangat akut di masyarakat. Misalnya orang lebih memilih makanan cepat saji, karena murah dan memilihnya lewat gambar, gak harus membaca menu dll. Bagaimana dengan kita? Sama saja. Kita milih sekolah saja dari brosur yang gambar kampusnya warna-warni.


Pemimpin di era post-literate saat ini tidak harus pintar, kompeten atau jujur. Mereka hanya perlu terlihat memiliki kualitas-kualitas tersebut. Yang mereka butuhkan hanya narasi dan story. Dan narasi-narasi mereka bisa saja sangat bertentangan dengan realitas, gak masalah. Mereka hanya perlu konsisten dalam pendekatan emosional saja. Keahlian yang paling penting bagi pemimpin yang sukses saat ini adalah kelicikan. Yang bisa menghibur masyarakat dengan slogan-slogan emosional dan kekanak-kanakan, dan menyentuh insting dan ketidak sadaran mereka. Pokoknya asal slogan-slogan itu diulang-ulang, orang bakalan percaya. Misalkan slogan Obama “change we can believe in”, atau “bersama kita bisa” atau “teruskan” atau “partai keren sekali” atau “revolusi” atau “hancurkan kapitalisme” atau apalah itu. Noam Chomsky bahkan menantang, siapa yang paham maksud slogan-slogan seperti itu? Coba apa maksudnya? Lha memang nggak ada artinya. Orang ya malah kebingungan bila ditanyai, kata Chomsky.


Bahkan teks debat capres Amerika, menurut penelitian The Princeton Review, semakin lama semakin tidak berkualitas. Di masa Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas, teks debat mereka berada pada level sangat tinggi, 11,2 dan 12,0. Sedangkan G. W. Bush berada pada level 6. Clinton 7, Al Gore 7. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa orang paling terkenal di Amerika abad 18 adalah seorang filsuf, Voltaire. Sekarang, orang paling dikenal di Amerika adalah “Mickey Mouse.” Siapa orang paling dikenal di Indonesia saat ini? Jeng Kellin? Ruben? Unyil malah lebih mending.


Dalam dunia post-literate kita saat ini, memang terjadi paradox. Mereka yang melek huruf, intelek, terdidik dan terpelajar malah memunculkan ligkaran-lingkaran tersendiri, yang malah semakin menjauhkan mereka dari masyarakat kebanyakan. Mereka menjadi eksklusif dan elitis. Dan menurut Chomsky, itu karena mereka tidak mau kehilangan prestis mereka sebagai orang pintar. Takut tidak keren. Mereka mau mendominasi secara intelektual atas orang biasa, sehingga mereka bisa berkuasa. Menurut Bakunin, mereka mungkin termasuk dalam kategori “New Class” alias kelas baru dalam masyarakat (contohnya Lenin di Rusia). Dictator intelektualitas.


Nah, menurut Chris, tugas mereka yang intelek adalah mengemas pemikian mereka sehingga debat, diskusi, dialog, teater, seni, lukisan, buku, dan tulisan juga punya kualitas menghibur, sehingga bisa diakses siapa saja. Istilahnya, “Hamlet” atau “Ramayana” harus bisa sama menariknya dengan “Ada Apa Dengan Cinta.”


Bahaya dari transformasi dunia dari dunia berbasis tulisan ke berbasis gambar saat ini sangatlah mengerikan. Mereka yang terisolir dari realitas akan semakin berkumpul menjadi kekuatan penghancur. Enurut Chris, kalau di Amerika mereka termasuk Bush dan kaum Kristen Kanan Evangelical lainnya. Kalau di dunia Muslim mereka adalah para ekstrimis Muslim pimpinan Osama (Al Qaeda dkk). Kalau di Israel ya Netanyahu, Lieberman dan pendukung-pendukungnya. Sama-sama gila, rasis dan tidak rasional sama sekali.


Dalam “America the Illiterate” Chris Hedges menyimpulkan, saat ini kita membutuhkan:


“Nilai-nilai keterbukaaan, kemampuan untuk berpikir untuk dirinya sendiri, kemampuan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan independen, mengekspresikan perbedaan pendapat ketika penilaian dan akal sehat mengindikasikan ada sesuatu yang salah, kemudian kemampuan untuk kritis terhadap diri sendiri, untuk menantang kekuasaan, kemampuan untuk mengetahui fakta-fakta sejarah, untuk membedakan kebenaran dan kebohongan, kemampuan untuk menghadapi perubahan dan mengakui bahwa ada perbedaan dan ada cara berpikir dan hidup yang berbeda.”


Wuihhh… nikmatnya jadi Anarkis...

Muh Hidayat

Artikel Chris Hedges “America the Illiterate” bisa dibaca di: http://www.truthdig.com/report/item/20081110_america_the_illiterate/