Wednesday, January 7, 2009

Saya ingin jadi orang Israel

Oleh: Muhamad Nur Hidayat

5 Januari 2008

Israel memang hebat. Membunuh lebih dari 500 warga Gaza namun mendapat support dari pemimpin-pemimpin dunia yang jumlahnya sedikit. Seakan-akan nyawa anak-anak Gaza tidak ada artinya. Dan terntyata memang tidak ada artinya bagi “kelangsungan hidup” Israel. Mereka berpikir toh nanti kalau besar, anak-anak Gaza akan menjadi “teroris,” jadi apa salahnya kalau dibunuh sekarang, sebelum mereka “melakukan Holocaust lagi”. Biarkan ibu-ibu mereka bingung, menjerit, kemudian membisu serambi memungut sisa-sisa potongan tubuh anak-anaknya yang beruntung terkena cluster bomb nya Israel. “Saya akan mendengarkan musik dan merayakan serangan udara Israel ke Gaza” kata Ofer Shmerling, seorang pegawai pertahanan sipil Israel di Sderot, seperti muncul dalam siaran TV Al Jazeera 27 Desember 2008.

Israel (Zionisme, bukan Yahudi) memang anggun dan superior. Pemimpin dunia, dan pilihan Tuhan, jadi tidak ada hukum manusia yang bisa menghentikan idealisme Zionisme. Zionisme menghendaki pemurnian seluruh wilayah yang dulu disebut Palestina dari kotoran-kotoran Arab yang inferior, sehingga menjadi Eretz Israel, Israel Raya. Kata Benny Morris, sejarawan Israel, pemurnian itu dengan dua cara: “Apartheid” dan “The way of transfer,” istilah lunaknya dari pembantaian etnis lewat Apartheid dan pengusiran (pematian) secara paksa. Israel adalah demokrasi, simbol kebebasan, perdamaian, dan kemajuan jaman. Dan mereka sedang “berperang” dengan Hamas, si teroris yang muncul dari dalam tanah untuk membunuh semua warga Israel. Hamas benar-benar biadab, barbar. Kumpulan orang-orang bodoh yang iri dengan demokrasi dan kebebasan Israel (yang benar-benar bebas tanpa bisa diatur), sehingga mereka harus unjuk gigi dengan menembakkan roket buatan industri rumahan ke wilayah Israel. Dan Hamas telah menewaskan 4 warga Israel yang tak berdosa, dari 300 lebih roket mainan yang diluncurkannya.

Hamas iri dengan demokrasi Israel sehingga ia menang mutlak dalam pemilu Palestina 2006. Dan ini tidak bisa diampuni. Kesalahan besar. Dosa bagi Tuhan Zionisme. Sehingga Israel terpanggil untuk segera bertindak dengan memblokade Gaza selama dua bulan, menstop suplai lotek, arem-arem, wedang jahe, gorengan, obat sakit kepala (yang tertembak), kain mori, lem, kertas dan segalanya (termasuk yang tidak dibutuhkan warga Gaza, seperti listrik, gas, bensin yang memberi penerangan ke wilayah Gaza). Jurnalis dan utusan PBB dan Paus juga dilarang masuk. Sedangkan yang didalam dilarang keluar. Terowongan ke Mesir tempat menyelundupkan obat sakit kepala tadi harus dibom, sehingga perawat, dokter “rumah sakit” Gaza tidak harus mengobati sakit kepala ribuan warga Gaza. “Toh mereka nanti juga jadi teroris.” Mau sakit (tertembak di) kepala kek, sakit (tertembak di) perut kek, di tangan kek, dikaki kek. Terserah.

Lalu Hamas iri lagi dengan keanggunan Israel, sehingga ia harus protes dan meluncurkan roket-roket nuklir yang dibuat di garasi rumah ke wilayah Israel sehingga semua warga Israel harus mengungsi ke laut. Hamas iri karena roket-roketan nuklir mereka bukan buatan Amerika, sehingga tidak efektif. Cuma mematikan satu orang dalam beberapa tahun. Namun kata Olmert “Walaupun roket-roket Hamas jarang mengenai sasaran, tapi kan niatnya untuk membunuh![1].” Sedangkan walaupun Israel mematikan 560 warga Gaza dalam seminggu, tapi kan niatnya untuk kebaikan—demokrasi, perdamaian, dan kebebasan. Pokoke harus idealis. Cogito ergo sum! Realitas itu nggak ada, adanya cuma pikiran, goblok! 560 orang hilang nyawa juga tidak ada, cuma di pikiran kamu saja, goblok!

Kemudian Amerika juga terpanggil untuk membantu Israel dalam mengemban tugas suci tersebut. Kata dosen saya kemarin siang ketika saya tanya pendapat beliau tentang support Amerika ke Israel, “Lho Israel kan ponakannya Amerika. Kita semua ini adalah satu keluarga. Jadi itu wajar.” Betapa kaget dan dungunya saya karena tidak paham apa maksud beliau. Lalu ketika saya tanya lagi tentang mengapa Israel berniat baik untuk memurnikan Gaza, ia menjawab, “Rumit.” Dan betapa lebih dungunya saya ketika tidak bisa paham juga apa maksud jawaban beliau. Saya cuma paham kalau mencabik-cabik tubuh orang dengan bom itu salah (setidaknya aneh, begitu). Membom kerumunan anak yang sedang pulang sekolah itu salah (atau setidaknya lebih aneh lagi). Kemudian membom masjid-masjid itu juga setidaknya sangat aneh. Atau membom Universitas Islam Gaza, apartemen yang berisi manusia itu juga sangat aneh (kalau belum bisa dibilang salah), seaneh membom UGM, Sanata Dharma dan rumah Mbah Maridjan. Apakah inferioritas ras saya yang menyebabkan saya tidak paham dengan jawaban beliau? Atau karena nama saya berbau Arab (Muhamad Nur Hidayat) yang terkenal barbar, despotik, tidak demokratis, kejam dan terbelakang? Dengan standar moral Israel tentu jawabannya iya. Ehud Olmert ngomong ke saya: “Goblok banget kamu Yat, baik dan buruk gak bisa bedain! Orang Arab ya!?” Kata filsafat, baik itu ya buruk, buruk itu ya baik. Yang buruk bisa baik, yang baik bisa buruk.

Mungkin karena dosen ini sudah S-3, jadi saya tidak bisa mencerna omongan beliau, sebagaimana saya juga tidak bisa mencerna omongan Obama (yang minimal telah lulus S-2, sedangkan petinggi Hamas, namanya pak Rayan, yang kemarin dibom Israel bersama 4 orang istri dan 11 anaknya yang mati semua itu adalah seorang professor hukum). Padahal Obama bilang “no comment” saat ditanya wartawan, satu jam setelah pesawat tempur F-16 dan heli Apache Israel berhasil masuk Gaza dan menelurkan bom-bom yang ledakannya kelihatan indah, mirip kembang api tahun baru. Kalau gak percaya lihat YouTube. Sebelumnya, saat Obama berkunjung ke Israel (namun menolak komentar dan singgah di Palestina), ia berkata:

"If somebody shot rockets at my house where my two daughters were sleeping at night, I'd do everything in my power to stop them." (www.informationclearinghouse.info/article21585.htm)

“Jika seseorang menembakkan roket ke rumah saya tempat kedua anak saya tidur, saya akan melakukan apapun dengan kekuatan saya untuk menghentikan mereka.”

(sengaja pake bahasa Inggris, biar kelihatan pinter, karena saya juga iri dengan kepinteran orang Israel).

Yang dimaksud Obama dengan “roket yang ditembakkan ke rumahnya diamana dua orang anaknya sedang tidur” itu tentu saya roketnya Hamas. Nah disini saya bingung lagi, seperti saya bingung dengan jawaban “rumit” dari dosen saya tadi. Saya malu mengapa saya sebebal ini sehingga saya tidak paham dengan omongan mereka. Dan mengapa saya hanya paham kalau Israel bersalah karena ia juga meluncurkan roket (yang super canggih buatan Amerika, tidak seperti roket kerajinan tangan Hamas) yang benar-benar mengenai anak-anak yang sedang tidur dan telah menewaskan 560 orang lebih, 100 diantaranya anak-anak? Mengapa saya hanya paham itu? Mengapa kata “rumit” dan kata Obama tadi seakan-akan bukan jawaban yang saya harapkan? Apakah saya sudah gila sehingga begitu gobloknya, sehingga tidak paham jawaban orang pintar? Padahal kan saya sudah besar, hampir sarjana S-1 pendidikan Bahasa Inggris, sudah pernah ke Amerika lagi. Padahal waktu SMP saya kan rengking satu terus, walaupun tidak pernah berangkat Pramuka. Atau mungkin karena dosen S-3 dan Obama S-2 dulu rajin Pramuka ya? Orang Israel mungkin rajin Pramuka sehingga mereka sangat pandai dan superior (kayak mi instant) dan kebal hukum manusia.

Tolong teman-teman! Tolong saya dari kegilaan dan kegoblokan ini. Untung saya tidak punya pacar. Mungkin pacar saya bisa ikut-ikutan goblok dan gila bersama saya.

SAYA INGIN JADI ORANG ISRAEL!!!!.

Sehingga saya bisa jadi orang pintar, jenius, superior (kayak mi instant), dan mampu mentoleransi pemboman anak-anak kecil, masjid, gereja, universitas, rumah-rumah tempatnya tidur anak-anak beneran (bukan anaknya Obama); puas melihat ibu-ibu yang hampir gila sembari memungut potongan tubuh anaknya, kebal hukum internasional, percaya diri mengemban tugas suci memurnikan Palestina dari racun dan kotoran bangsa Palestina sendiri, bahagia melihat orang menangis sampai matanya kering sambil mendengarkan musik dan merayakan serangan Israel ke Gaza, senang melihat kecanggihan bom-bom Israel yang mendarat di kerumunan anak-anak sekolah, bangga sebagai ras terpilih dan menjadi sahabat Amerika. Singkatnya saya ingin menjadi orang pintar Israel yang tidak bisa dipahami orang lain di seluruh dunia (kecuali oleh orang yang pintar juga). Saya ingin berkata “rumit” sehingga orang lain tidak paham. Oh… saya tahu solusinya. Cari pacar cewek Israel saja! Biar ketularan pinter.

Kalau saya sudah jadi orang Israel, nama saya (Muhamad Nur Hidayat) akan saya ganti sehingga tidak berbau Arab, inferior, barbar, bebal, dungu, Islam dan ras terbelakang. Nama saya akan saya ganti: “ Ehud Eliad Gilad Dayad Ghetto.” Wuihh… Surgawi!

No comments: