Thursday, March 24, 2011

Haus Pujian dan Takut Mati

Muhamad Kebo 23 Maret 2011

Kita hidup dalam budaya selebritis (celebrate berarti merayakan). Wajah, bodi, kulit, rambut, lingerie, bahkan kelakuan dan cara berpikir kita adalah cermin dari penampilan dan kelakuan para idola kita. Manusia semakin bingung. Saking bingungnya, mereka mengimpor semuanya, dari KFC sampai filsafat. Manusia semakin membutuhkan "kitab-kitab" pedoman, seperti kata Cak Nun, presiden anarkis Indonesia. Padahal sebelum Nabi Musa a.s. orang tidak butuh kitab dan agama. Cukup dengan hati.

Tapi sudah menjadi keniscayaan sejarah, jadi tidak bisa disalahkan. Manusia semakin kehilangan kemanusiannya, dan ia menjadi sangat tergantung pada kitab-kitab pedoman itu: teknologi, fashion, teori-teori, dan tentu saja kitab suci. Manusia kebingungan karena kehilangan pegangan, kehilangan akar, kehilangan roh. Jadi kelakuan mereka semakin aneh. Semakin aneh semakin dirayakan. Buku novel psikologi populer anak muda jadi laris karena ia menuntut kita untuk menjadi aneh, tapi aneh yang kolektif. Carrefour menurut saya sangat aneh. Mc.Donald lebih aneh lagi, seaneh komunisme. Anehnya lagi, mereka menyebut manusia yang tidak seperti mereka sebagai manusia aneh. Aneh bukan?

Barat kebingungan, kering, labil karena mereka terlalu materialistis. Sebagai pelampiasan, mereka punya hobi  membunuh. Indonesia juga bingung, sampai milih pemimpin saja selalu atasannya Ulil. Bahkan saking bingungnya, di Surabaya ada les sholat khusuk, yang biayanya 1,5 juta rupiah. Kiai-kiai semakin laris jualan omongan. Mario Teguh makin laris karena orang Indonesia semakin tidak teguh dan bijaksana [dalam membahagiakan atasan]. Kebingungan-kebingungan kita harus dikompensasi dengan uang. Ini murni prinsip kapitalisme, menurut saya. Prinsip kapitalisme lainnya adalah haus pujian dan takut mati.

"My roots are my destiny," kata Nelson Mandela. "My roots are skillfully-manipulated public subservience," kata SBY lewat mimpi saya tadi malam. Kita semakin kehilangan akar kepribadian dan jati diri. Sekarang kita terlalu malu untuk menengok keJawaan, keSundaan, keBetawian, keAsiaan kita, dll. Buktinya, apakah Anda tahu siapa nama kakek buyut Anda yang nomer 5 dan darimana beliau berasal? Manusia terlalu banyak tertawa sehingga ia tidak tahu mengapa ia bisa mampir ke dunia. Manusia sekarang adalah pisang goreng. Tak punya nilai intrinsik.

Tapi kita harus optimis. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar di masa lampau, dan sudah saatnya ia harus sadar dan  belajar sejarah Majapahit, Sriwijaya, Sukarno, supaya punya pegangan untuk memimpin dunia yang akan segera berubah secara drastis. "Orang tidak suka belajar sejarah karena sejarah mengajarimu terlalu banyak hal," kata Chomsky, presiden anarkis Amerika. Wong mengajari banyak hal kok malah tidak dipelajari, kata saya. Sudah saatnya kita minimal bangga jadi bagian dari bangsa yang pernah dan akan berjaya. Sukur-sukur siap-siap. Bangsa Indonesia tidak akan hancur, negaranya pasti hancur, kata Cak Nun lagi. Anda boleh setuju.

Kuncinya satu: hormati gurumu sayangi teman. Dengan menghormati Guru, kita tidak kehilangan akar dan jati diri kita, karena Guru kita adalah Raden Wijaya, Gadjah Mada, Hayam Wuruk, Sunan Kalijaga, Kebo Kenongo, Sukarno, Tan Malaka, Gus Dur. Dengan menyayangi teman, kita belajar toleransi, karena teman kita berjumlah 200 suku bangsa dengan 300 bahasa dan 5 agama. Eh, 5000 agama ding. Dengan begitu kita akan menjadi bangsa yang budiman.

No comments: