Sunday, June 19, 2011

SBY, Galileo dan Tuyul


(18 Juni 2011)

(Refleksi pribadi yang penuh subjektifitas, kejanggalan, ambiguitas, non-akademik, non-EYD, non-demokratis, non-post etc., akibat kekerdilan mental, spiritual, intelektual)

Pendidikan formal adalah sarana indoktrinasi dan hegemoni semua pemerintah atau penguasa dalam usahanya untuk melangsungkan dan menyelenggarakan sistem (entah kapitalisme, sosialisme, komunisme, atau fasisme). Tidak ada pendidikan yang tidak ideologis. Kurikulum menjadi alat sensor mental, spiritual, intelektual, untuk memagari dan menjamin ketidaktumbuhan pandangan-pandangan “kritis” alamiah manusia. Setelah era Pencerahan Barat (karena pada masa kegelapan Barat, Islam sudah melalui masa pencerahan) dan rasionalitas Descartes, ilmu pengetahuan mensyaratkan rasionalisme dalam setiap cabang ilmu. Hanya yang masuk akal dan bisa dibuktikan (disepakati bersama) dapat masuk ke ranah keilmuan. Lainnya, masuk dalam kategori teologi.

Ketika ilmu pasti dari masa ke masa semakin maju karena pembuktian secara empiris semakin bersesuaian dengan teori-teori, tidak demikian dengan ilmu sosial (ilmu politik, pemerintahan, sejarah, psikologi dll.). Ilmu sosial, yang mencoba meraba dan merumuskan kecenderungan-kecenderungan perilaku manusia dalam kurun sejarah, tidak semakin berkembang menuju suatu titik yang bisa disepakati bersama demi kebaikan manusia, malahan eksesnya semakin merugikan; memecah-belah. Ideologi satu bisa berbenturan dengan ideologi lainnya. Dan ketika sekelompok manusia mencoba memberikan alternatif, entah itu namanya Green ini atau Green itu, atau post-ini, post-itu, mereka bisa jadi menciptakan kutup-kutup baru yang siap meledak dan menghamburkan energi-energi destruktif yang tidak menyelamatkan manusia. Itulah mengapa masuk akal saja tidak cukup.

Manusia, tidak seperti makhluk lainnya, dianugerahi senjata yang luar biasa: akal. Dengan akal itulah manusia seharusnya mampu sedikit demi sedikit mengurai simpul-simpul rahasia alam, manusia dan kemanusiaannya. Dengan akal dan rasio, manusia seharusnya mampu memilih mana yang baik bagi diri dan peradabannya. Dengan akal itulah manusia mampu mengakali.

Di ranah ilmu pasti (matematika, fisika, kimia, astronomi, dll.), hasil olah pikiran manusia mampu kita cerna dan rasakan kemanfaatannya secara langsung: pesawat terbang, pesawat televisi, pesawat telepon, pesawat tempur. Dalam ilmu pasti ini pula, akal benar-benar distimulasi, didorong, dan didesak untuk terus-menerus kritis, karena tujuannya adalah menemukan sebuah teori universal yang mampu menjelaskan seluruh rahasia alam. Ilmuwan-ilmuwan dituntut untuk selalu memperbaharui teori dan penemuannya. Teori Aristoteles dan Ptolemeus tentang bumi sebagai pusat tata surya diperbaharui dengan teori Copernicus yang menyatakan bahwa Matahari adalah pusat tata surya kita. Teori Copernicus diolah kembali oleh Kepler dan Galieo yang menyebutkan bahwa orbit Bumi bukanlah berbentuk lingkaran penuh seperti kata Copernicus, melainkan elips. Teori Kepler dan Galileo tersebut kembali disempurnakan oleh Newton yang menyebutkan bahwa setiap benda berada dalam keadaan statis kecuali ada gaya yang bekerja padanya, atau yang terkenal dengan gaya gravitasi. Masih lagi, teori Newton diperbaharui lagi dengan teori Relativitas Einstein yang menolak teori Newton yang hanya benar ketika orang yang melakukan pengukuran berdiri pada kondisi statis, tidak bergerak pada suatu koordinat ruang yang tetap. Einstein menganggap bahwa kondisi statis itu tidak dimungkinkan karena alam semesta dan galaksi senantiasa bergerak mengembang, dan oleh karena itu hasil pengukuran satu pengamat dengan yang lainnya pasti berbeda atau relatif. Setiap orang memiliki konsep ruang-waktu sendiri-sendiri yang berbeda-beda. Relatif. Dan hebatnya, pencarian ini belum berakhir.

Bagaimana dengan ilmu sosial?

Dilihat dari tren sejarah, seakan-akan akal manusia belum dioptimalkan untuk mencerna dan merumuskan gejala-gejala sosial demi kemaslahatan spesies manusia sendiri. Ketika para ilmuwan astrofisika mulai menyempurnakan relativitas dengan mencari persesuaiannya dengan teori Quantum Mekanik, ilmuwan-ilmuwan sosial, ulama-ulama sosial, raja sosial, politisi sosial, mahasiswa sosial, dan Cinta Laura c.s. seakan-akan ngotot, ndeprok pada posisi koordinat statisnya. Bunga rasionalitas yang merekah pada era awal Pencerahan Barat seakan-akan semakin layu dan membusuk pada dimensi keilmuan sosial. Yang komunis tidak rela komunisme hilang, yang kapitalis tidak rela kapitalisme runtuh, fasisme masih saja mengintai di Israel, imperialisme dan kolonialisme semakin menemukan bentuk kestabilan lewat cakar-cakar modal asing, oligarki tidak kunjung terurai di semenanjung Arab. Perang dan pembunuhan masal dari masa ke masa masih saja terjadi, dan bahkan semakin canggih. Demokrasi dengan keliaran dan kebingungannya dianggap sebagai terminal terakhir pengolahan akal pikir manusia secara sosial. Teori evolusi jelas tidak berlaku dalam konteks sosial dan moral.

Manusia-manusia produk pendidikan yang tidak memupuk kreativitas akal menjadi semakin kebingungan dalam menentukan pijakan dan orientasinya. Pendidikan memaksakan kedisiplinan dan kompetisi karena keduanya adalah cara yang paling efektif bagi penguasa untuk mengatur masyarakat dan memutus kreativitas pemikiran. Ekses paling mengerikan dari seluruh proses pendidikan ini adalah ketika manusia mampu menyensor dirinya sendiri. Wacana-wacana kritis menjadi tabu untuk saling diperbincangkan, kekejaman-kekejaman menjadi umum untuk terlewat begitu saja, sensitivitas dan solidaritas sesama manusia mengering seiring ketidak-pedulian pada peperangan, pembunuhan, bencana dan penderitaan orang lain. Semua mampu menyensor dirinya sendiri. Manusia-manusia runtuh derajatnya menjadi sekedar zombi-zombi dan kuntilanak-kuntilanak yang menjadi tentara pabrik dan gedung-gedung bertingkat.

Zombi-kuntilanak tersebut seolah-olah mengalami kemandegan akal. Ia tidak mampu lagi memanifestasikan kodratnya sebagai manusia untuk mengolah akal demi kelangsungan peradabannya sendiri. Karena tidak mampu lagi untuk mengolah akal di ranah ilmu sosial, apalagi di ilmu pasti, mereka berbondong-bondong hijrah ke ranah non-rasional, non-ilmiah, non-akademis, yang tidak membutuhkan terlalu banyak olah pikiran, yang tidak melelahkan, yaitu ranah teologi. Itulah mengapa iPhone, iPad, fashion, musik, budaya pop, pornografi, seks, korupsi dan kombinasinya menjadi tuhan-tuhan baru yang laris. Persoalan memilih membeli Blackberry bisa masuk ranah teologi karena kebanyakan tidak memerlukan upaya kreatif dari otak dan akal kita. Agama menjadi sangat murah dan beraneka ragam, dari Mc.Donald sampai payudara silikon. Manusia menjadi semakin tidak rasional dan diselimuti takhayul-takhayul iPhone dan demokrasi. Singkatnya, manusia semakin mendekati syirik.

Karena kebebalan ini semakin memuncak dan menghancurkan, mari kita kembali pada rasionalitas dan fakta-fakta. Tidak ada salahnya kita berkenalan dengan jin, setan, tuyul, dupa, sesaji, Muhammad, dan malaikat.

Sumber: Noam Chomsky, Chris Hedges, Muhammad Ainun Nadjib, Stephen Hawking

No comments: