Monday, September 27, 2010

Chomsky dan Argumen Israel Lobby

Muhamad Hidayat

26 September 2010

Walaupun Chomsky telah menjadi salah satu rujukan penting bagi saya dalam memahami dunia kasat mata, ada dua pendapat dia yang membuat saya bingung, karena dua-duanya aneh, dan bahkan kurang “populer” di kalangan para intelektual progresif. Pertama tentang pandangan dia terhadap aksi terorisme 11 September 2001, yang terkesan pragmatis dan banyak merujuk pada laporan resmi pemerintah AS. Kedua, tentang pandangan dia tentang Israel Lobby, sebuah gagasan yang dipopulerkan oleh Prof. John Meirsheimer dan Stephen M. Walt di tahun 2007, lewat bukunya yang sangat populer, Israel Lobby and the US Foreign Policy. Sekarang kita ngomong yang ke dua dulu.

Lewat buku Israel Lobby, Meirsheimer dan Walt berpendapat bahwa hampir seluruh kebijakan luar negeri Amerika yang menyangkut perang Irak, perang Afghanistan dan terutama konflik Israel-Palestina, serta kebijakan strategis lainnya di Timur Tengah adalah produk dari lobi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pro-Israel di Washington. Dalam pandangan ini, kebijakan luar negeri Amerika yang menyangkut Timur Tengah telah dibajak oleh organisasi-organisasi Lobi Israel yang menguasai Konggres, untuk memenuhi kepentingan Israel sendiri. Singkatnya, Israel dalam pandangan ini lebih merupakan beban bagi Amerika karena Amerika sedang tidak menjalankan perang untuk dirinya sendiri. Lewat organisasi lobi yang sangat kuat inilah Israel mendapat bantuan 3 miliar dolar per tahun dari Amerika serta dukungan tanpa syarat atas semua kelakuan Israel. Argumen ini sekarang sangat populer di kalangan media independent dan alternatif.

Chomsky, sebaliknya, menganggap remeh argumen Lobi Israel ini. Bukan berarti menyalahkannya, karena memang benar terdapat lobi-lobi Israel yang sangat kuat yang memiliki dana besar untuk mempengaruhi hasil pemilihan presiden dan anggota Konggres. Lobi-lobi ini juga menguasai berbagai media utama di Amerika sehingga mempengaruhi pemberitaan mereka agar selalu bernuansa pro-Israel[1]. Namun, menurut Chomsky, argumen Lobi Israel ini tidak cukup untuk menjelaskan level bantuan moral, material (militer) dan diplomatik Amerika terhadap Israel. Singkatnya lobi-lobi Israel di Pentagon cuma bagian kecil saja dari jalinan yang lebih kompleks dan historis antara Amerika dan Israel.

Lewat buku Fateful Triangle[2], yang oleh Edward Said dalam kata pengantarnya disebut sebagai karya “paling ambisius dalam memahami konflik antara Zionisme dan Palestina yang melibatkan Amerika,” Chomsky memaparkan fakta-fakta akademis yang merujuk pada argumen bahwa perselingkuhan incest antara Amerika-Israel bukan semata-mata ulah Lobi Israel, namun telah tumbuh lama dan berkembang dalam budaya populer-liberal Amerika yang dimulai sejak pra-Perang Dingin, bukan semata-mata oleh alasan ideologis yang terutama diusung oleh kalangan konservatif Zionis di Amerika. Jadi, menurut Chomsky, sentimen pro-Israel telah mendarah daging dalam budaya akademis Amerika, tidak hanya dalam kalangan kanan, tapi bahkan kalangan kiri yang paling liberal pun banyak yang pro-Israel.

Kalau Meirsheimer dan Walt berpendapat bahwa Israel lebih menjadi “beban strategis” Amerika di Timur Tengah, karena Israel merusak hubungan Amerika dengan Dunia Islam, Chomsky berpendapat bahwa Israel memang diperlukan bagi Amerika, terutama untuk menjadi “polisi” di Timur Tengah agar segala ancaman terhadap dominasi minyak Amerika tidak terancam, dan untuk menjaga agar negara Timur Tengah dan sekitarnya tidak keracunan nasionalisme sekuler-independen. Tidak seperti buku Israel Lobby, buku Fateful Triangle kaya dan padat akan catatan-catatan sejarah sejak Perang Dunia untuk mendukung argument yang dikemukakan.

Israel menjadi penting bagi Amerika untuk menjaga kekayaan Arab agar tidak jatuh ke tangan Eropa dan Jepang. Nah di sinilah letak kecerdasan argumen Chomsky. Dalam literatur umum banyak dikemukakan bahwa intervensi Amerika ke Timur Tengah, termasuk akhirnya mensuport Israel, adalah untuk menjauhkan Uni Soviet dari Timur Tengah. Propaganda ini disebarkan oleh Amerika untuk mendapatkan dukungan publik pada masa Perang Dingin. Namun sebaliknya, ancaman utama yang dihadapi Amerika di Timur Tengah datang dari Eropa dan Jepang, bukan Uni Soviet. Amerika takut kalau Inggris, yang baru saja kehilangan titel negara adi daya, Perancis dan Jepang menguasai perdagangan minyak Arab dan akhirnya lari dari cengkeraman dan ketergantungan terhadap Amerika. Bukan minyaknya yang penting, tapi akses terhadap minyak dan distribusinya yang menentukan monopoli Amerika. Sedangkan Uni Soviet memang tidak terlalu tertarik dengan Timur Tengah. Walau sempat memiliki “sekutu” di Mesir lewat presiden Nasser dan di Siria, Uni Soviet belakangan terbukti tidak peduli dengan mereka. Bahkan saat perang Israel melawan Mesir, Sirian dan Yordania tahun 1967, ketiga negara Arab itu dibiarkan dihancurkan oleh Israel[3].

Israel adalah satu-satunya negara di Timur Tengah yang pro-Barat saat itu, sehingga ia menjadi penting dalam lingkup kepentingan geo-strategis Amerika di sana, karena ketakutan utama Amerika adalah nasionalisme independen negara-negara minyak (yang saat ini ditunjukkan oleh Iran dan Venezuela). Israel akhirnya juga banyak membantu Amerika dalam mensterilkan Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin dari nasionalisme. Israel menjadi penting karena ia memberikan banyak bantuan militer, pelatihan dan teknis kepada diktator-diktator di kawasan-kawasan itu. Sebut saja Idi Amin dari Uganda, Haile Selassie dari Ethiopia, Mobutu Sese Seko dari Zaire, dan hampir seluruh diktator di Afrika dan Amerika Latin saat itu[4]. Ini juga yang kemungkinan menjadi dasar gerakan solidaritas Palestina di berbagai negara Amerika Latin, setelah diktator-diktator mereka tumbang.

Argumen Chomsky inilah yang menjadi sebab bahwa ia lebih melihat berbagai perang dan konflik di Timur Tengah secara pragmatis dan realistis, bukan berakar pada peperangan ideologis Zionisme dan kelompok konservatif Kristen Amerika melawan Islam, walaupun argument ideologis tersebut juga memaparkan berbagai fakta-fakta pendukung juga. Nah di sinilah dilemma terjadi, karena kedua argumen hampir sama kuat. Namun, yang ditakutkan semua kalangan dari berbagai konflik di Timur Tengah sampai saat ini tetap sama: terorisme yang merajalela dan perang nuklir.

------------

[1] Di antara media-media utama tersebut adalah New York Times, Fox News dll.

[2] Buku setebal 578 halaman ini (Updated Edition 1999), seperti halnya banyak buku Chomsky lainnya memberikan banyak sekali catatan kaki dan referensi yang komprehensif.

[3] Kemenangan strategis atas Eropa dan Jepang inilah yang menjadi penanda bahwa Amerika akan menjadi negara adi kuasa yang baru.

[4] Dalam kesempatan lain, Chomsky juga menyebutkan kalau Israel juga berperan dalam membantu Suharto menginvasi Timor Timur tahun 1975 dengan membantu helicopter dan peralatan perang yang langsung dikirim oleh Israel.

Tersesat di Hollywood

Hidayat 4 Agustus 2010

(Catatan pribadi tentang buku Chris Hedges, “Empire of Illusion: The End of Literacy and The Triumph of Spectacle,” 2009)

Hampir semua yang hidup di alam dunia saat ini ingin dikenal, diakui, dicintai, dipuja dan dicemburui. Tidak manusia tidak hewan. Itulah mengapa ada selebritis, sapi metal dan cewek indo.

Saat ini, televisi telah menciptakan kultur selebritis. Kalau dalam kamus inggris, salah satu arti dari entri “celebrity,” selain “orang yang terkenal,” adalah “keadaan menjadi terkenal.” Jadi televisi dan dunia kamera telah menciptakan budaya keterkenalan. Sedangkan komputer dan internet telah menciptakan kultur konektivitas, budaya berhubungan, bercengkerama dan bersenggama online.

Kalau budaya selebritis—merayakan diri sendiri—digabung dengan budaya berhubungan, maka saat itulah manusia eksis, ada, dan paripurna—menurut aturan Hollywood. Lha menurut aturan Hollywood lagi, manusia normal harus berusaha untuk dikenal dan dihubungi. Ia harus “kelihatan.” Bagaimana biar terlihat? Para selebritis sudah memberikan contohnya, tinggal pilih yang bentuknya seperti apa yang mau ditiru, dari model pria sejati seperti Ariel, atau model yang mbanci, atau yang model ngiyai juga ada. Wanita juga bisa milih, mau yang model super-hot, pliket dan beraroma sambal seperti Aura Kasih, atau yang mlenis-urakan, simetris dan sak tekeman kayak Pevita Pearce. Kita menjadi nyata ketika kita terlihat, dan karena itulah Facebook dicipta. Selebihnya, manusia itu sekedar hantu. Sedangkan hantu adalah terror sejati manusia modern. Kenapa? Karena jarang kelihatan. Kelihatan sesekali pun cuma mringis, dan tidak manis-manis amat, terlepas bahwa si hantu ini ternyata bisa terbang.

Semua upaya diatas ditujukan agar manusia-manusia bukan hantu tersebut menjadi bahagia. Dan kebahagiaan, menurut aturan Hollywood lagi, bergantung pada bagaimana kita terlihat dan memperlihatkan diri kepada orang lain. Itulah mengapa ada dokter bedah plastik, guru fitness, perancang busana, desainer interior rumah, sampai konsultan jerawat. Supaya apa? Supaya kita mejadi “selebritis.” Kita membangun filem-filem dan sinetron kita sendiri agar kita dapat berperan seperti selebritis. Itulah mengapa “dunia ini panggung sandiwara.” Dan keadaan seperti ini tak mungkin berlangsung ketika para manusia-manusia tadi tidak mendapat dukungan moral. Jadi harus ada yang selalu mengingatkan mereka agar mereka terus menjadi “Manusia Super” dengan “Salam Dahsyat.”

Kalau jaman dulu, kerajaan lah yang mengatur tindak-tanduk sosial kita, sekarang televisi, bioskop, internet dan MP3 player yang menentukan eksistensi kita. Hedonisme, sex [and the city] dan uang adalah sila pertama Pancasila. Sedangkan sila kedua adalah Kemuliaan Yang Dipimpim Oleh Hikmat Kebijaksanaan Kekuasaan. Jadi kalau sudah cantik, gagah, seksi dan kaya, ya kalau bisa berkuasa.

Kalau di Amerika, 1% dari populasi Amerika menguasai kekayaan melebihi gabungan kekayaan dari 90% warga Amerika. Di Indonesia mungkin juga hampir sama. Dan manusia-manusia 1% tersebut adalah rujukan utama bagi manusia yang 90%. Yang 90% itu dibentengi oleh televisi supaya tetap fokus. Rakyat miskin itu tidak ada kalau kita tetap fokus. Malahan kita (manusia 90%) ditantang dan dicaci habis-habisan, oleh gaya hidup serba tank-top, serba c.i.n.t.a. dan serba keong racun. Kita harus percaya, bahwa kalau kita terus berusaha, kita akan mejadi seperti mereka. Manusia 1% tersebut menjadi cermin gaya hidup kita.

Kita ini, sayang sekali, terlalu banyak mengonsumsi kebohongan tiap hari. Kita terlalu banyak menelan janji bahwa kalau pakai baju merek ini, atau beli hape merek ini, atau suka musik ini, atau pilih presiden ini, kita akan dihargai, dicemburui, dan dicintai. Kultur selebritis ini mengajak kita untuk berpikir bahwa kita juga berpotensi menjadi selebriti. Ini disebut kultur narsisme, kata Christopher Lasch. Realitas adalah penghalang kesuksesan, bikin gak fokus. Realitas cuma bagi orang kalah. Sedangkan fantasi adalah segalanya. Jadi teruslah menelan fantasi dari televisi, dan lupakan realitas (yang dimaksud realitas itu ya bahwa ada banyak orang miskin, orang kelaparan, ada orang ditindas, ada anak kecil dijatuhi bom, ada orang jutaan mati ditembaki tapi tidak ada yang menghitung, dan lain-lain). Kultur ini mengajak kita menjadi diri sendiri dan melupakan orang lain, karena orang lain itu tidak rasional. Kita telan semua itu tiap hari, tiap saat, tapi kita jarang sekali ke WC, apalagi baca buku.

Televisi itu pornonya melebihi bokep yang paling liar sekalipun. Bokep tidak menyuruh kita supaya beli hape ini, mobil ini, motor ini, rokok itu, atau baju ini dan celana itu, karena dimana-mana bokep itu tidak pakai baju, seperti hewan. Lha kalau kandidat presiden yang dijual oleh televisi dan media? Gak bakalan ketahuan boroknya kecuali kita pakai kacamata tembus pandang. Lha kalau punya kacamata tembus pandang itu kita baru bisa tahu kalau, misalnya, presiden itu ternyata memakai popok dewasa buatan Amerika, karena dia mencretan. Misalnya lho ini. Makanya syair lagunya System of a Down itu berbunyi kalau TV itu “brainwashing,” dan “nonstop disco.” Jadi otak kita dilondri agar kita percaya kalau presiden itu tidak bisa mencret, walaupun baunya sampai kemana-mana. Dan kita juga disuruh berdisko, nyanyi pop sampai mampus.

Tapi mungkin inilah bukti keagungan Tuhan. Makhluk-Nya itu warna-warni, macam-macam dan pokoknya komplit. Yang namanya “manusia” itu sekarang kebanyakan menjadi komoditas dalam budaya selebritis. Manusia itu derajatnya hanya setara dengan apem dan pisang aroma yang diperjual-belikan di pasar globalisasi. Manusia menjadi objek dan menjadi produk yang tak punya nilai intrinsik. Mereka berkompetisi menjadi “manusia” dengan melupakan, dan bahkan bertumpu pada penderitaan, kelemahan, dan penghinaan terhadap manusia lainnya.

Singkatnya, kita ini sedang “Tersesat di Hollywood,” meminjam judul lagu System of a Down kesukaan saya. Padahal tersesat itu tidak bisa pulang.

“Masalahnya Kita Tidak Mau Mengakui Kalau Terorisme Kita Adalah Terorisme (2)”

20 Juli 2009 dan 23 September 2010

“Mengapa mereka membenci kita?” tanya George W. Bush dalam salah satu pidatonya menanggapi aksi terorisme 11 September 2001.

Sebenarnya pertanyaan itu sangat mudah dijawab. Jika para teroris yang kita bicarakan adalah kaum Muslim fundamentalis (karena ada teroris jenis lain. Bush juga menyebut kaum Katholik revolusioner Amerika Latin sebagai “ekstrimis Katholik,” sepadan dengan ekstrimis Islam, cuma mereka tidak asik diberitakan), tidak serta merta mereka akan benci begitu saja dengan kita, kemudian main bom sana sini, main tembak sana-sini. Kalau mereka teroris sejati, yang kerjaannya bunuh orang, ngapain mereka tidak membom pasar atau taman kanak-kanak, atau kebun binatang (kata Chomsky), yang jelas-jelas tanpa pengamanan yang berarti? Kan korbannya akan lebih banyak. Tapi mengapa mereka memilih menyerang JW Marriot atau polsek?

Yang salah kaprah adalah menilai terorisme berakar dari kejadian 11 September 2001. Padahal akarnya tunggang langgang sampai kemana-mana. Dan semua juga tahu kalau penyebabnya adalah: Amerika dan Israel masih saja menjajah Palestina, membunuh jutaan kaum Muslim di Irak, Afghanistan, mengusir mereka, mempermalukan harkat mereka sebagai manusia (coba bayangkan, tidak ada yang sudi menghitung korban sipil di Afghanistan, misalnya. Jumlahnya simpang siur. Amerika bilang 40 ribu, Information Clearing House bilang 5 juta. Padahal mereka kan juga manusia, bukan bebek).

Dan target para teroris juga tidak sembarangan, minimal yang oleh mereka dinilai sebagai salah satu institusi milik pemerintah yang dianggap rukun dengan yang Barat dan jahat itu tadi.

Lalu apa sebabnya terorisme selalu terjadi? Menurut Chomsky, “Masalahnya ada pada ketidak mauan kita untuk mengakui kalau terorisme kita adalah terorisme.” Yang dimaksud “terorisme kita” tentu terorisme Amerika dan Israel sebagai simbol Barat. Jadi pembantaian jutaan warga Irak, Afghanistan, pembantaian Gaza, Lebanon, Sudan dll tadi adalah bukan terorisme, tapi namanya “promosi demokrasi.” Kalau si Amerika dan Israel yang membunuh, ada 1001 macam alasan yang dijadikan pembenaran di PBB, tapi kalau si teroris yang membunuh, semua orang akan balapan mengecam.

Lalu mengapa pola pikir kita bisa jungkir balik tidak karuan seperti itu? Menurut Chomsky, dibutuhkan alat indoktrinasi dan cuci otak yang sangat canggih (namanya Media, Propaganda, dan Demokrasi), sehingga orang bisa menyensor dirinya sendiri. Maksud menyensor diri sendiri adalah, kita akan cenderung diam, dan kedengaran biasa saja ketika semua kejahatan dilakukan oleh Amerika dkk. Lalu kapan kita akan sadar? Ya nanti kalau salah satu keluarga kita sudah mati dibom Amerika atau Israel.

Lalu apa bedanya teroris dan para “promotor demokrasi”? Jawabannya juga mudah.

Kalau para teroris adalah orang-orang gunung yang tinggal di gua, yang berewokan tidak karuan, tidak pernah mandi, yang tahunya cuma teriak “Allahu akbar”, yang latihan perang pakai bambu runcing, atau AK-57, dan yang latihan menembak dengan target foto SBY. Yang buat bom rumahan yang isinya paku. Yang hobinya ngebom gedung-gedung atau orang-orang yang dianggap dekat dengan Amerika. Jumlah mereka relatif kecil dan dibenci semua pihak. Termasuk saya juga benci.

Nah, lalu seperti apa para promotor demokrasi yang baik itu? Yaitu mereka yang memiliki tank-tank, pesawat F-16 sampai F-22, Sukhoi dan yang memiliki senjata-senjata yang super canggih. Punya kapal induk, kapal selam dll. Punya nuklir. Punya industri senjata. Yang latihan menembak dengan target manusia-manusia beneran di Irak dan Palestina. Kadang-kadang targetnya anak-anak atau mbah-mbah. Orang semua itu. Yang punya kaki tangan yang namanya kaum intelektual.

Sama juga dulu jaman Julius Caesar. Julius kewalahan memburu para bajak laut yang juga disebut teroris. Tapi si bajak laut malah bilang, “Kalau penjahat kecil-kecilan seperti kami namanya bajak laut, kalau penjahat besar seperti Tuan namanya imperialis.”

Tapi ada satu persamaan mendasar diantara keduanya: sama-sama maniak gila. Dan saya bukan pendukung para teroris gila itu. Saya netral, senetral embun pagi dan makhluk luar angkasa.

Dan secara esensial, keduanya juga teroris. Satunya bernama “organisasi teroris,” satunya lagi bernama “negara teroris” (Kata Chomsky). Tapi yang satu tidak punya media, tidak punya DPR, dan Konstitusi sebagai pembenaran, yang satunya punya, sebagai alat propaganda dan pembentuk opini publik. Itu saja.

Nah, bagaimana kita bisa menghapuskan terorisme? Seperti menghapuskan jamur, harus dicabut sampai akarnya: penyelesaian konflik Israel-Palestina sesegera mungkin. Itulah mengapa konflik ini jadi sangat penting. Dan banyak aktivis internasional, dari Irlandia sampai Venezuela, mulai berusaha memberikan penyadaran akan gentingnya masalah ini bila dibiarkan berlarut-larut.

Tapi celakanya, Israel dan Amerika tidak sudi untuk berdamai, dan para teroris terlanjur patah hati. Ya biar Tuhan saja yang mendamaikannya. Dan saya yakin sebentar lagi pasti damai.
(anarchism)

Media Costs Our Lives

(Notes on Noam Chomsky’s classic, “Media Control”)

By Muhamad Hidayat, edited by Edward Tripp

25 July 2010

There are two rudimentary functions of the media: first, to indoctrinate “the elites” so that they know how to serve the ruler best; and second, to alienate the “non-elites” from public debates so that they don’t try to interfere with decision making-process in the government level. The non-elites are supposed to become lost and unaware that their voices don’t count and don’t matter much.

1. Media as Indoctrination Device for Elites

The elites here include those belonging to the “political class”—those whose voices in one way or another matter to the authority’s decision-making process. They are politicians, judges, prosecutors, members of parliament, ministers, and pretty much those who work for the government (Mrs. Michele Obama and Mrs. Ani Yudhoyono may join if they wish). “Businessmen class” also belongs to this cohort. They comprise powerful employers and big people involved in determining the company’s policies. Another crucial member of this group is the “intellectual class,” to which intellectuals and smart people in universities—professors, college students, researchers, whatever—belong. The last member of the political class includes journalists and those working for large, profit-driven, mainstream media. Those people altogether constitute the staunch supporters of Western “democracy,” meaning, democracy as determined by World Bank and the IMF, through which the US channels its hegemonic enterprise.

Elite segment of society suffers from the most intense media indoctrination and propaganda. They read big mainstream newspapers, journals, magazines and other elite media which are heavily subsidized by ads and corporations whose analyses and contents cannot be read and understood easily by laymen. The elites are too cool to mingle with common people. They admire complexity, and are too fastidious in everything, from food to music to cool philosophers to read. The more complex and intricate things going on, the better for them.
In America, they may read New York Times, or Wall Street Journal, or Washington Post. In Indonesia, they read Kompas, Media Indonesia, Jakarta Post or Tempo. However, not the entire contents of mainstream media are propaganda, but language used and tones mostly are.

Why those cool people are the most indoctrinated? They are mutually hooked to each other. The president and members of parliament must be smart enough to satisfy rich and powerful businessmen (giant multinationals, primarily those coming from America and Europe), otherwise they would risk their reelection and the rich men would flee their country, lacking of investments. That is why free market exists. Poor people and local, small businessmen must be flogged with cut of subsidy, wage cuts and lay-offs, so that they won’t become too mawkish. Life is competition, and solidarity is irrational and excessive. So don’t ever disappoint the rich and powerful. The rich and the super-rich, on the other hand, must choose their presidents and friends in government with due care, or they would put their speculative investments at risk. Intellectuals don’t want to be outdone either; their duty is to maintain the continuity of this system until generations to come—in short, to inherit the system.

2. Media to alienate the non-elites from public debates.

The second function of the media is to alienate the common people from public debates, and keep them clueless of essential issues (although they may very much concern people’s lives). Let important matters be taken care of by “big guys in government.” Don’t let the people know that there is something going on.

People are wild, undomesticated, unmannered, and not well-behaved, and if they knew a little, they would rage uncontrollably. So there has to be media that keeps them mute. If smart people read New York Times or Kompas, those clouds should also be offered some “reading materials” to keep them busy and feel included. Then came the entertainment media: the gossips, soap operas, Disney, Animal Planet, cooking magazines, MTV, World Cup, etc. Don’t they need some hard news? Let’s give them reports on youth violence, or sex scandals, or “three-headed babies,” in Chomsky’s words. So they must be provided with some “not-really-serious” matters, and then be allowed to come to a voting box once in four or five years.

Sometimes there are some people who climb into success and make good careers. For instance, their children are managed to study in good schools, so they would receive good education and trainings and be aware of the etiquette in pleasing rulers and bosses of big corporations. But a great number of them must remain the same, so that corporations do not run out of consumers.

3. Product of Media

Like having transactions in market, the media also sells its product. What is the product and who is the buyer? The product of the media is the reader of that media, while the customer is the advertiser, or the business world, or corporations.

Look. Mainstream media is a parasitic institution. They got money from advertisers. And there has to be some “agreement” between the advertisers and the media. In other words, the interests of the media has to, one way or another, agree with the interests of business world. So if the business world favors free market, the media has to automatically picture free market positively and spread propaganda to advance free market principles.

In summary, the society, as the product of the media, are marketed and sold to the business world to become consumers. This analogy is more easily understood as far as entertainment media is concerned. But how about the elite media? Same thing. The elite people, readers of elite media, are sold to corporations, not merely as consumers, but as “special people” who would be in charge of taking over this somewhat complex system. The point is, the association among the elite political class is arranged very cleanly and automatically. But how come? Because they have all been “socialized” from kindergarten up to university, Chomsky concludes. So, how much do you cost now?