Sunday, January 23, 2011

Perang Salib dan Sentimen Islam-Kristen


28-29 Juni 09

Akhir abad 11, Paus Urban menyerukan Perang Salib untuk membebaskan Kota Suci Yerusalem dari kaum Muslim. Perang tersebut menggabungkan semangat ziarah ke Tanah Suci dan persatuan Barat (Eropa) sebagai penguasa dunia baru saat itu serta perluasan kekuasaan Gereja Kristen Barat ke segala penjuru Eropa dan Timur Dekat.  

Tentara Salip Pertama berhasil menaklukkan Yerusalem pada tahun 1099. Sebelumnya, terdapat gelombang kecil tentara Salip yang pernah berusaha menuju Timur (Yerusalem), namun gagal karena mereka dibantai di Konstantinopel oleh pasukan Turki. Sehingga cerita kekalahan yang memalukan ini dihapus dalam sejarah, atau paling tidak, mereka disebut sebagai segerombolan “pasukan petani yang tidak terorganisir.”
Propaganda ziarah ke Tanah Suci di Barat berhasil menyatukan seluruh Eropa dibawah kendali Gereja Kristen Roma, dan juga berhasil menyatukan kaum Kristen yang sebelumnya terpecah belah oleh perang antar ras Eropa sendiri. Perang Salib dan perjalanan ke Timur menjadi pelampiasan kaum barbar Barat agar mereka tidak saling serang sendiri. Tidak dipungkiri pula, motif Perang Salib juga diarahkan untuk menaklukkan Byzantium (Yunani) dibawah kendali Paus. Berabad-abad, Barat cemburu pada kebudayaan tinggi Yunani, dan tidak jarang, Barat menyebut orang Yunani sebagai “banci pemalas.” Demikian pula, kaum Yunani menyebut Barat (Romawi) sebagai bangsa barbar terbelakang yang tak berbudaya.

Tentara Salib pertama yang mencapai Yerusalem adalah sepasukan besar yang terdiri atas kaum Frank, kaum barbar Barat yang terkenal kejam, pemberani dan beberapa suku yang masih kanibal. Perjalanan berat ke Timur yang dilakukan Tentara Salib ini sungguh sangat mengharukan. Motif awal dari pemimpin-pemimpin pasukan adalah motif sekuler untuk memperluas kekuasaan dan gengsi pribadi. Namun di perjalanan mereka mendapat tantangan berat, karena mereka harus bisa bertahan di rimba dunia Muslim dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Sebagian besar pasukan dan peziarah meninggal karena penyakit, kelaparan dan kelelahan selama pertempuran sepanjang jalan. Tidak sedikit dari mereka yang memilih kabur dan menjadi desertir. Oleh karena itu, mereka kemudian membangun mental religius bahwa perjalanan dan penaklukan ini tidak mungkin terlaksana tanpa ada campur tangan Tuhan. Mereka menjadi tentara Tuhan, terutama setelah mereka menemukan petujuk-petunjuk gaib yang membantu mereka menaklukkan kerajaan Islam di sepanjang perjalanan. Dan akhirnya, sejumlah besar lainnya (50 ribu orang) berhasil masuk dan menaklukkan Yerusalem.

Yerusalem akhirnya jatuh, namun dengan konsekuensi yang mengerikan. 40 ribu kaum Muslim dan Yahudi di Yerusalem (dan berbagai kelompok Kristen Timur yang di cap bid’ah di sekitarnya) dibantai habis oleh Tentara Salib dalam dua hari, yang lain terpaksa melarikan diri. Salah satu catatan terkenal dan mengerikan tentang pembantaian di Yerusalem, yang ditulis oleh salah satu panglima tentara Salib, Raymund dari Aguiles, menyatakan:

“Jika kukatakan yang sebenarnya, pasti itu melampaui kemampuan kalian untuk mempercayainya. Jadi cukuplah kukatakan bahwa paling tidak, di Kuil Sulaiman dan berandanya, pasukan kami menungangi kuda yang bergerak diantara genangan darah setinggi lutut dan tali kekang kuda mereka.” (Perang Suci, hal. 290).

Tentu saja, Paus Urban kaget dan ngeri mendengar pembantaian ini, dan meremehkan klaim kaum Frank bahwa mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang membebaskan Kota Suci. Beliau tidak mengira bahwa seruan penaklukan Yerusalem akan memunculkan akibat yang mengerikan. Dua minggu setelah penaklukkan Yerusalem, Paus Urban wafat. Namun secara umum, penaklukan itu disambut hangat oleh kaum Kristen Eropa dan Paus Paschal II. Penaklukan ini menandai munculnya Barat sebagai kekuatan baru. Kebanggaan dan haru menyelimuti seantero Barat. Bukan hanya mereka berhasil membebaskan Yerusalem, namun juga mereka berhasil mengalahkan bangsa Arab dan Turki, yang memiliki kebudayaan yang lebih maju dari mereka, yang dalam tataran tertentu membuat mereka bingung. 

Di Timur, mereka membangun kerajaan Kristen baru dan memperluas wilayah di sekitar Palestina dan Lebanon. Keberhasilan kaum Barat ini sungguh menakjubkan. Mereka bisa bertahan hidup walaupun dikepung oleh kerajaan-kerajaan Islam di sekelilingnya. 

Namun konsekuensi ini harus dibayar mahal. Pembantaian ini menandai sentimen permusuhan Kristen dan Islam sampai saat ini, sehingga sejarawan Karen Armstrong menulis, “kenangan banjir darah ini akan menghalangi persahabatan hakiki antar keduanya [Kristen dan Islam]” (hal. 292). 

Walaupun kebudayaan Arab, Mesir dan Turki jauh lebih tinggi dari peradaban kaum Frank (bahkan mereka belajar mandi dan menjaga kebersihan secara baik setelah mereka berasimilasi dengan kebudayaan Palestina), kaum Muslim Arab tidak serta-merta menyatakan perang terhadap kerajaan Kristen baru di Palestina ini. Mereka belum berpikiran bahwa mereka akan memunculkan teologi jihad melawan Pasukan Salib. Seperti halnya saat ini, kerajaan-kerajaan Islam di Arab lebih asyik dalam permusuhan antara mereka sendiri.  Mereka memilih menghindar dari peperangan dan permasalahan serta memilih kemewahan dan kenyamanan tinggal di kerajaan mereka sendiri, dari pada mengambil resiko untuk melawan Tentara Salib yang gagah berani. Sehingga ketika banyak pengungsi Palestina kabur ke wilayah mereka, cerita-cerita pembantaian yang dialami mereka hanya ditanggapi dengan remeh, atau paling tidak, dengan ratapan dan doa bersama.
Seakan sejarah terulang, kejadian ini sangat mirip dengan apa yang terjadi sekarang. Saat Palestina jatuh ke tangan Zionisme ekstrim (karena sebelumnya ada dua Zionisme, Zionisme sekuler sosialisnya Ben Gurion dan Zionisme ala Jabotinsky yang ekstrim, walau akhirnya keduanya tetap jadi religius ekstrim karena sadar bahwa mereka cuma punya satu teman, Amerika) dan warganya dibantai dan diusir dari tanahnya, Arab lebih memilih untuk menghindar, dan cari aman. Bahkan mereka saling menolak menerima para pengungsi Palestina. Mereka menghindar dan menjadikan warga pengungsi sebagai warga kelas dua dan sebagai beban, baik beban materi karena harus memberi makan mereka, maupun beban psikologis karena sebenarnya Arab sangat malu pada pengungsi tersebut. Dulu dan sekarang Arab sangat susah untuk bersatu, dan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Tentara Salib saat itu, dan Israel saat ini.

Tapi ada satu perbedaan mendasar dari ketidakjeniusan Arab ini. Dulu, saat Perang Salib dan Yerusalem jatuh, Arab menyia-nyiakan kesempatan besar untuk bersatu dan melawan. Padahal kekuatan sumber daya mereka saat itu jauh diatas kerajaan Kristen baru itu, yang secara geografis sudah terkepung kerajaan Islam.  Namun Arab saat ini, disamping tidak bisa bersatu, kekuatan sumber daya dan peralatan perangnya jelas kalah jauh dari Israel, yang mempunyai ratusan bom nuklir. Sungguh ironis dan naïf. 

Tidak seperti kerajaan Kristen Yerusalem saat itu, Israel saat ini memiliki senjata nuklir, yang menjadi jaminan bagi suatu negara untuk tidak mungkin diserang negara lain secara besar-besaran. Di “Dunia Islam” hanya Pakistan yang memiliki senjata nuklir (50an buah). Sehingga seperti yang dikatakan pejabat militer Israel, Iran sungguh bodoh jika tidak membangun senjata nuklir, walau Israel sangat tidak menghendakinya[i]

Kembali ke era Perang Salib, ketidaktegasan raja-raja Arab saat itu menimbulkan keprihatinan dari warganya. Sehingga ketika suatu wilayah ada yang bisa menahan ekspansi atau bahkan mengalahkan Tentara Salib, mereka dijadikan symbol kebangkitan dan perjuangan kembali kaum Muslim, walau terkesan agak naïf. Namun titik balik terjadi pada tahun 1128 ketika Sultan Rum di Asia Kecil menunjuk seorang komandan Turki, Imanuddin Zangi untuk memerangi pasukan Salib. Walaupun Zangi, menurut Karen Armstrong, adalah seorang pribadi yang tidak patut di contoh kerena ia pemabuk dan sadis seperti kebanyakan prajurit lainnya, namun ia pemimpin pemberani dan independen. Walaupun sebenarnya ia enggan bertempur melawan kaum Frank di Palestina, namun kemenangannya atas kota Edessa, kota yang sebelumnya ditaklukkan kaum Frank, telah melambungkan namanya. Pengungsi Palestina mulai membicarakan perebutan kembali Yerusalem. Di samping itu juga, beban para khalifah di Dunia Muslim saat itu agak terobati, karena mereka bisa lepas tanggung jawab dan lega karena tidak dituntut oleh rakyatnya. Dengan serta merta, para khalifah memberikan gelar “pilar agama” dan sebagainya kepada Zangi.  

Pembunuhan terhadap Zangi oleh pelayannya sendiri  di tahun 1146 menandai kebangkitan jihad di Timur Dekat. Ia menjadi legenda yang sangat populer. Ia menjadi pelipur lara bagi masyarakat Arab saat itu yang sudah malu, karena terhina dibantai dan diusir dan karena pemimpin mereka tidak melakukan apa-apa.
Dahulu, dalam perjalanan yang berat menuju Timur, para orang suci Kristen bermimpi bertemu para santo sehingga mereka menunjukkan jalan kemenangan. Sebagai contoh, seorang pelayan, Peter, bermimpi bertemu St. Andrew yang menunjukkan agar pasukan Salib menggali sebuah tombak suci kemenangan, yang akhirnya dibawa oleh pasukan Salib sehingga berhasil menaklukkan Yerusalem. Seperti disebutkan oleh sejarawan Islam terkenal abad 12, Izzuddin ibn al-Atsir, salah seorang suci Muslim juga bermimpi bertemu almarhum Zangi dan bertanya, “Bagaimanakah Allah memperlakukan kamu (di alam barzakh)?” kemudian Zangi menjawab, “Allah telah mengampuniku, karena aku telah menaklukkan Edessa.”
Semoga Tuhan juga mengampuni saya dan anda.

Muhamad Kebo Hidayat

Sumber utama: Karen Armstrong, “Perang Suci,” Jakarta: Serambi, 2007. Bagian ii, bab 4 “1096-1146: Perang Salib Menjadi Perang Suci dan Mengilhami Jihad Baru”, hal. 243-318


[i] Indonesia kemungkinan juga ingin mengembangkan senjata nuklir di masa depan

No comments: