Monday, September 27, 2010

Tersesat di Hollywood

Hidayat 4 Agustus 2010

(Catatan pribadi tentang buku Chris Hedges, “Empire of Illusion: The End of Literacy and The Triumph of Spectacle,” 2009)

Hampir semua yang hidup di alam dunia saat ini ingin dikenal, diakui, dicintai, dipuja dan dicemburui. Tidak manusia tidak hewan. Itulah mengapa ada selebritis, sapi metal dan cewek indo.

Saat ini, televisi telah menciptakan kultur selebritis. Kalau dalam kamus inggris, salah satu arti dari entri “celebrity,” selain “orang yang terkenal,” adalah “keadaan menjadi terkenal.” Jadi televisi dan dunia kamera telah menciptakan budaya keterkenalan. Sedangkan komputer dan internet telah menciptakan kultur konektivitas, budaya berhubungan, bercengkerama dan bersenggama online.

Kalau budaya selebritis—merayakan diri sendiri—digabung dengan budaya berhubungan, maka saat itulah manusia eksis, ada, dan paripurna—menurut aturan Hollywood. Lha menurut aturan Hollywood lagi, manusia normal harus berusaha untuk dikenal dan dihubungi. Ia harus “kelihatan.” Bagaimana biar terlihat? Para selebritis sudah memberikan contohnya, tinggal pilih yang bentuknya seperti apa yang mau ditiru, dari model pria sejati seperti Ariel, atau model yang mbanci, atau yang model ngiyai juga ada. Wanita juga bisa milih, mau yang model super-hot, pliket dan beraroma sambal seperti Aura Kasih, atau yang mlenis-urakan, simetris dan sak tekeman kayak Pevita Pearce. Kita menjadi nyata ketika kita terlihat, dan karena itulah Facebook dicipta. Selebihnya, manusia itu sekedar hantu. Sedangkan hantu adalah terror sejati manusia modern. Kenapa? Karena jarang kelihatan. Kelihatan sesekali pun cuma mringis, dan tidak manis-manis amat, terlepas bahwa si hantu ini ternyata bisa terbang.

Semua upaya diatas ditujukan agar manusia-manusia bukan hantu tersebut menjadi bahagia. Dan kebahagiaan, menurut aturan Hollywood lagi, bergantung pada bagaimana kita terlihat dan memperlihatkan diri kepada orang lain. Itulah mengapa ada dokter bedah plastik, guru fitness, perancang busana, desainer interior rumah, sampai konsultan jerawat. Supaya apa? Supaya kita mejadi “selebritis.” Kita membangun filem-filem dan sinetron kita sendiri agar kita dapat berperan seperti selebritis. Itulah mengapa “dunia ini panggung sandiwara.” Dan keadaan seperti ini tak mungkin berlangsung ketika para manusia-manusia tadi tidak mendapat dukungan moral. Jadi harus ada yang selalu mengingatkan mereka agar mereka terus menjadi “Manusia Super” dengan “Salam Dahsyat.”

Kalau jaman dulu, kerajaan lah yang mengatur tindak-tanduk sosial kita, sekarang televisi, bioskop, internet dan MP3 player yang menentukan eksistensi kita. Hedonisme, sex [and the city] dan uang adalah sila pertama Pancasila. Sedangkan sila kedua adalah Kemuliaan Yang Dipimpim Oleh Hikmat Kebijaksanaan Kekuasaan. Jadi kalau sudah cantik, gagah, seksi dan kaya, ya kalau bisa berkuasa.

Kalau di Amerika, 1% dari populasi Amerika menguasai kekayaan melebihi gabungan kekayaan dari 90% warga Amerika. Di Indonesia mungkin juga hampir sama. Dan manusia-manusia 1% tersebut adalah rujukan utama bagi manusia yang 90%. Yang 90% itu dibentengi oleh televisi supaya tetap fokus. Rakyat miskin itu tidak ada kalau kita tetap fokus. Malahan kita (manusia 90%) ditantang dan dicaci habis-habisan, oleh gaya hidup serba tank-top, serba c.i.n.t.a. dan serba keong racun. Kita harus percaya, bahwa kalau kita terus berusaha, kita akan mejadi seperti mereka. Manusia 1% tersebut menjadi cermin gaya hidup kita.

Kita ini, sayang sekali, terlalu banyak mengonsumsi kebohongan tiap hari. Kita terlalu banyak menelan janji bahwa kalau pakai baju merek ini, atau beli hape merek ini, atau suka musik ini, atau pilih presiden ini, kita akan dihargai, dicemburui, dan dicintai. Kultur selebritis ini mengajak kita untuk berpikir bahwa kita juga berpotensi menjadi selebriti. Ini disebut kultur narsisme, kata Christopher Lasch. Realitas adalah penghalang kesuksesan, bikin gak fokus. Realitas cuma bagi orang kalah. Sedangkan fantasi adalah segalanya. Jadi teruslah menelan fantasi dari televisi, dan lupakan realitas (yang dimaksud realitas itu ya bahwa ada banyak orang miskin, orang kelaparan, ada orang ditindas, ada anak kecil dijatuhi bom, ada orang jutaan mati ditembaki tapi tidak ada yang menghitung, dan lain-lain). Kultur ini mengajak kita menjadi diri sendiri dan melupakan orang lain, karena orang lain itu tidak rasional. Kita telan semua itu tiap hari, tiap saat, tapi kita jarang sekali ke WC, apalagi baca buku.

Televisi itu pornonya melebihi bokep yang paling liar sekalipun. Bokep tidak menyuruh kita supaya beli hape ini, mobil ini, motor ini, rokok itu, atau baju ini dan celana itu, karena dimana-mana bokep itu tidak pakai baju, seperti hewan. Lha kalau kandidat presiden yang dijual oleh televisi dan media? Gak bakalan ketahuan boroknya kecuali kita pakai kacamata tembus pandang. Lha kalau punya kacamata tembus pandang itu kita baru bisa tahu kalau, misalnya, presiden itu ternyata memakai popok dewasa buatan Amerika, karena dia mencretan. Misalnya lho ini. Makanya syair lagunya System of a Down itu berbunyi kalau TV itu “brainwashing,” dan “nonstop disco.” Jadi otak kita dilondri agar kita percaya kalau presiden itu tidak bisa mencret, walaupun baunya sampai kemana-mana. Dan kita juga disuruh berdisko, nyanyi pop sampai mampus.

Tapi mungkin inilah bukti keagungan Tuhan. Makhluk-Nya itu warna-warni, macam-macam dan pokoknya komplit. Yang namanya “manusia” itu sekarang kebanyakan menjadi komoditas dalam budaya selebritis. Manusia itu derajatnya hanya setara dengan apem dan pisang aroma yang diperjual-belikan di pasar globalisasi. Manusia menjadi objek dan menjadi produk yang tak punya nilai intrinsik. Mereka berkompetisi menjadi “manusia” dengan melupakan, dan bahkan bertumpu pada penderitaan, kelemahan, dan penghinaan terhadap manusia lainnya.

Singkatnya, kita ini sedang “Tersesat di Hollywood,” meminjam judul lagu System of a Down kesukaan saya. Padahal tersesat itu tidak bisa pulang.

No comments: