Thursday, December 8, 2011

Secular Professionalism

17 Juli 2011

Don Vito Corleone dalam The Godfather adalah sosok yang sangat setia pada keluarga dan sahabat-sahabat bisnisnya. Sebagai kepala keluarga, cintanya kepada anak-anaknya begitu besar, terutama kepada Michael Corleone, dan ia selalu siap melindungi keluarganya dari serangan musuh-musuhnya. Ia adalah sosok yang penyayang dan religius di satu sisi. Namun di sisi lain, Don Corleone tetaplah seorang bos mafia yang sangat ditakuti, kejam dan berpengaruh, yang tak segan-segan membunuh, menerkam lawan-lawan bisnisnya dan siapa saja yang menghalangi jalannya. Nyawa manusia tidak terlalu berharga demi mempertahankan kerajaan bisnisnya. Tak terhitung nyawa yang telah melayang, entah dari pengikutnya maupun musuh-musuhnya.

Belajar dari trilogi The Godfather tersebut, rasa-rasanya dualisme sosok Don Corleone mudah sekali kita temukan dimana-mana, terutama di dunia kerja, bisnis, politik, dan pendidikan. Di satu sisi, seorang koruptor kelas kakap yang sering muncul di layar televisi bisa jadi seorang ibu/ayah yang baik hati, penyayang, tanggung jawab dan religius di lingkungan keluarganya. Namanya bisa saja Muhammad ini atau Robertus itu. Seorang professor atau rektor terkenal yang menolak anak-anak kere masuk ke universitasnya bisa jadi seorang yang sangat diagungkan oleh keluarga, sangat dicintai anak-anak dan tetangganya, dan seorang haji mabrur. Seorang presiden atau petinggi parpol yang menikmati fasilitas hidup super mewah dengan uang rakyat dan uang Amerika bisa jadi seorang simbol, ikon panutan dalam keluarga besarnya. Atau mungkin seorang wakil presiden, atau seorang ekonom yang mendahulukan kepentingan para investor, banker, pemilik saham, korporasi asing, dan yang selalu sibuk dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, dan tidak tahu kalau tetangganya memeras darah setiap hari demi menyekolahkan anaknya, bisa jadi seorang yang begitu romantis dan dicintai oleh istri dan anak-anaknya. Seorang pegawai yang seharian sibuk bersaing, berkompetisi, berperang dengan pegawai lainnya, santet sana santet sini demi karir dan kemajuan perusahaan tambang batu baranya, akan pulang membawa sejuta harapan bagi anak-istrinya. Ia akan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka, seperti Don Vito, bekerja keras secara professional dan “rasional” demi keluarganya.

Dalam galaksi kapitalisme ini, profesionalisme dan rasionalisme adalah dua keyakinan yang wajib dianut oleh setiap warga negara; profesional berarti bekerja keras dan mendahulukan kepentingan dan kemajuan perusahaan atau partai, bagaimana memberikan servis terbaik di depan direktur dan manajer, lewat manipulasi-manipulasi penampilan dan kerja keras. Sedangkan rasional berarti berusaha memaksimalkan profit dengan cost yang seminimum mungkin, lewat tempo yang sesingkat mungkin. Profesionalisme wajib menampakkan, mengolah dan memaksimalkan sisi manusia kita yang artifisial. Hati, solidaritas, kasih sayang, ketulusan, cinta, dharma, akhlak, budi, kejujuran, serta agama dan Tuhan mohon ditinggal di rumah.

Secular professionalism [yo ben, iki teoriku dhewe] ini adalah poros dari roda kapitalisme dan demokrasi secara keseluruhan. Tanpa itu, kapitalisme dan demokrasi liberal tidak mungkin berjalan. Sedangkan prinsip yang berperan sebagai kemudi adalah “rasionalitas” itu tadi, ditambah prinsip haus pujian-takut mati.  Padahal yang harus dipertanyakan adalah “rational in relation to what?” Apakah global warming, eksploitasi hutan berlebihan, polusi, perang rebutan minyak, dan semua akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan demokrasi-kapitalisme tersebut rasional? Belum akibat lain: kekejaman, kebingungan, degradasi moral, pornografi dll. Mungkin rasional dalam lingkup yang sempit.

Seorang direktur korporasi besar yang memeras tenaga para buruh outsourcingnya bisa jadi seorang yang paling baik yang pernah anda kenal secara personal, kata eyang Chomsky. Atau seorang bupati atau lurah koruptor mungkin saja adalah seorang yang paling penyayang dalam keluarga. Namun di lingkup institusi, perusahaan, bisnis, dan politik, mereka bisa jadi seorang yang kejam dan keras seperti Don Corleone si bos mafia. Masih mending jadi Don Corleone, karena mafia yang sejati adalah para politisi dan pemimpin kita, karena demi mempertahankan rasionalitas yang ia anut, 200 juta rakyat bisa sengsara mendadak, bahkan mati tanpa jejak.

Tidak hanya dalam demokrasi-kapitalisme secara umum, dalam sistem politik dan pemerintahan lainnya, seperti komunisme Soviet, fasisme Israel dan Nazi, dan kerajaan Saudi Arabia atau bahkan Vatikan, profesionalisme sekuler bisa jadi menjadi praktik dan roda sistem mereka masing-masing. Mereka bisa jadi seorang Komunis, Yahudi, Islam atau Katholik yang sangat religious dan total di lingkup spiritual, namun di lingkup bisnis dan keuangan, mereka bisa jadi seorang sekuler sejati: maksimalkan profit dengan modal sekecil-kecilnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Israel, Arab Saudi dan Vatikan malah agak mencolok karena mereka sama-sama punya duit banyak lewat bisnis yang menurut standar MUI agak abu-abu.

Solusi yang ditawarkan untuk meringankan problem peradaban ini mungkin agak kolot, old-school dan tidak seksi. Semua ketidak masuk akalan ini terjadi karena tindakan manusia belum dipantulkan pada dimensi yang lebih luas, misalnya, baik-buruk, halal-haram, manusia-Tuhan, atau mungkin dunia-akhirat, menurut Cak Nun. Rasio kita terlalu sempit dan dipaksa-paksakan, dan hati dimati-matikan, sehingga manusia sering bingung. Dan ketika kebingungannya memuncak, manusia memunculkan teori absurditas, karena sudah mentok pemahamannya. Semuanya jadi absurd dan membingungkan, dan di sisi lain, tidak berubah lebih baik.

Profesionalisme sekuler lumayan berbahaya karena selalu megancam keharmonisan manusia dengan manusia, manusia dengan bumi, dan manusia dengan jin dan malaikat. Ia menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus karena selalu menciptakan musuh. Beranikah kita membayangkan keharmonisan, cinta kasih, ketulusan kita kepada keluarga dan orang tua kita, menular ke bank-bank, perusahaan-perusahaan, pabrik, kantor, dan istana negara tempat kita bekerja? Kalau tidak, siap-siap saja bertemu dan menjadi keturunan dari Don Vito, Don Michael, Don Vincent Corleone atau Don SBY dan Don Budiono, dan mewarisi kebingungan-kebingungan mereka?

Muhamad Kebo

No comments: