Thursday, February 11, 2010

Dunia Buta Huruf


Hidayat, 13 April 09


Analisis singkat atas artikel dari Chris Hedges berjudul “America the Illiterate” yang muncul di kolomnya di TruthDig.com dan Information Clearing House.


Chris Hedges memang telah menjadi salah satu favorit saya. Ia adalah jurnalis independen terkemuka dan penulis. Bukunya yang terkenal adalah “I Don’t Believe in Atheists” yang menjadi pegangan para anti-Atheists di Amerika. Kalau saya tetep “I Don’t Believe in Atheists”, tapi Atheists tetep sahabat baik saya.


Artikel “America the Illiterate” menurut saya adalah artikel paling mengerikan sepanjang sejarah saya membaca. Sangat comprise dan compact, penuh dengan makna dan berbobot sekali, disamping tentu saja nylekit dan menyinggung semua orang di dunia (saya suka itu…). Belum pernah saya mendapati artikel se hebat itu. Tulisan2 Chris memang selalu menarik, itulah kenapa ia pernah mendapat hadiah Pulitzer di bidang jurnalisme. Berikut adalah analisis singkat atas “America the Illiterate”.


Artikel ini pada dasarnya memunculkan tesis dari Chris Hedges bahwa dunia kita terbagi menjadi dua. Yaitu:


1. Dunia literate (melek huruf) minoritas yang bergerak pada lingkup “print-based, literate world” atau dunia berbasis tulisan.


2. Dunia illiterate (buta huruf) mayoritas yang bergerak pada lingkup “non-reality-based belief system”, atau dunia yang berbasis pada “sistem kepercayaan berdasar non-realitas.”


Dikotomi ini lebih mengerikan daripada sekedar perbedaan agama, gender, kelas, ras, warna kulit dan sebagainya yang tidak penting-tidak penting itu. Keduanya adalah entitas yang sangat antagonistis, melebihi dari sekedar perbedaan yang sifatnya trivial semacam perbedaan kepercayaan yang digembar-gemborkan oleh orang-orang tolol semacam Netanyahu, Bush dan bin Laden. Berikut ulasan singkatnya.


Menurut Chris Hedges, manusia “melek huruf” pada dasarnya mampu “cope with complexity and has the intellectual tools to separate illusion from truth” atau bisa menghadapi kompleksitas dunia dan mempunyai alat intelektual untuk membedakan antara ilusi dan kebenaran. Ingat: alat intelektual, bukan perasaan. Kemudian manusia mayoritas saat ini (si buta huruf), pada dasarnya bergantung pada “skillfully manipulated images for information, [that] has severed itself from the literate, print-based culture.” Atau bergantung pada imej-imej yang dimanipulasi secara canggih sehingga dikira sebuah informasi (gambar sebagai informasi). Mereka jauh dari dunia melek huruf dan kultur berbasis tulisan.


Yang paling membedakan diantara keduanya adalah bahwa si buta huruf tadi tidak bisa membedakan mana yang ilusi dan mana kebenaran. Mereka “terdidik” oleh naratif-naratif dan klise-klise kekanak-kanakan yang sama sekali over-simplifikatif. Yang dimaksud “melek huruf” tentu saja belum tentu mereka yang suka membaca buku dan sebagainya, tapi yang mampu menganalisa informasi dari sebuah teks.


Kasus yang diangkat oleh Chris adalah fenomena yang terjadi di Amerika dimana sepertiga rakyat amerika adalah “buta huruf” dan 42 % dari lulusan universitas Amerika tidak pernah membaca buku setelah mereka lulus. Angka-angka itu mungkin masih lebih lumayan daripada di Indonesia, mungkin. Dan angka-angka tadi semakin besar mengingat mereka yang seharusnya “melek huruf” (mereka yang bisa membaca dan terdidik di sekolah) malah ikut terjun bebas ke dalam dunia non realitas yang berisi gambar-gambar yang dikira informasi. Kultur gambar, bukan kultur tulisan, yang disebarluaskan oleh media. Semuanya kan sekarang berbentuk gambar-gambar yang menarik hati. Video music, film-film, siaran olah-raga, siaran gossip, iklan-iklan, dan semuanya yang ada di televisi itu. Orang sekarang lebih memilih nonton gambar-gambar bergerak itu daripada membaca, dan mereka mengangga itu semua sebagai informasi. Maka tidak heran jika orang nonton, misalnya film Pearl Harbor yang keren dan mengharukan itu, menganggap itu semua sebagai sebuah informasi dan kebenaran. Instant.


Dalam konteks pemilu saat ini, kita bisa semakin menganalisa mereka yang buta huruf. Si buta huruf ini sebenarnya tidak memilih karena mereka tidak bisa membuat keputusan berdasar informasi tekstual. Semua tertipu oleh propaganda politik yang dikemas menjadi slogan-slogan murahan. Kampanye politik dibuat oleh industri Public Relation agar memiliki imej yang menyamankan. Mereka tidak memerlukan keahlian kognitif dan kritis. Tujuan kampanye tersebut adalah untuk menyulut euforia pseudo-religious, penguatan dan “collective salvation.” Kampanye yang sukses berarti kampanye yang menggunakan instrument-instrumen psikologis untuk memanipulasi mood masyarakat, emosi dan impuls, yang kebanyakan tidak disadari (subliminal). Kampanye politik (dan apapun yang ada di media) memunculkan sebuah ekstasi kebersamaan yang meruntuhkan kreativitas individualitas dan yang menyuburkan kebodohan dan kecerobohan (tapi kan kolektif, hehe..). Mereka bergantung pada style dan story bukan isi, histori dan realitas. Realitas adalah tidak relevan, yang penting narasi-narasi. Mereka memilih ilusi-ilusi yang membahagiakan. Mereka bingung membedakan perasaan dan pengetahuan. Dan mereka akan tetap powerless dan lemah setelah pemilu usai, karena mereka tidak paham mengapa hidup mereka masih saja susah, atau tetangganya masih susah, masih saja menganggur, dan setelah semua tak tertahankan, mereka berduyun-duyun pergi ke mesjid atau gereja atau apapun itu untuk merengek minta mati.


Di Amerika, budaya gambar ini sudah sangat akut di masyarakat. Misalnya orang lebih memilih makanan cepat saji, karena murah dan memilihnya lewat gambar, gak harus membaca menu dll. Bagaimana dengan kita? Sama saja. Kita milih sekolah saja dari brosur yang gambar kampusnya warna-warni.


Pemimpin di era post-literate saat ini tidak harus pintar, kompeten atau jujur. Mereka hanya perlu terlihat memiliki kualitas-kualitas tersebut. Yang mereka butuhkan hanya narasi dan story. Dan narasi-narasi mereka bisa saja sangat bertentangan dengan realitas, gak masalah. Mereka hanya perlu konsisten dalam pendekatan emosional saja. Keahlian yang paling penting bagi pemimpin yang sukses saat ini adalah kelicikan. Yang bisa menghibur masyarakat dengan slogan-slogan emosional dan kekanak-kanakan, dan menyentuh insting dan ketidak sadaran mereka. Pokoknya asal slogan-slogan itu diulang-ulang, orang bakalan percaya. Misalkan slogan Obama “change we can believe in”, atau “bersama kita bisa” atau “teruskan” atau “partai keren sekali” atau “revolusi” atau “hancurkan kapitalisme” atau apalah itu. Noam Chomsky bahkan menantang, siapa yang paham maksud slogan-slogan seperti itu? Coba apa maksudnya? Lha memang nggak ada artinya. Orang ya malah kebingungan bila ditanyai, kata Chomsky.


Bahkan teks debat capres Amerika, menurut penelitian The Princeton Review, semakin lama semakin tidak berkualitas. Di masa Abraham Lincoln dan Stephen A. Douglas, teks debat mereka berada pada level sangat tinggi, 11,2 dan 12,0. Sedangkan G. W. Bush berada pada level 6. Clinton 7, Al Gore 7. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa orang paling terkenal di Amerika abad 18 adalah seorang filsuf, Voltaire. Sekarang, orang paling dikenal di Amerika adalah “Mickey Mouse.” Siapa orang paling dikenal di Indonesia saat ini? Jeng Kellin? Ruben? Unyil malah lebih mending.


Dalam dunia post-literate kita saat ini, memang terjadi paradox. Mereka yang melek huruf, intelek, terdidik dan terpelajar malah memunculkan ligkaran-lingkaran tersendiri, yang malah semakin menjauhkan mereka dari masyarakat kebanyakan. Mereka menjadi eksklusif dan elitis. Dan menurut Chomsky, itu karena mereka tidak mau kehilangan prestis mereka sebagai orang pintar. Takut tidak keren. Mereka mau mendominasi secara intelektual atas orang biasa, sehingga mereka bisa berkuasa. Menurut Bakunin, mereka mungkin termasuk dalam kategori “New Class” alias kelas baru dalam masyarakat (contohnya Lenin di Rusia). Dictator intelektualitas.


Nah, menurut Chris, tugas mereka yang intelek adalah mengemas pemikian mereka sehingga debat, diskusi, dialog, teater, seni, lukisan, buku, dan tulisan juga punya kualitas menghibur, sehingga bisa diakses siapa saja. Istilahnya, “Hamlet” atau “Ramayana” harus bisa sama menariknya dengan “Ada Apa Dengan Cinta.”


Bahaya dari transformasi dunia dari dunia berbasis tulisan ke berbasis gambar saat ini sangatlah mengerikan. Mereka yang terisolir dari realitas akan semakin berkumpul menjadi kekuatan penghancur. Enurut Chris, kalau di Amerika mereka termasuk Bush dan kaum Kristen Kanan Evangelical lainnya. Kalau di dunia Muslim mereka adalah para ekstrimis Muslim pimpinan Osama (Al Qaeda dkk). Kalau di Israel ya Netanyahu, Lieberman dan pendukung-pendukungnya. Sama-sama gila, rasis dan tidak rasional sama sekali.


Dalam “America the Illiterate” Chris Hedges menyimpulkan, saat ini kita membutuhkan:


“Nilai-nilai keterbukaaan, kemampuan untuk berpikir untuk dirinya sendiri, kemampuan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan independen, mengekspresikan perbedaan pendapat ketika penilaian dan akal sehat mengindikasikan ada sesuatu yang salah, kemudian kemampuan untuk kritis terhadap diri sendiri, untuk menantang kekuasaan, kemampuan untuk mengetahui fakta-fakta sejarah, untuk membedakan kebenaran dan kebohongan, kemampuan untuk menghadapi perubahan dan mengakui bahwa ada perbedaan dan ada cara berpikir dan hidup yang berbeda.”


Wuihhh… nikmatnya jadi Anarkis...

Muh Hidayat

Artikel Chris Hedges “America the Illiterate” bisa dibaca di: http://www.truthdig.com/report/item/20081110_america_the_illiterate/

No comments: