Thursday, November 20, 2008

Mengapa Politik dan Ilmu Sosial lainya Susah Dimengerti

oleh: Hidayat, 30 Oktober 2008

Semakin membaca Chomsky, semakin kaget saja saya (walaupun tidak harus). Dalam Language and Responsibility nya, Chomsky memaparkan peran para intelektual (termasuk mahasiswa) dalam me maintain atau menjaga “social order” dan “defending the interest of the elite” atau sebagai pendukung kepentingan (bukan kebijakan) para elit. Chomsky juga mengkritik anggapan bahwa social knowledge (politik internasional, sejarah, dll.) membutuhkan alat khusus(teori atau metodologi) untuk dapat dipahami orang. Konsekuensinya, poltik dan sejarah dll., dalam hal ini, susah dipahami orang, karena yang boleh paham adalah mereka yang paham teori dan metodologi untuk memahaminya.

Padahal menurut Chomsky, “everything in social and political affairs is right on the surface” alias seharusnya sangat mudah dipahami karena berhubungan dengan fakta yang dapat di indera. Tidak seperti ilmu-ilmu lain semacam linguistik, fisika dll, yang memang membutuhkan background, pemahaman, dan pengetahuan teknis lainya. Pertanyaanya sekarang, mengapa kalau ada seseorang ngomong soal politik, orang-orang susah memahami dan mudah melarikan diri? Jawabanya adalah karena “this social and political affair is maintained by intellectuals to look complicated and not understandable.” Jadi memang sengaja, dalam hal politik dan ilmu-ilmu lainya (sejarah, filsafat, dll), untuk membuat orang biasa menjadi bingung dan tidak paham masalah para intelektual (jangan ngaku bukan intelek!), karena mereka membuat apa yang diomongkan mereka menjadi tidak terjangkau bagi pemahaman orang biasa. Mucul juga media-media yang tidak bisa dipahami semua orang.

Lalu mengapa para intelek melakukan itu? Jawabanya adalah “for domination and personal privilege,” dominasi intelektual dan gengsi pribadi. Gak harus para intelek yang duduk di singgasana karir mereka masing-masing, kan kita saja sebagai mahasiswa menjadi keren kalau bisa ngomong ,tahu, melakukan macam-macam yang tidak semua orang paham. “It’s very natural for intellectuals to try to make simple things look difficult.” Sangat alami bagi para intelektual untuk membuat hal yang mudah kelihatan susah, kata Chomsky. Alami. Wow. Sangat alami untuk membuat hal yang sebenarnya mudah hanya dipahami oleh para intelek.

Orang biasa takut karena mereka ndeso, tidak sekolah, tidak sekeren mahasiswa, jadi tidak berhak untuk berbuat apa-apa. Diperlukan misteri-misteri, seperti misteri politik, misteri sejarah, misteri filsafat, misteri seni, misteri sastra, dan misteri lainnya; jika tidak, semua orang akan paham segala sesuatu. Kalau semua orang paham, gak ada yang keren dan nyeni jadinya. Maka muncul pembahasaan-pembahasaan khusus untuk hal-hal yang sebenarnya mudah. “[People] have to be subordinated so you make things look mysterious and complicated …. talking big words that nobody can understand.” Orang harus dipinggirkan sehingga menganggap apa yang kita bicarakan kelihatan misterius dan ruwet. Para intelektual mecoba membahas sesuatu, apa arti dibalik sesuatu itu, yang sebenarnya tidak ada apa-apa di dalamnya, dan sangat biasa saja.

Begitulah caranya para intekeltual untuk meminggirkan orang ndeso dari perdebatan publik dan analisis tentang fakta-fakta sosial politik (dan fakta sosial lainya). Dan standar ini berlaku baik untuk intelektual Kanan maupun Kiri. Kiri lebih gila lagi. Lebih eksklusif lagi ruang lingkupnya. Contoh: gerakan-gerakan Marxis atau anarkis yang teriak macam-macam tapi tidak ada orang yang paham. Lalu muncul kumpulan-kumpulan yang ngobrol segala sesuatu yang dibuat rumit (orong-orong salah satunya). Yang jika ada orang biasa masuk dalam lingkaran para intelek yang ngobrolin yang rumit-rumit itu, orang tersebut langsung keringat dingin karena gak paham dan inferior.

Bahkan dalam wacana post modern, kata Chomsky, ini menjadi lebih gila lagi, terutama di Paris. Wacana-wacana sederhana yang diangkat oleh post-modernis perancis diolah menjadi sesuatu yang keren (alias tidak dipahami semua orang) sehingga media di sana tertarik untuk mengkover dominasi intelektual mereka.

It makes people feel they’re not going to do anything because, unless I somehow understand the latest version of post-modern this and that, I can’t go out in the streets and organize people, because I’m not bright enough.

Karena saya tidak paham post-modern versi ini itu, jadi saya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa menganalisis apa-apa, tidak masuk dalam lingkaran yang pantas memahami segalanya, karena saya tidak cukup pandai (dan keren), gak tau teorinya[1]. Tidak bisa membantu orang, tidak bisa berpropaganda dll. Orang biasa tidak berguna.

Tentang politik, sebenarnya permasalahan politik sangat mudah dipahami siapa saja. Namun masalahnya ada dua. Satu, para intelek membuatnya jadi susah dipahami. Dua, para intelek tidak paham sama sekali karena kurang rumit. Contoh sederhana, analisis mengenai mengapa Brazil (atau kita) terbelit utang. Jawabanya bisa dijelaskan dengan bahasa yang sangat mudah, misalnya karena duitnya ditanam di New York agar bisa berlipat ganda dsb. Anak kecil juga paham. Dan masalah-nasalah politik lainya juga mudah dipahami. “[Y]ou don’t have to talk about them in post-modern rhetoric.” Gak perlu dirumit-rumitkan seperti wacana post-modern (yang ujung-ujungnya menyangkut isu politik juga).

You can talk about them [political affairs] in very simple words because they’re very simple points and people easily understand. The only people who don’t understand them are intellectuals. … If they understand them, then their own powers are lost. So they’re not going to understand them, they’re going to cloud them in mysteries.

Masalah politik bisa dijelaskan dengan bahasa yang simple sehingga semua orang bisa paham karena poin dalam masalah politik sebenarnya mudah dipahami (tidak butuh analisis Kompas atau Tempo dan media elit lainya). Yang tidak bisa paham adalah justru mereka para intelektual, karena jika mereka paham, mereka akan kehilangan dominasinya. Karena segala sesuatu harus rumit dan membingungkan. Lalu muncullah misteri-misteri yang rumit dan membingungkan yang tidak untuk dipahami semua orang.

Chomsky, mewakili orang biasa dalam menghadapi wacana sosial politik, menantang:

Well, if there is some theory or set of principles or doctrines that are too complicated to understand and you have to really study them, then show me something that can’t be said in simple words.

Jika memang harus belajar sungguh sungguh, dan harus tau teori macam-macam untuk memahami segala sesuatu, coba tunjukkan segala sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa yang mudah.

Dan memang para intelek tersebut tidak bisa menggunakan bahasa yang mudah karena mereka harus berrumit-rumitan. Jadi mereka bisa membuktikan apa yang tidak bisa dipahami dengan bahasa orang biasa (kejebak). Chomsky berkata pada orang biasa, coba tanya seseorang intelektual untuk menjelaskan essay terbarunya Derrida sehingga kamu dapat memahaminya. Mereka tidak akan mampu menjelaskanya karena terlalu keren dan tinggi kecerdasan para intelek tersebut. Mereka bahkan tidak bisa ngomong dengan bahasa orang biasa (kalau Megawati tidak bisa ngomong bahasa orang pintar). Jadi Chomsky menjebak, coba buktikan segala sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dalam bahasa biasa. Eh ternyata memang terbukti, contohnya tentang Derrida (dkk.) tadi.

Lalu apa kesimpulanya? Chomsky:

And I think you must ask yourself very carefully what great leap in evolution has taken place that enables people to have these fantastic insights that they can’t convey to ordinary people about topics that no one understands very much about. One should be very skeptical about that, that’s another technique by which intellectuals dominate people.

Apa memang terjadi lompatan besar dalam evolusi sehingga ada intelektual-intelektual dengan ide-ide fantastiknya yang tidak bisa dipahami orang biasa. Inilah salah satu teknik dominasi para intelektual (orang pandai) atas orang biasa: buat hal-hal sederhana sehingga kelihatan rumit. Setelah kelihatan rumit, besar-besarkan.

Meja itu memang berwarna coklat atau cuma pikiran saya saja ya…?

-Hidayat- 30 Oktober 08

Sumber utama: interview “Anarchism, Intellectuals and the State” dalam Chomsky on Anarchism hal. 212-220

Sengaja banyak pake bahasa inggris, bukan karena inggris itu elit, tapi karena memang target pembacanya para intelek yang bisa baca bahasa inggris.

Bahasa indonesia yang tidak manut EYD nya juga mewakili.


[1] Saya curiga, inilah mengapa Chomsky selalu menolak untuk membuat teori-teori dalam analisis politiknya. Milih jadi orang biasa. Gobloknya saya, saya malah dulu malah bingung membaca analisis Chomsky yang bahasanya sangat mudah dicerna.

No comments: